Sirene Kematian Menjalar hingga Pelosok Sultra
Kasus kematian dengan gejala Covid-19 menyebar dari kota hingga ke desa di Sulawesi Tenggara. Sebagian besar warga yang meninggal tidak pernah memeriksakan kesehatan meski akhirnya diketahui terpapar Covid-19.
Telah tiga hari Taufik (38) mengeluhkan demam dan batuk. Saat disinyalir virus Covid-19 memenuhi tubuhnya, ia mengembuskan napas terakhir seorang diri, terduduk di kamar. Paparan virus menerobos sendi kehidupan, membunyikan sirene kematian hingga ke pelosok desa.
Perantau asal Pinrang, Sulawesi Selatan, ini adalah pekerja bengkel aluminium di Kendari, Sulawesi Tenggara. Telah lebih dari setengah tahun ayah dua anak ini bekerja membuat lemari, etalase, dan jemuran. Tidak memiliki tempat tinggal, ia menetap di ruangan kerja yang sekaligus difungsikan sebagai kamar.
Rabu (21/7/2021) siang, Asdar (39), pemilik bengkel, membawakan nasi goreng ke bengkel yang terletak sekitar 500 meter dari kediamannya. Taufik sedang menyelesaikan pesanan yang tersisa. Ia lalu bertanya kondisi Taufik yang telah demam tiga hari terakhir. Tak lupa, ia membawa obat pereda panas dan vitamin C untuk menjaga kondisi tubuh.
”Saya suruh makan nasi terus minum obat karena Upi, panggilannya, malas makan sejak demam. Takutnya kondisi drop, apalagi Covid-19 seperti sekarang. Saya sarankan, kalau tambah parah, ke puskesmas periksa,” kata Asdar, Minggu (25/7/2021), saat dihubungi di Kendari.
Sempat berbincang dengan Taufik sebentar, Asdar lalu pulang ke rumah. Itu adalah terakhir kalinya ia bertemu Taufik, pekerja satu-satunya di bengkel yang dirintisnya itu. Hingga Kamis pagi, saat asyik menonton televisi, adiknya menelepon. Nada panik terdengar di ujung telepon.
Ayah satu anak ini segera berlari ke bengkel. Pintu utama dan belakang terkunci rapat. Dari jendela, dengan kaca berwarna putih samar, ia melongok ke dalam. Taufik terduduk di meja kecil. Badannya telentang di meja di belakangnya. ”Saya teriak tidak ada reaksi. Akhirnya masuk lewat jendela. Saya pegang dadanya, sudah tidak ada detak,” tuturnya.
Aparat yang datang ke lokasi kejadian beberapa saat setelahnya memastikan Taufik meninggal tanpa tanda kekerasan. Saat dicek, almarhum reaktif Covid-19. Petugas berpakaian lengkap lalu membawa jenazah ke RS Bhayangkara untuk ditangani.
Keluarga Taufik di Kabupaten Sidrap, Sulsel, sekitar 800 kilometer jauhnya, hanya bisa melihat proses pemulasaraan hingga pemakaman melalui panggilan video. Ia dikebumikan di pemakaman khusus Covid-19, di TPU Punggolaka, Kendari.
”Ia tinggal seorang diri di sini dan saya tidak tahu terpapar Covid-19 dari mana. Kalau dibilang kontak erat, saya yang paling dekat dengan almarhum. Alhamdulillah saat dites antigen, saya negatif, cuma harus isolasi lima hari,” tutur Asdar dengan suara parau dan sesekali batuk.
”Kami pasti khawatir dan trauma. Virus itu ada di dekat kita,” ujarnya.
Baca Juga: Terpapar Covid-19, Warga Kendari Meninggal Tanpa Penanganan Medis
Kasus meninggalnya Taufik, yang sakit dan tidak tahu terpapar Covid-19, bukan kali ini terjadi. Di hari yang sama, seorang warga lanjut usia (lansia) meninggal di kediamannya di Baruga, Kendari, juga dengan hasil reaktif tes cepat Covid-19.
Jumlah kasus kematian di Kendari juga terus bertambah. Dalam sepekan terakhir, warga yang meninggal akibat terpapar Covid-19 sebanyak 16 orang, atau satu orang setiap 10 jam. Kasus kematian ini menyumbang deret kematian secara nasional yang mencapai 82.013 orang. Kasus kematian harian pun terus melonjak dengan 1.500 kasus.
Sementara itu, berdasarkan data Koalisi Warga LaporCovid-19, kasus kematian warga yang isolasi mandiri mencapai 2.491 orang hingga Jumat (23/7/2021). Jumlah ini di luar warga seperti Taufik yang tidak memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Di Kendari, area pemakaman khusus Covid-19 pun terus meluas. Alat berat yang disiapkan telah menggali banyak makam, mengantisipasi melonjaknya kematian. Sirene ambulans yang membawa jenazah nyaring terdengar memecah ruang kota, siang hingga malam hari.
Baca Juga: 1.214 Orang di Jakarta Meninggal Saat Isolasi Mandiri
Iwan (29), salah seorang penggali makam, menuturkan, jumlah orang yang dimakamkan meningkat dalam dua bulan terakhir, baik di pemakaman khusus Covid-19 maupun di pemakaman umum. Dalam sehari, rata-rata ada lima orang yang dimakamkan di area pemakaman ini.
