Tes Sangat Minim, Dua Kabupaten di Sultra Catat Rasio Positif 100 Persen
Dengan jumlah sampel sangat sedikit, dua kabupaten di Sultra, yaitu Konawe Kepulauan dan Buton Selatan, memiliki ”positivity rate” 100 persen. Hal ini dinilai mengkhawatirkan di tengah kasus yang terus melambung.
.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Dua kabupaten di Sulawesi Tenggara, yaitu Konawe Kepulauan dan Buton Selatan, tercatat memiliki rasio positif (positivity rate) kasus Covid-19 hingga 100 persen. Hasil ini ditemukan dari pemeriksaan uji usap sampel yang sangat minim. Terbatasnya alat pemeriksaan membuat daerah kesulitan melakukan penelusuran.
Data Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara pada Selasa (10/8/2021), rasio positif harian di Sultra berkisar di angka 11,7 persen. Akan tetapi, sejumlah daerah memiliki rasio di atas 65 persen, bahkan hingga 100 persen. Dua daerah yang mencapai rasio 100 persen adalah Konawe Kepulauan (Konkep) dan Buton Selatan. Sementara itu, Kabupaten Muna Barat tidak memiliki rasio harian karena tidak ada sampel yang diuji.
Untuk Buton Selatan, dari tiga sampel yang dikirimkan untuk diuji, tercatat semuanya positif Covid-19. Sementara itu, di Konawe Kepulauan, dari satu sampel yang dikirim, terkonfirmasi positif Covid-19. Dua daerah ini pada akhir Juni lalu juga tercatat memiliki rasio positif hingga 100 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Konawe Kepulauan Sastro menyampaikan, sampel yang terkonfirmasi positif tersebut berasal dari uji laboratorium milik Pemerintah Provinsi Sultra. Sebab, hingga saat ini, belum ada pemeriksaan uji usap di daerah dengan penduduk sekitar 37.000 jiwa ini.
”Itu pun hasil yang dikirim sejak dua minggu lalu. Jadi, orangnya sudah sembuh, tapi hasilnya baru keluar sekarang. Sekarang tinggal ada tiga pasien yang dirawat,” kata Sastro, saat dihubungi dari Kendari, Rabu (11/8/2021).
Selama ini, ia melanjutkan, penelusuran kasus Covid-19 mengandalkan tes cepat antigen. Mereka yang positif lalu diisolasi di fasilitas kesehatan sembari mengirim sampel uji usap. Sampel dikirim ke Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Sultra di Kendari, sekitar empat jam perjalanan dengan kapal laut.
Sembari menunggu hasil, pasien positif dari uji cepat tersebut akan dipantau kesehatannya. Jika hasil belum keluar selama dua pekan, kembali akan dilakukan tes cepat antigen. Saat hasil menunjukkan negatif, pasien akan dipantau kesehatannya selama tiga hari dan kembali dilakukan uji cepat.
”Karena kami tidak punya alat uji usap atau PCR. Jadi, selama pandemi Covid-19 ini semuanya dikirim ke Labkesda. Kami juga tidak bisa menyalahkan kenapa hasilnya lama, karena bukan cuma kami yang mengirim sampel,” katanya.
Saat ini, tambah Sastro, pihaknya berencana melakukan pengadaan alat PCR. Usulan anggaran akan dimasukkan di anggaran perubahan yang segera dibahas di DPRD. Hingga saat ini, total kasus positif di Konkep mencapai 105 orang, dengan satu kasus meninggal. Sementara itu, jumlah tes yang dilakukan tercatat 344 tes. Total rasio positif selama pandemi mencapai 30 persen.
Tidak hanya di Konkep, di Kendari, ibu kota provinsi, juga kesulitan dengan terbatasnya alat PCR. Bahkan, alat PCR milik Pemkot Kendari juga tidak bisa digunakan karena terbatasnya jumlah reagen. Sampel pasien terindikasi terpapar Covid-19 dikirim ke Labkesda atau RS Bahteramas yang menjadi rujukan provinsi.
Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara Ridwan menyampaikan, salah satu kendala yang dialami sejauh ini adalah terbatasnya alat pemeriksaan, khususnya PCR. Selain Kendari, beberapa daerah yang memiliki alat PCR adalah Konawe, Kolaka, Kolaka Utara, Baubau, dan Bombana.
”Yang lain dikirim ke Labkesda Sultra sehingga sampel menumpuk. Kami sudah arahkan agar daerah melakukan pengadaan alat PCR sendiri. Selain anggaran, kendalanya adalah di sumber daya manusia,” tutur Ridwan.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sultra dr Rabiul Awal menuturkan, program penanganan dari pemerintah di wilayah ini tidak pernah maksimal, mulai dari penelusuran hingga penegakan protokol. Akibatnya, jumlah kasus sebenarnya tidak pernah terdeteksi dan masyarakat semakin abai.
Penelusuran kasus masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hingga saat ini, total jumlah tes tidak pernah lagi dipublikasikan oleh Satgas Covid-19 Sultra, yang diyakini angkanya masih jauh dari target.
Dengan anggaran yang besar, seharusnya pengadaan alat PCR menjadi prioritas di setiap daerah.
”Kalau tiga orang yang dites dan semua hasilnya positif, itu di lapangan kondisinya bagaimana? Ini sangat menghawatirkan. Pemerintah harus melakukan penelusuran ketat agar kasus tidak semakin memburuk,” katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra Kisran Makati mengatakan, Pemprov Sultra dan pemerintah kabupaten/kota memang tidak konsisten dalam penanganan Covid-19. Dengan anggaran yang besar, seharusnya pengadaan alat PCR menjadi prioritas di setiap daerah.
”Sultra, misalnya, pada 2020 punya Rp 400 miliar anggaran penanganan Covid-19. Jika 10 persen dialokasikan untuk pengadaan alat PCR, sekarang kita tidak kesulitan dalam penelusuran kasus. Pandemi ini sudah 1,5 tahun, tapi persoalan dasar belum tertangani,” ucap Kisran.
Oleh sebab itu, ia melanjutkan, pemerintah dituntut untuk benar-benar serius dalam penanganan Covid-19. Sebab, jumlah korban meninggal terus bertambah, dan terjadi hingga ke pelosok desa.
Total kasus positif di Sultra 18.064 kasus, dengan 421 orang tercatat meninggal. Rasio kematian di Sultra berada di angka 2,3 persen. Angka ini dinilai hanya angka semu karena banyak kasus yang tidak terdata akibat penelusuran kasus yang buruk.