Ratusan gempa terjadi di Nusa Tenggara Barat dan sekitarnya sepanjang Agustus 2021. Tidak ada kerusakan atau korban jiwa dalam gempa-gempa tersebut.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Aktivitas kegempaan masih terus berlangsung di Nusa Tenggara Barat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dfan Geofisika Stasiun Geofisika Mataram mencatat, sepanjang Agustus, ada 296 kejadian. Masyarakat diminta untuk tetap waspada.
Kepala Stasiun Geofisika Mataram Ardhianto Septiadhi di Mataram, Rabu (1/9/2021), mengatakan, seismitas di wilayah NTB dan sekitarnya pada Agustus didominasi kejadian dengan magnitudo kurang dari 3 dan kedalaman dangkal kurang dari 60 kilometer.
”Dari 296 kejadian tersebut, terdapat satu gempa bumi yang dirasakan di NTB,” katanya.
Ardhianto menambahkan, kejadian yang dirasakan di wilayah NTB terjadi pada Minggu (29/8/2021) dengan magnitudo 4,3. Gempa itu dirasakan di Bima dengan intensitas III pada skala MMI. Skala MMI adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi.
Menurut Ardhianto, aktivitas kegempaan di NTB sepanjang Agustus dibagi dalam sejumlah kategori. Berdasarkan frekuensi kejadian selama Agustus, gempa terbanyak pada 28 Agustus lalu dengan 18 kejadian.
Sementara berdasarkan besar magnitudonya, sebanyak 205 kejadian merupakan gempa bermagnitudo kurang dari 3. Kemudian sebanyak 91 kejadian adalah gempa bermagnitudo antara 3 sampai 5. Sementara gempa bermagnitudo di atas 5 tidak terjadi.
Adapun berdasarkan kedalaman gempa bumi, sebanyak 243 kejadian berada pada kedalaman kurang dari 60 kilometer. Sebanyak 50 kejadian gempa bumi berada pada kedalaman 60 kilometer sampai 300 kilometer. Sisanya, 3 kejadian gempa bumi dengan kedalaman di atas 300 kilometer.
Masyarakat tidak perlu panik. Tetapi harus menjadi masyarakat yang mempunyai kapasitas dalam menghadapi gempa bumi itu. (Ardhianto Septiadhi)
Berdasarkan catatan Stasiun Geofisika, kejadian gempa sepanjang Mei didominasi oleh aktivitas pada sumber gempa Flores Back Arc Thrust Utara Sumbawa. Flores Back Arc Thrust atau Sesar Naik Busur Belakang Flores yang memicu gempa bermagnitudo 6,4 serta mengguncang Lombok dan Sumbawa pada Minggu, 29 Juli 2018.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gempa itu mengakibatkan 20 orang meninggal dengan kerusakan bangunan hingga 10.000 unit.
Selang lima hari, terjadi gempa bermagnitudo 7 yang mengguncang Lombok pada 5 Agustus 2018. Gempa itu mengakibatkan 564 orang meninggal (dua di antaranya di Bali dan tujuh di Pulau Sumbawa). Ratusan ribu rumah rusak.
Kewaspadaan
Terkait masih cukup tingginya aktivitas kegempaan di NTB, masyarakat di provinsi tersebut diminta untuk tetap waspada.
”Masyarakat tidak perlu panik. Tetapi harus menjadi masyarakat yang mempunyai kapasitas dalam menghadapi gempa bumi itu,” ujarnya.
Menurut Ardhianto, sebagai masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa bumi, mereka perlu memahami tentang kegempaan di wilayah sendiri. ”Setelah paham, kita perlu mengetahui bagaimana antisipasi apabila terjadi gempa. Termasuk memiliki sarana informasi gempa yang benar. Misalnya aplikasi info BMKG,” kata Ardhianto.
Kesiapsiagaan terhadap bencana alam, termasuk gempa bumi, sangat penting. Tidak hanya mencegah risiko pada korban jiwa, tetapi juga ekonomi. Catatan Kompas, gempa 2018 di Lombok mengakibatkan kerugian masyarakat Kabupaten Lombok Utara hingga Rp 9,9 triliun. Dampak lainnya, persentase kemiskinan meningkat sekitar 2 persen.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Geologi Teknik, Geoteknik, dan Mekanika Batuan Fakultas Teknik Universitas Mataram Didi Supriadi Agustawijaya mengatakan, gempa seperti 2018 diprediksikan terjadi dalam periode yang cukup pendek. Gempa magnitudo 6, misalnya, diprediksikan terjadi dalam periode 20 tahun, sementara yang bermagnitudo 7,5 dalam 40 tahun.
Oleh karena itu, kata Didi, perlu ada mitigasi bencana struktural di mana organisasi perangkat daerah punya prosedur standar operasi terkait kebencanaan. Hal itu harus diatur dalam peraturan daerah. Selain itu, perlu ada mitigasi kultural, yakni lewat pendidikan kebencanaan yang masuk dalam kurikulum sekolah.