Realita di Balik Byarpet Lampu-lampu Kafe di Masa PPKM
Bisnis kafe di Kota Semarang terpuruk akibat kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Para pengelola berupaya menyiasatinya, tetapi tetap tak optimal. Saat pelonggaran terjadi, masyarakat seolah dilanda euforia.
Bagi mahasiswa dan pekerja muda di daerah urban, kafe telah menjadi ruang sosial yang memenuhi gaya hidup. Tempat jujugan nongkrong, kerja, bikin tugas, atau sejenak bergunjing. Namun, pandemi memukul saat bisnis kafe sedang mekar-mekarnya. Setelah lama tiarap, pelonggaran memantik euforia.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.32. Temaram lampu-lampu bohlam masih berpendar hangat di salah satu kafe di Jalan Banjarsari Selatan, Tembalang, Kota Semarang, Kamis (12/8/2021). Tanpa ada pengecekan suhu di muka pintu, Kompas masuk, menuju ke meja pemesanan.
”Masih bisa pesan?”
”Dimakan di sini atau dibawa pulang, ya, Kak?” sambut pegawai kafe ramah.
”Kalau dimakan di sini, masih boleh?” Kompas ingin tahu.
”Masih, kok, Kak. Silakan langsung dipesan saja,” jawab pegawai, santai.
Tentu saja, kafe tersebut sudah melanggar Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 49 Tahun 2021, bahwa tempat makan atau kafe wajib tutup pukul 20.00 WIB pada masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4. Bermaksud mengamati situasi, Kompas membeli secangkir kopi tubruk arabika aceh gayo, lalu duduk di meja pojok.
Di lantai satu, dua meja terisi pengunjung. Masing-masing diisi empat tamu dan dua tamu. Para perempuan muda itu asyik mengobrol tanpa masker meski tak sedang menyantap makanan atau minuman. Di lantai dua, masih ada empat meja terisi tamu. Situasinya sama. Tak ada jaga jarak. Tanda silang di meja kafe tak lebih stiker hiasan.
”Tott..tott!” Suara klakson khas mobil patroli petugas nyaring membuyarkan suasana cozy di dalam kafe yang tengah memutar lagu-lagu jazz klasik. Satu mobil patroli Satpol PP melintas. Hanya berlalu. Petugas tak turun menertibkan kafe yang terlihat jelas dari luar karena hampir semua dindingnya berupa kaca bening.
Baca Juga: Mal di Semarang Mulai Buka, Pengunjung Relatif Masih Sepi
Salah satu pegawai kafe akhirnya mematikan beberapa lampu bohlam untuk membuat ruangan lebih redup. Ia juga menutup tirai-tirai lipat. ”Maaf, Kak, ini ditutup saja, ya, tirainya,” ujar pegawai.
”Tapi ini enggak apa-apa?” kata Kompas sambil menunjuk secangkir kopi yang belum habis diminum.
”Enggak apa-apa, Kak. Yang lain juga masih ramai,” ucap si pegawai.
Sekitar pukul 22.15, Kompas melangkah keluar. Saat itu, para perempuan belia yang tadi mengisi dua meja di lantai pertama belum juga pulang. Asyik memandangi layar telepon genggam masing-masing sambil sesekali cekikikan.
Di tempat parkir, saat bersiap pergi, abang tukang parkir menghampiri. ”Enggak apa-apa sebenarnya, Mas. Satpol PP biasanya cuma lewat saja. Lha itu, kafe lain malah lebih parah,” ucap Herman, tukang parkir itu.
Herman benar. Menyusuri Jalan Banjarsari yang dipenuhi kafe, anak-anak muda memenuhi setiap sudutnya hingga meluber. Mereka asyik menikmati malam. Berkerumun tanpa masker, seperti tak ada lagi ancaman penularan Covid-19 di sekitarnya.
Baca Juga: Stok Masih Terbatas, Syarat Vaksinasi untuk Masuk Mal Dinilai Tidak Adil
Jerit pengelola
Sejak aturan PPKM level 4 terbaru membolehkan kafe menerima makan di tempat, para pengelola dan pengunjung seolah dilanda euforia. Padahal, Instruksi Mendagri terbaru jelas bahwa rumah makan dan kafe di luar mal diizinkan buka dengan protokol kesehatan ketat hanya sampai pukul 20.00. Selain itu, kapasitas maksimal 25 persen dan satu meja hanya diisi dua orang. Waktu makan pun dibatasi 20 menit.
