Capaian Tes Covid-19 di Sultra 10 Persen dari Target, Penyebaran Semakin Tak Terkendali
Tes Covid-19 di Sultra sangat minim, hanya mampu capai 10 persen dari 40.571 tes per pekan. Meski minim, rasio positif di atas rerata nasional. Situasi kian mengkhawatirkan akibat penyebaran kasus yang tidak terdeteksi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Selama pekan pertama Agustus, capaian tes Covid-19 di Sulawesi Tenggara hanya 10 persen dari target yang ditetapkan pemerintah pusat. Meski tes minim, rasio positif hingga 36 persen atau di atas rerata nasional. Situasi ini semakin mengkhawatirkan akibat sebaran virus yang tidak terdeteksi meski pandemi telah berlangsung lebih dari satu tahun.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sultra, pekan pertama Agustus 2021, jumlah orang yang dites baik itu dengan uji usap PCR maupun tes cepat antigen hanya 4.100 tes. Jumlah ini hanya 10,1 persen dari target tes satu pekan yang mencapai 40.571 tes.
Daerah dengan tes paling banyak adalah Kendari dengan kisaran 2.000 tes atau 30 persen dari target 5.892 tes. Beberapa daerah tercatat melakukan tes sangat minim dari target, seperti Buton yang hanya 3,2 persen, Kolaka Utara 2,2 persen, serta Konawe Selatan dan Buton Selatan di 1,2 persen. Wilayah Konawe Kepulauan bahkan tercatat tidak melakukan tes sama sekali selama satu pekan tersebut.
Dengan tes yang begitu minim, rasio positif (positivity rate) di setiap daerah ini sangat tinggi. Kota Kendari memiliki rasio positif 35 persen, Buton 32,4 persen, atau Konawe Selatan di 27,3 persen. Bahkan, Kolaka Utara tercatat memiliki rasio positif paling tinggi, yaitu 68 persen. Secara akumulatif, Sultra memiliki rasio positif 36,1 persen atau di atas rata-rata nasional yang di kisaran 22 persen.
Target tes setiap daerah ditentukan dari tingkat rasio positif per daerah, di mana daerah dengan rasio positif di atas 25 persen wajib melakukan tes terhadap 15 orang per 1.000 penduduk per minggu. Hal ini diatur sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri terkait pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
”Situasinya sudah sangat mengkhawatirkan, di mana testing tidak pernah sesuai target, dan positivity rate sangat tinggi. Ini sama saja orang-orang berkeliaran tanpa tahu dia positif atau tidak,” kata epidemiolog Universitas Halu Oleo, Ramadhan Tosepu, di Kendari, Sultra, Kamis (12/8/2021).
Rendahnya tes dan tingginya rasio positif menunjukkan penyebaran kasus yang tidak tertangani. Pemerintah terkesan lalai dalam melakukan tes sehingga jumlah kasus yang terdeteksi tidak menunjukkan kasus sebenarnya. Hal ini berimbas pada masyarakat semakin abai dengan protokol kesehatan yang ada.
Di situasi seperti ini, Ramadhan menuturkan, penegakan protokol kesehatan telah bergantung kepada setiap orang. Sebab, setiap orang tidak tahu kondisi masing-masing, apakah terpapar Covid-19 atau tidak.
Menurut Ramadhan, meski pemerintah pusat telah menetapkan aturan pembatasan hingga jumlah tes per kabupaten/kota, hal ini serupa hanya menjadi formalitas di daerah. Jumlah tes tidak memenuhi target dan penegakan protokol tidak dilakukan secara serius. Kasus yang turun berdasarkan publikasi pemerintah merupakan data yang semu karena lemahnya penelusuran kasus.
”Tidak ada cara lain untuk menghentikan penyebaran virus selain melakukan penelusuran, penegakan protokol, dan terakhir vaksinasi. Jangan hanya fokus vaksinasi, tetapi penelusuran kasus tidak dilakukan. Ini hal dasar yang sejak awal kita telah tekankan bersama-sama,” katanya.
Situasinya sudah sangat mengkhawatirkan, di mana testing tidak pernah sesuai target, dan positivity rate sangat tinggi. Ini sama saja orang-orang berkeliaran tanpa tahu dia positif atau tidak.
Lemahnya penelusuran, dan jumlah tes setiap daerah disebabkan sejumlah permasalahan, utamanya komitmen untuk penanganan pandemi yang komprehensif. Tidak adanya pengadaan alat uji PCR sejak awal membuat daerah pontang-panting melakukan uji sampel.
Kepala Dinas Kesehatan Konawe Kepulauan Sastro menyampaikan, tidak adanya alat PCR membuat pihaknya harus mengirim sampel uji usap ke Kendari hampir setiap hari. Sampel yang dikirim tersebut adalah mereka yang sebelumnya reaktif dari hasil tes cepat antigen. Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil berpenduduk sekitar 37.000 jiwa yang berjarak 4 jam perjalanan laut ke Kendari.
”Karena kami tidak punya alat uji usap atau PCR. Jadi, selama pandemi Covid-19 ini, semuanya dikirim ke Labkesda Sultra. Kami juga tidak bisa menyalahkan kenapa hasilnya lama karena bukan cuma kami yang mengirim sampel,” katanya. Saat ini, kata Sastro, pihaknya berencana melakukan pengadaan alat PCR. Usulan anggaran akan dimasukkan di anggaran perubahan yang akan segera dibahas.
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinkes Sultra Kartina Razak menyampaikan, jumlah tes yang dilakukan setiap daerah di Sultra sangat minim. Sejumlah daerah bahkan beberapa kali tercatat tidak mengirimkan sampel untuk diuji di laboratorium jika tidak memiliki alat PCR.
Dinkes Sultra, tutur Kartina, telah meminta daerah untuk melakukan pengadaan alat PCR. Hal itu untuk memudahkan penelusuran kasus sehingga penyebaran Covid-19 bisa cepat dideteksi dan ditangani. Namun, hingga saat ini hanya beberapa daerah yang memiliki alat uji tersebut.
Selain Kota Kendari, beberapa daerah yang memiliki alat PCR adalah Konawe, Kolaka, Kolaka Utara, Baubau, dan Bombana, hingga Konawe Utara. Di Wakatobi, alat PCR telah ada tetapi belum difungsikan.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sultra dr Rabiul Awal menuturkan, program penanganan dari pemerintah di wilayah ini tidak pernah maksimal, mulai dari penelusuran hingga penegakan protokol kesehatan. Akibatnya, jumlah kasus sebenarnya tidak pernah terdeteksi dan masyarakat semakin abai.
Sejak awal, penelusuran kasus di wilayah ini tidak pernah tuntas. Penelusuran sangat rendah, jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hingga saat ini, total jumlah tes tidak pernah lagi dipublikasikan oleh Satgas Covid-19 Sultra, yang diyakini angkanya masih jauh dari target.
”Kalau tiga orang yang dites dan semua hasilnya positif, itu di lapangan kondisinya bagaimana? Ini sangat menghawatirkan. Pemerintah harus melakukan penelusuran ketat agar kasus tidak semakin memburuk,” katanya.
Pemerintah pusat telah menginstruksikan agar setiap daerah memperbanyak tes untuk mengetahui penelusuran kasus Covid-19 di wilayah masing-masing. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mencurigai, daerah sengaja tidak melakukan tes yang masif agar wilayahnya tidak menjadi zona merah. Hal ini berpotensi besar memicu ledakan kasus di kemudian hari.
Aturan PPKM juga terus diperpanjang, di mana pada aturan sebelumnya, sebanyak 15 kabupaten dan kota di Sultra masuk dalam kategori level tiga. Hanya Buton dan Buton Selatan yang tercatat berada di kategori level dua. Namun, aturan PPKM baru yang berlangsung 10-23 Agustus saat ini, tersisa Buton yang berada di kategori level dua dan 16 daerah lainnya masuk dalam kategori pembatasan level tiga.
Sementara itu, hingga Rabu (11/8/2021), jumlah kasus positif di Sultra mencapai 18.154 kasus. Sebanyak 2.992 orang masih dalam perawatan dan 428 orang meninggal. Kasus harian bertambah di kisaran 90 kasus hingga ratusan kasus baru.