Daun Jati hingga Teh, Khazanah Flora Nusantara Pemercantik ”Ecoprint”
Para pembuat ”ecoprint” di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeksplorasi beragam tanaman di sekitar mereka untuk berkreasi. Aneka jenis daun, bunga, kayu, dan kulit buah dimanfaatkan untuk menghasilkan karya ”ecoprint”.
Para pegiat ecoprint di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeksplorasi beragam tanaman di sekitar mereka untuk berkreasi. Aneka jenis daun, bunga, kayu, dan kulit buah dimanfaatkan menghasilkan karya ecoprint yang penuh gaya. Riset terus dilakukan untuk menambah khazanah pewarna alam.
Inggit Fandayati (40) menunjukkan pohon jati yang di halaman sebuah rumah di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dia lalu memetik dua helai daun pohon tersebut. ”Pohon jati memang banyak ditemukan di Dlingo. Daun jati ini sering kami pakai untuk membuat ecoprint,” katanya, Jumat (13/8/2021) sore.
Inggit merupakan anggota komunitas Shero yang beranggotakan 20 perempuan dari enam desa di Kecamatan Dlingo. Komunitas Shero—kependekan dari She is a Hero—aktif memproduksi karya mode dengan teknik ecoprint. Ecoprint merupakan teknik memberi motif dan warna pada kain, kulit, kertas, atau medium lain dengan bahan-bahan alami.
Menurut Inggit, Shero terbentuk sejak 2018 setelah ada pelatihan membuat ecoprint untuk para ibu di Dlingo. Setelah pelatihan itu, mereka mulai aktif memproduksi karya ecoprint dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman di lingkungan sekitar. Selain daun jati, ada banyak jenis daun lain di Dlingo yang dimanfaatkan untuk memberi motif pada kain dengan teknik ecoprint.
Tonton juga : ”Ecoprint”, Mencetak Kain dengan Motif Alami
Beberapa jenis daun itu, misalnya, ialah daun jenitri, lanang, jarak kepyar, jarak wulung, kenikir, kelengkeng, hingga daun columbus atau wedusan. Selain itu, para anggota Shero juga memanfaatkan aneka jenis bunga, seperti bunga waru, bunga ketul, dan bunga kenikir.
Untuk pewarnaan kain, para anggota Shero juga memanfaatkan bahan-bahan alami, misalnya kayu tegeran, kulit kayu tingi, kulit buah jolawe, kayu jambal, dan kulit kayu mahoni. Sebagian tanaman yang dipakai untuk ecoprint itu tumbuh secara alami di Dlingo, tetapi ada juga yang sengaja ditanam.
Sebagian tanaman yang dipakai untuk ecoprint itu tumbuh secara alami di Dlingo, tetapi ada juga yang sengaja ditanam.
Selain itu, anggota Shero kadang juga memanfaatkan limbah kayu dari usaha mebel di Dlingo untuk membuat ecoprint. ”Di kawasan Dlingo kan banyak pembuat mebel yang memakai kayu mahoni sehingga limbahnya banyak. Jadi, kami tinggal minta ke perajin mebel,” ujar Inggit.
Inggit menuturkan, ada tiga jenis teknik ecoprint yang dipraktikkan oleh komunitas tersebut. Tiga teknik itu adalah teknik ecoprint dasar, medium, dan botanical spring. Dalam teknik dasar, kain hanya diberi motif dengan daun atau bunga, tetapi tidak diwarnai sehingga dasar kain tetap berwarna putih.
Sementara itu, dalam teknik medium, kain tak hanya diberi motif, tetapi juga diberi pewarna dengan bahan-bahan alam. Adapun dalam teknik botanical spring, dilakukan mordanting dengan bahan dan cara khusus sehingga menghasilkan motif daun atau bunga yang lebih jelas dan sempurna. Mordanting merupakan proses menyiapkan kain agar bisa menerima zat pewarna dengan baik.
Anggota Shero lainnya, Koni’ah (43), menjelaskan, proses pembuatan karya ecoprint sering memberi kejutan karena hasilnya tak terduga. Hal ini karena hasil pewarnaan dengan teknik ecoprint sering kali tidak sama meskipun menggunakan bahan pewarna alam dan teknik pewarnaan yang sama.
Kondisi itu terjadi karena hasil pewarnaan dengan bahan alam dari tanaman dipengaruhi banyak hal, seperti usia tanaman dan lokasi tanaman tumbuh. ”Mau pakai daun jati terus pun, warna yang dihasilkan bisa berbeda-beda,” ujar Koni’ah.
Baca juga : Rancak Jejak Dedaunan
Hasil pewarnaan itu juga bisa dipengaruhi jenis kain dan bahan yang dipakai untuk mordanting. Koni’ah mencontohkan, pembuatan ecoprint dengan daun jati pada kain katun primisima menghasilkan motif daun dengan warna ungu. Sementara itu, produksi ecoprint dengan daun jati di kain sifon menghasilkan motif daun berwarna oranye.
Penelitian wanagama
Pengalaman para anggota Shero di Dlingo menunjukkan, ada banyak jenis tanaman di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk membuat karya ecoprint yang ciamik. Potensi besar pengembangan ecoprint dengan tanaman lokal itu turut didukung pelbagai riset, salah satunya Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, melalui tim Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan.
Dari 126 jenis daun itu, 90-100 daun di antaranya bisa menghasilkan warna sehingga berpotensi digunakan untuk membuat ecoprint.
Beberapa bulan lalu, tim Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM melakukan penelitian di Hutan Wanagama, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman di hutan tersebut yang berpotensi dijadikan bahan pembuatan ecoprint. Wanagama merupakan hutan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM dengan status kawasan hutan dengan tujuan khusus. Hutan itu memiliki luas 622,25 hektar.
