Di Balik Penjabat Kades di Probolinggo Rela Setor Jutaan Rupiah
Operasi tangkap tangan Bupati Probolinggo menguak bahwa menjadi penjabat kepala desa di sana adalah bagian dari ladang mencari keuntungan. Peraturan Mendagri pun dilanggar.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
Kasus operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari bersama suaminya, Hasan Aminuddin, dan sejumlah camat beserta penjabat kepala desa menggelitik rasa ingin tahu publik. Kenapa para kepala desa rela bayar puluhan juta untuk jabatan sementara?
Di Kabupaten Probolinggo, terungkap bahwa jadwal pemilihan kepada desa diundur dari Desember 2021 menjadi Februari 2022 dengan alasan masih pandemi. Karena itu, masa jabatan 252 kades pun habis per 9 September 2021. Celah mundurnya jadwal pilkades itulah yang dimainkan menjadi ”ruang pesta” sejumlah orang.
Sebenarnya, masa jabatan penjabat kades hanya sekitar enam bulan. Selama menjabat, para aparatur sipil negara itu akan mendapat tunjangan dari desa (mereka masih menerima gaji sehingga tak boleh ada dobel penggajian).
Celah menerima ”pendapatan” lain masih bisa diperoleh seorang penjabat kades, misalnya dari proses jual beli tanah dan sewa tanah bengkok.
Dari OTT KPK pun terungkap bahwa penjabat kades wajib setor ”upeti” hasil sewa aset bengkok desa Rp 5 juta per hektar. Padahal, rata-rata satu desa di Kabupaten Probolinggo memiliki tanah kas desa 10-15 hektar.
”Di Kabupaten Probolinggo pun jabatan penjabat kades bisa lama, hingga ada yang sampai dua tahun belum ada kades definitif. Namun, soal penjabat itu urusannya kabupaten,” kata seorang pendamping desa di Kabupaten Probolinggo.
Selama dua tahun itu, maka ongkos yang dikeluarkan di awal untuk menjabat penjabat kades bisa tertutup, bahkan masih untung. Besaran ongkos di awal menjabat yang diberikan kepada bupati sebesar Rp 20 juta per orang dengan setoran Rp 5 juta per hektar sewa tanah kas desa. ”Jadi ya memang menjadi penjabat kades itu ’lahan pekerjaan’ tersendiri,” katanya.
Menjadi penjabat kades jelas menguntungkan jika yang ukurannya pendapatan pribadi. Sebab, ia akan memiliki wewenang seluas kades definitif tanpa harus mengikuti pilkades. Artinya, tidak perlu repot-repot menjaring suara warga desa (dengan segala konsekuensinya termasuk ongkos politik), tetapi bisa menjadi pemimpin desa.
Sistem berdesa
Pegiat Sinau Desa, Iman Suwongso, mengatakan bahwa alasan memundurkan jadwal pilkades di Kabupaten Probolinggo terkait pandemi tidak bisa disalahkan. Sebab, itu harus dilakukan dalam kondisi pandemi seperti ini.
Namun, yang patut dicermati adalah bahwa OTT Bupati Probolinggo tersebut mengungkap sistem berdesa belum dipraktikkan dengan baik. ”Jika sistem berdesa baik, tata kelolanya baik, maka siapa pun pimpinan di desa, baik itu penjbat kades maupun kades definitif, seharusnya tidak akan begitu berpengaruh ke desa. Sebab, sistem desa sudah berjalan sendiri dengan baik,” katanya.
Sistem berdesa disebut baik jika masyarakat desanya aktif terlibat dalam pembangunan desa. Bagaimana masyarakat bisa ikut merencanakan pembangunan desa, mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. ”Kalau masyarakat bisa mengawasai jalannya pembangunan di desanya, maka kalau ada penyimpangan dilakukan oknum tertentu di desa, akan ketahuan. Jadi, praktik-praktik penyimpangan atau pengerukan keuntungan dari desa yang menyalahi ketentuan juga bisa ketahuan,” kata Iman.
Contoh penyimpangan kegiatan di desa adalah jabatan penjabat kades yang hingga dua tahun. Menurut Iman, itu penyimpangan terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 tahun 2017 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Dalam Pasal 47A dan B Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 disebutkan bahwa bupati/wali kota mengangkat PNS dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala desa sampai dengan ditetapkan kepala desa antarwaktu hasil musyawarah desa. Musyawarah desa penetapan kades antarwaktu tersebut paling lambat enam bulan. Artinya, penjabat kades maksimal menjabat enam bulan. Setelah itu, masyarakat desa harus memilih kades antarwaktu hingga masa jabatan berakhir atau hingga terpilih kades definitif.
Sayangnya, menurut Iman, sampai sekarang belum banyak masyarakat desa paham tentang bagaimana berdesa dengan baik. Kasus OTT Bupati Nganjuk dan Bupati Probolinggo bisa menjadi evalusi dan pembelajaran.