Eksplorasi Flora dalam ”Ecoprint”
Dimensi ”ecoprint” sangat luas sehingga menantang untuk dieksplorasi. Media yang dimanfaatkan kian beragam. Tak hanya kain, kulit dan bambu pun dipakai untuk ”ecoprint”.
Luasnya dimensi eksplorasi ecoprint membuat banyak pegiatnya jatuh hati sekaligus tertantang. Berbagai eksperimen mereka lakukan untuk menghasilkan produk terbaik dari warna-warna alami daun dan bunga di atas media tertentu.
Pada umumnya, ecoprint dilakukan di atas kertas atau kain. Kini banyak kreasi ecoprint di atas kulit, keramik, dan bambu.
Begitu banyaknya pembuat ecoprint di atas kain membuat Sari Wahyuni melirik media kulit untuk produknya. Pemilik lini Sweet Shabrina ini juga secara spesifik memilih produk tas sebagai aplikasi ecoprint di atas kulit.
”Saya bisa lebih leluasa berkreasi. Saya cari bentuk dan warna yang tidak pasaran. Rupanya peminatnya banyak, padahal dulu tidak dilirik,” ujar Sari, Kamis (5/3/2020), di kediamannya di Cakung, Jakarta Timur.
Di tempat itulah dia membuat tas kulit ecoprint dari dasar sampai bisa disandang di bahu. Kebetulan sebelum berkecimpung di dunia ecoprint, Sari lebih dulu menguasai jahit-menjahit. Dengan demikian, dia bisa menghasilkan produk akhir yang bernilai ekonomis dari lembaran-lembaran kulit ecoprint.
Awalnya dia belajar ecoprint pada pertengahan 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia memperdalam dan memperluas pengalaman dengan mengikuti pelatihan di Jakarta. Sekarang Sari juga membuka sendiri kelas belajar ecoprint di rumahnya. Peserta datang dari sejumlah daerah, seperti Cirebon, Yogyakarta, dan Medan.
Dari pengalaman menjual produknya di pasar, dia mengamati bahwa lebih banyak pembeli yang berminat dengan tas berwarna gelap. ”Mungkin enggak mau tasnya gampang kotor,” katanya sembari tertawa.
Beberapa tas yang diperlihatkan Sari didominasi warna gelap, seperti hitam, coklat tua, warna tanah, dan biru gelap. Warna gelap itu kontras dengan dedaunan yang berwarna lebih terang.
Warna gelap bisa dihasilkan dari kulit kayu jelawe, tegeran, dengan zat pengunci dari tunjung. Sari menanam sendiri sejumlah pohon yang daunnya bisa tinggal diambil saat membuat ecoprint. Di antaranya ada daun lanang dan daun kayu afrika. ”Pakai daun jati, daun bambu, juga bisa. Warnanya kuat. Rumput liar juga bisa dipakai, tinggal ambil di sekitar rumah,” tuturnya.
Hasil akhir
Tantangan membuat ecoprint, kata Sari, adalah kita tidak pernah tahu pasti hasil akhirnya seperti apa. Meskipun sudah dibuat sesuai teori, hasilnya bisa berbeda, tidak seperti yang diharapkan.
”Jadi, kita harus terus mencoba. Semakin sering mencoba, semakin kita bisa tahu hasilnya,” katanya.
Meskipun demikian, kegagalan membuat ecoprint tidak perlu ditakuti. Bagi Sari, hasil ecoprint yang gagal pun tetap terlihat unik dan menarik. Dia pernah terlalu lama mengukus kulit sehingga bolong-bolong. Pernah juga menaruh dedaunan di sisi kulit yang salah.
Tak perlu khawatir, kata Sari. Kegagalan seperti itu bisa disiasati saat membuat produk akhir ecoprint. Misalnya dengan peletakan pada sisi-sisi tertentu atau pembuatan pola-pola yang membuat kesalahan itu tersamar.
Angie Wijaya, pemilik lini Atmacraft, juga memanfaatkan media seperti kain dan kulit untuk produk-produk yang dibuatnya. Untuk kain, dia membuatnya menjadi baju, pasmina, syal, dan hijab. Sementara untuk kulit dibuat menjadi dompet, pouch, dan tas. Beberapa produk di antaranya dia jahit dengan tangan, terutama untuk produk ukuran kecil.
Sekitar tahun 2017, Angie memulai usaha ecoprint. Dia mengikuti pelatihan melalui Skype dengan perajin dari Turki, lalu melakukan eksperimen pengembangan sendiri. Dia pun banyak mengamati karya-karya perajin ecoprint dari luar negeri untuk menambah wawasan.
Selain daun-daun yang sudah populer dimanfaatkan para pegiat ecoprint, Angie mencoba beberapa jenis tanaman untuk menghasilkan warna dan bentuk yang berbeda. ”Saya menemukan daun merambat liar yang bisa memberi warna coklat kemerahan. Ada juga yang seperti gulma. Ada bunga keningkir,” paparnya.
Eksperimen
Dia juga mencoba bereksperimen dengan media kanvas. Namun, hasilnya tidak sebagus ecoprint pada kulit. Tidak semua daun yang berhasil pada kulit bisa berhasil pada kanvas. Angie juga ingin mencoba ecoprint di atas kayu.
Agar bisa mendapatkan hasil maksimal, menurut Angie, seseorang yang ingin membuat ecoprint perlu paham betul warna yang dihasilkan dari daun-daun yang dipakai. Terlebih jika ingin membuat sebuah produk berdasarkan keserasian warna.
”Bisa dibuat sket lebih dulu supaya tidak berantakan warna dan bentuknya. Sebenarnya meletakkan (daun) secara sembarangan pun tidak masalah asal tahu daun itu mengeluarkan warna apa agar warna dan bentuk bisa harmonis,” ujar Angie.
Yang menjadi tantangan ketika menjual produk ecoprint adalah warna yang bisa memudar seiring waktu karena proses pencucian, penjemuran, dan pemanasan lewat setrika. Untuk itu perawatan yang teliti perlu dilakukan pembeli, misalnya dicuci dengan sampo bayi untuk kain atau sering diangin-anginkan untuk kulit.
Produk ecoprint di atas bambu dibuat oleh Utami Dewi dari Dewi House Craft di Wates, Kediri, Jawa Timur. Dari berbagai pengalamannya berkutat dengan kerajinan, Utami merasa nyaman dengan proses ecoprint karena sifatnya yang alami. Selain itu, ecoprint juga memungkinkan dia untuk eksplorasi dengan berbagai media.
Maka, dia pun mencari media yang alami pula untuk menapakkan jejak-jejak dedaunan. ”Kebetulan teman saya punya usaha membuat mug dari bambu. Saya mencoba membuat nilai tambah di atasnya dengan ecoprint,” katanya.
Dengan daun jati, hasil yang didapat langsung memuaskan. Warna coklat kemerahan tertoreh di sisi mug bambu membuatnya lebih menawan.
Mug itu bisa dimanfaatkan untuk minum atau untuk suvenir. Pengiriman produk bambu pun lebih mudah karena tidak gampang pecah.
Utami tengah mencoba kreasi lain, yakni ecoprint di atas anyaman. Dia telah berhasil membuat untuk ukuran kecil, seperti wadah permen. Dia pun tertantang untuk membuat produk yang lebih besar, seperti keranjang kue atau tas.
”Saya senang karena dimensi ecoprint sangat luas. Yang penting kita telaten mencoba karena prosesnya agak lama,” kata Utami.