Dosen Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM Rini Pujiarti mengatakan, ada 126 jenis daun yang telah diteliti oleh tim tersebut. Dari 126 jenis daun itu, 90-100 daun di antaranya bisa menghasilkan warna sehingga berpotensi digunakan untuk membuat ecoprint. ”Kami baru melakukan penelitian awal. Hasil penelitian ini belum dipublikasikan, kami baru menyusun untuk publikasinya,” katanya.
Rini memaparkan, berdasarkan penelitian itu, beberapa jenis daun di Wanagama yang bisa digunakan untuk ecoprint, misalnya, daun jati, eukaliptus, suplir, sonokeling, kaliandra, mindi, kersen, dan soka jawa. ”Setiap daun itu kami uji coba di laboratorium dengan teknik ecoprint yang dikukus. Lalu, kami lihat mana yang mengeluarkan warna dan mana yang tidak,” ujarnya.
Untuk selanjutnya, Fakultas Kehutanan UGM juga akan melakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui ketahanan warna masing-masing daun. Mereka juga berencana meneliti potensi pemanfaatan daun yang telah mengering untuk membuat karya ecoprint. ”Ada mahasiswa saya yang akan meneliti untuk membandingkan daun basah dan daun kering seperti apa,” tutur Rini.
Apabila daun kering bisa dipakai untuk ecoprint, Rini berharap, masyarakat bisa lebih banyak memanfaatkan daun yang telah mengering untuk pembuatan ecoprint. Dengan begitu, penggunaan daun segar untuk ecoprint bisa dikurangi. ”Harapannya, kalau misalnya daun kering bisa digunakan untuk ecoprint, masyarakat enggak perlu ambil daun-daun segar dari pohon,” ungkapnya.
Baca juga : Misteri Keindahan pada Lembaran Kain ”Ecoprint”
Dosen Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM Vendy Eko Prasetyo menyatakan, penelitian itu merupakan bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM. Dalam kegiatan itu, tim Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM ingin mengajak masyarakat yang tinggal di sekitar Hutan Wanagama mengembangkan produk ecoprint dengan memanfaatkan aneka jenis tanaman di Wanagama.
Agar pengembangan ecoprint bisa berjalan baik, dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman di Wanagama yang cocok untuk membuat ecoprint. Selain itu, tim Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM juga bekerja sama dengan salah satu produsen ecoprint ternama di Yogyakarta untuk melatih masyarakat sekitar Wanagama membuat ecoprint.
Menurut Vendy, kegiatan pengabdian masyarakat itu akan berlangsung selama tiga tahun, yakni 2021-2023. Dengan kegiatan itu, masyarakat sekitar Hutan Wanagama diharapkan bisa mendapatkan manfaat dari pengolahan hasil hutan tanpa harus merusak lingkungan. ”Kami ingin mengembangkan strategi pengolahan hasil hutan yang bisa bermanfaat besar bagi masyarakat sekitar,” ujarnya.
Baca juga : Eksplorasi Flora dalam ”Ecoprint”
Teh untuk pewarna
Uji coba pembuatan ecoprint dengan pewarna alam juga dilakukan kelompok usaha Eco.J di Kampung Karangkajen, Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. Eco.J merupakan kelompok usaha yang bergerak di bidang pembuatan ecoprint. Kelompok itu beranggotakan sejumlah warga Karangkajen yang sebagian besar merupakan ibu-ibu rumah tangga.
Selama beberapa waktu terakhir, para anggota Eco.J melakukan uji coba pewarnaan kain dengan daun teh. Salah seorang anggota Eco.J, Rubi Utami (42), menuturkan, pihaknya sedang membuat katalog warna alam menggunakan teh. Katalog warna teh itu diharapkan bisa menjadi acuan pembuatan karya ecoprint bagi pihak lain. ”Referensi katalog warna dari teh itu, kan, belum ada. Makanya, kami bikin katalog ini,” ujarnya.
Untuk membuat katalog tersebut, para anggota Eco.J melakukan uji coba menggunakan sejumlah produk teh seduh yang dijual di pasaran dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Merek teh seduh yang dipakai itu adalah Teh Gopek, Teh Pecut, Teh Dandang, Teh Poci Emas, dan Teh Tang.
Selain itu, mereka juga memakai daun teh dari Kebun Teh Nglinggo di Kabupaten Kulon Progo, DIY. “Kami memakai teh dari Kebun Teh Nglinggo juga karena itu satu-satunya kebun teh di DIY,” tutur Rubi.
Oleh karena itu, ada enam jenis teh yang digunakan oleh para anggota Eco.J dalam pembuatan katalog tersebut. Enam jenis teh itu kemudian diuji coba menjadi pewarna di enam jenis kain, yakni kain primisima, kain doby, kain katun Jepang, kain katun sutra, kain rayon, dan kain viscose.
Berdasarkan uji coba itu, setiap jenis teh ternyata menghasilkan karakter warna berbeda. Bahkan, satu produk teh juga akan menghasilkan karakter warna berbeda jika kain yang dipakai berbeda.
Rubi mencontohkan, hasil pewarnaan dengan Teh Gopek di kain primisima akan berbeda dengan pewarnaan Teh Gopek di kain viscose. Oleh karena itu, hasil uji coba yang dilakukan para anggota Eco.J ternyata menghasilkan variasi warna yang sangat kaya.
Riset dan uji coba para pegiat ecoprint kian menguatkan kesimpulan bahwa Indonesia memiliki bahan alami yang sangat kaya untuk mendukung pengembangan pewarna alam. Pekerjaan rumah tersisa untuk meningkatkan kualitas produk dan pemahaman masyarakat agar produk-produk mode ramah lingkungan bisa semakin diterima pasar.