”Bahkan, minggu lalu pernah sampai 15 orang sehari. Hari ini kami diminta untuk menggalikan makam seorang warga yang meninggal karena Covid-19,” katanya.
Ia yang awalnya tidak begitu percaya dengan Covid-19 mulai rajin memakai masker. ”Kami melihat setiap hari ada yang dikubur, jadi percaya kalau virus ini ada. Bukan hanya warga biasa, sampai istri Gubernur Sultra pun dimakamkan dengan protokol Covid-19,” ucapnya.
Agista Aryani Bombay, istri Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi, meninggal di RS Bahteramas pada Selasa (13/7). Sempat dirawat lebih dari sepekan, Agista mengembuskan napas terakhir akibat terpapar Covid-19.
Pelosok desa
Tak hanya di perkotaan, kasus kematian akibat Covid-19 juga terjadi hingga di pelosok desa. Di wilayah kepulauan Sultra, dari Kabupaten Konawe Kepulauan hingga Wakatobi, angka kematian terus bertambah.
Belum lagi dengan mereka yang meninggal tanpa sempat diketahui apakah terpapar virus atau tidak. Seorang anggota DPRD Kabupaten Buton, Abu Bakar (66), meninggal di kediamannya di Desa Wakoko, Pasarwajo, Buton, Jumat (23/7).
Kami semakin khawatir karena kasus kematian terus berdatangan.
Abu Bakar adalah Ketua Badan Kehormatan DPRD Buton yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Abu Bakar diketahui mengalami demam tinggi tiga hari sebelum meninggal. Akan tetapi, ia tidak sempat menjalani perawatan hingga akhirnya meninggal di kediaman.
Di Kabupaten Muna Barat, sejumlah warga meninggal dengan gejala Covid-19, utamanya demam, batuk, dan sesak napas. Akan tetapi, sebagian besar kondisi kesehatan mereka tidak pernah diperiksakan.
Baca Juga: Hari Lebaran yang Sendu di Pemakaman
Fandi (30), warga Kecamatan Lawa, Muna Barat, menuturkan, di wilayahnya saja kabar kematian datang beruntun dari satu desa ke desa yang lain. Beberapa warga yang meninggal diketahui reaktif saat dites cepat antigen.
”Kami semakin khawatir karena kasus kematian terus berdatangan. Di sisi lain, warga ketakutan untuk periksa kesehatan dengan alasan nanti di-Covid-kan. Jadi, meskipun sakit, mereka memilih istirahat di rumah,” ucapnya.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sultra dr Rabiul Awal menyampaikan, meningkatnya jumlah kasus kematian, baik yang tercatat maupun hanya gejala, menunjukkan virus yang semakin meluas dan tidak tertangani. Virus tidak hanya menyebar di perkotaan, tetapi juga sampai ke pelosok desa.
Situasi menjadi kompleks sebab masyarakat dengan gejala terpapar virus takut memeriksakan kondisi kesehatan. Padahal, sebagian besar dari mereka telah sakit dengan gejala umum, seperti demam, batuk, sesak napas, bahkan kehilangan penciuman.
Akibatnya, jumlah kasus sebenarnya tidak pernah terdeteksi dan masyarakat semakin abai.
”Belum lagi dengan tuduhan konspirasi atau tuduhan terhadap dokter dan tenaga kesehatan. Padahal, sudah banyak kasus dokter atau perawat yang meninggal karena Covid-19,” katanya.
Kondisi ini tercipta, tutur Rabiul, sebab sejak awal program penanganan dari pemerintah tidak pernah maksimal, mulai dari penelusuran hingga penegakan protokol. Akibatnya, jumlah kasus sebenarnya tidak pernah terdeteksi dan masyarakat semakin abai.
Baca Juga: Ada Nyawa di Balik Angka Korban Covid-19
Sejak awal, penelusuran kasus di wilayah ini tidak pernah tuntas. Penelusuran sangat rendah, jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hingga saat ini, total jumlah tes tidak pernah lagi dipublikasikan oleh Satgas Covid-19 Sultra, yang diyakini angkanya masih jauh dari target.
Epidemiolog Universitas Halu Oleo, Ramadhan Tosepu, menilai, kondisi ini terjadi karena penanganan yang tidak efektif sejak awal. Kebijakan pemerintah juga tidak konsisten sehingga membuat penyebaran virus terus terjadi dan masyarakat semakin abai.
”Akhirnya, varian baru datang dan menyebar lebih cepat ke pelosok daerah. Terlebih lagi di wilayah Sultra pembatasan mobilitas tidak terjadi. Tes yang sedikit membuat kasus seolah-olah sedikit, tetapi ternyata meluas,” ucapnya.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah menerapkan sejumlah strategi dalam upaya penanganan. Ini mulai dari vaksinasi yang dimaksimalkan untuk menciptakan kekebalan massal, pembatasan ketat, hingga penelusuran masif.
Baca Juga: Sengkarut Lonjakan Covid-19, ”Kaburnya” Data, dan Munas Kadin di Kendari
Ketiga hal ini menjadi instrumen utama penanganan yang harus diterapkan. ”Tidak boleh hanya kejar vaksinasi atau yang lainnya. Tidak ada waktu lagi untuk menunda karena nyawa menjadi taruhannya,” ujar Ramadhan.
Pandemi belum menunjukkan tanda berakhir. Pemerintah wajib melakukan penanganan untuk mencegah nyawa terus tumbang. Sebelum sirine semakin meraung....