Namun, yang terjadi di Kota Semarang, kafe-kafe sudah buka seperti biasa. Kebanyakan baru tutup di atas pukul 22.00, bahkan lebih. Mereka seolah berpesta setelah sekian lama dikekang.
Meski tak bisa dibenarkan, bisnis kafe memang sangat terpuruk seiring kebijakan PPKM. Padahal, beberapa tahun terakhir, kafe seperti menjadi lahan bisnis anyar yang naik daun memanfaatkan gaya hidup anak muda.
Fenomena itu tak terkecuali di wilayah Tembalang dan Banyumanik, yang sering disebut ”Semarang atas” oleh warga lokal. Tiga hingga empat tahun terakhir, sejumlah kawasan permukiman yang berdekatan dengan kompleks Universitas Diponegoro tersebut berubah menjadi sentra kafe dan restoran. Didukung geliat kehidupan mahasiswa dan pekerja muda yang banyak mencari kos atau kontrakan di wilayah itu, kafe-kafe tumbuh subur. Jika ada satu yang tutup, tak berapa lama akan tumbuh kafe lain.
Setelah tutup total pada awal pandemi Maret 2020, lalu mulai kembali buka Juli 2020, bisnis kafe kembali terpuruk seiring kebijakan PPKM darurat awal Juli 2021. Makan di tempat dilarang. Hanya boleh pesan via daring. Kursi-kursi dibalik, bantal-bantal duduk disimpan di gudang.
Yayan (35), pengelola Tower Cafe, di Tembalang menuturkan, omzetnya anjlok hingga 70 persen selama PPKM. ”Sektor kuliner memiliki nilai lebih dengan makan di tempat. Memang tak bisa dihindari, pasti akan menimbulkan kerumunan,” ujarnya.
Lauren Widya (32), manajer salah satu kafe di Jalan Mulawarman Raya, mengungkapkan, pada kondisi normal, omzet kafenya berkisar Rp 50 juta hingga Rp 70 juta per bulan. Namun, pada Juli lalu, saat PPKM darurat berlaku, pendapatannya hanya Rp 20 juta.
Baca Juga: ”Nongkrong” di Kafe di Tengah Pandemi
Saat makan di tempat dilarang, pengelola tetap terbebani biaya operasional, seperti listrik, belanja, dan gaji pegawai. Widya mencontohkan, gaji tujuh pegawai di kafenya mencapai Rp 16 juta. Pemilik kafe meminta mengurangi biaya operasional maksimal Rp 4 juta. ”Owner sudah tombok,” ucapnya.
Ivan Laksa, pengelola Pijar Coffee, di Banyumanik memilih tidak menerima pemesanan kopi panas karena mengonsumsi listrik lebih tinggi. ”Mesin kopi dinyalakan saat menyiapkan expresso saja. Mesin AC yang hidup hanya satu, tidak berani dua dalam satu ruangan. Kadang dimatikan semua,” tutur Ivan.
Adapun Yayan coba menghemat penggunaan listrik di Tower Cafe dengan tidak menghidupkan lampu di lokasi makan. Mereka juga tidak memutar musik, salah satu unsur penting kelengkapan suasana kafe, tetapi apa daya.
Bagas, pemilik Matera Café, yang baru beroperasi sejak 10 Juni 2021, harus mengurangi jam kerja karyawan serta menghemat listrik dengan mengurangi nyala lampu dan operasional AC.
Bahkan, menurut Ivan, mereka terpaksa merumahkan 6 dari 11 karyawan, kebanyakan barista. Aldo, pengelola Sattiere Cafe, juga memberhentikan para barista paruh waktu. Untuk barista penuh waktu, diberlakukan sistem giliran masuk.
Upaya promo juga sudah dilakukan. Tower Café, misalnya, menawarkan promo hingga 40 persen dan paket hemat layanan daring. Sementara Pijar Coffee membuat layanan drive thru serta memberi diskon 20 persen dengan menunjukkan kartu vaksin. Namun, tetap saja sulit menutup seluruh biaya operasional.
Persuasif
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Avi Budi Setiawan, menjelaskan, PPKM berdampak besar bagi penurunan omzet kafe. Terlebih, keunggulan komparatif kafe adalah layanan makan di tempat. Pengunjung memilih kafe karena dorongan nongkrong serta bersantai menghabiskan waktu.
Avi menjelaskan, strategi bertahan bagi para pemilik kafe adalah tetap buka dengan efisiensi biaya dan menekan biaya tetap. