Bisnis ”ecoprint” di Kota Surabaya, Jawa Timur, terus bergulir seiring bertambahnya pelaku usaha menggeluti pembuatan corak, motif, dan warna khas alami pada lembaran kain.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
Satu demi satu, daun, bunga, bahkan ranting tanaman diletakkan di atas kain oleh Yayuk Eko Agustin (57), pemilik Namira Ecoprint, bisnis yang dibidani suaminya, Didik Edi Susilo (63), di rumah mereka di Perumahan Wisma Kedung Asem, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Minggu (25/4/2021).
”Nanti corak dan warna yang akan muncul pada selembar kain setelah direbus tidak ada yang bisa memprediksi. Intinya, hasil dari proses selalu bikin hati berdebar-debar karena penuh misteri,” kata Yayuk, ibu dua anak ini.
Motif yang muncul pada lembaran kain selalu sesuai dengan daun, bunga, atau ranting yang diaplikasikan. Namun, gradasi warna yang dihasilkan serta detail bentuknya tak pernah sama. Didik selalu menyebutnya dengan kata ”menakjubkan”.
Ecoprint sendiri sebenarnya sebuah teknik mewarnai sebuah kain dan membentuk motif menggunakan bahan alam di sekitarnya berupa daun, bunga, hingga ranting tanaman. Meski menggunakan jenis bahan alami sama, satu produk dengan produk lain yang dihasilkan dari teknik ecoprint tak akan pernah sama. Di sinilah tantangan sekaligus misteri yang mendebarkan sang kreator. Nilai jualnya pun bisa jutaan rupiah dari selembar kain.
Dengan ketelatenan, hampir setiap hari, bahkan hingga larut malam, Didik terus berekspresi dengan menata satu per satu bahan pada selembar kain putih. Mulai daun jati, jarak, berbagai jenis bunga, ranting, bahkan memotong-motong daun pisang sehingga memunculkan corak kotak-kotak. ”Perlu seni untuk menyelaraskan semua daun, bunga, juga ranting agar membentuk corak yang apik,” ujarnya.
Mengesankan
Hal serupa diungkap pegiat ecoprint Surabaya, Shanty, yang kini giat mendampingi Komunitas Ecoprint Surabaya yang beranggotakan 100 orang. Pengalaman mantan wartawati yang tiga tahun belakangan bergabung dalam Komunitas Ecoprint Surabaya sangat mengesankan karena setiap karya menghasilkan corak dan warna yang tak bisa diprediksi secara tepat.
”Paling berkesan jika jejak daun muncul dengan warna yang tajam,” katanya.
Menurut Nita Tjindarbumi (55), pelaku usaha ecoprint, setiap karya yang dihasilkan membuat dirinya lebih dekat dengan alam. Menggarap produk ecoprint, menurut ibu dua anak ini, tidak hanya memantik penggunaan dedaunan, tetapi sekaligus mendorong dirinya lebih giat menanam berbagai macam tanaman untuk kebutuhan ecoprint.
”Mengembangkan usaha ecoprint tak sekadar sebagai pengungkit ekonomi, tetapi lebih kuat justru dorongan melestarikan lingkungan. Apalagi saat memetik daun tidak dilakukan sembarangan, sesuai keperluan saja,” kata Nita.
Hal serupa dikemukakan Didik yang menilai setiap hasil ecoprint merupakan karya yang selalu memunculkan kejutan. Penataan tiap daun atau bunga tak boleh dilakukan sembarangan supaya bisa menghasilkan selembar kain dengan komposisi seimbang, baik warna maupun jejak daun.
”Faktor ketelatenan dan juga pengetahuan serta pengenalan tentang karakter masing-masing daun sangat diperlukan. Sebab, ada daun jejaknya mengeluarkan warna, tetapi ada daun hanya memunculkan siluet yang luar biasa bagusnya,” tutur Ketua RW V, Kelurahan Kedung Baruk, Rungkut, itu.
Menurut Anita Tri Susilowati dari Asosiasi Handicrafts Jati, tiga tahun belakangan pelaku usaha yang menekuni ecoprint semakin banyak. Tiap-tiap pelaku memiliki ciri khas pada produknya meski mereka sering berbagi trik atau kiat dalam memproses ecoprint.
Kelompok UKM Ecoprint pun, menurut Anita, rutin menambah pengetahuan agar karya semakin berkualitas karena produk ecoprint kini mulai memiliki pangsa pasar. Bahkan, ecoprint kini tak lagi hanya diaplikasikan pada lembar kain, tetapi juga kulit untuk dibuat tas, dompet, serta barang-barang yang memenuhi selera dunia mode.
Banyak daun bisa digunakan dalam pewarnaan ecoprint. Namun, tak semua jenis daun bisa digunakan. Biasanya, daun dengan kadar air tinggi, tekstur keras dan tebal tidak bisa dipakai. Untuk mendapatkan karya yang lebih berwarna dan elegan haruslah alami.
Untuk warna dasar kain, para pegiat ecoprint rata-rata memanfaatkan kayu secang, mahoni, tingi, tegeran, dan jolawe. ”Untuk memperoleh hasil yang semakin baik, jangan pernah lelah melakukan percampuran segala daun, bunga, termasuk ranting,” ujar Didik.
Demi mendukung keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk kalangan pegiat ecoprint, Pemerintah Kota Surabaya terus memberi dukungan. Pada peringatan Hari Kartini yang diselenggarakan di Taman Surya, Jumat (30/4/2021), misalnya, Pemkot Surabaya dan Dekranasda Kota Surabaya menggelar acara khusus.
Kegiatan itu seluruh propertinya merupakan produk pelaku UMKM Surabaya, mulai dari busana, alas kaki, makanan dan minuman, hingga pernak-pernik yang dipakai saat lomba. Lomba yang digelar antara lain membuat kolase, hantaran, suvenir, hingga bingkisan.
Kegiatan paling ditunggu adalah lomba peragaan busana menggunakan produk UMKM, antara lain ecoprint, batik, jumputan, dan bordir, dengan para peraga para pejabat pemkot hingga camat di kota dengan penduduk 3,2 juta jiwa ini.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya bisa tampil sebagai maskot sekaligus pemasar produk UMKM. Dengan demikian, diharapkan perlahan bisa diikuti warga Surabaya sebagai pasar utama. ”Acara ini hanya sebagai momentum kebangkitan UMKM di kota ini, sekaligus mengajak warga agar lebih mencintai dengan cara membeli produk sesama warga,” ujarnya.
Demi kebangkitan UMKM, Pemkot Surabaya memberikan ruang begitu luas, mulai dari belajar menjadi pelaku usaha hingga benar-benar mandiri, termasuk dalam kreativitas bisnis ramah lingkungan seperti ecoprint.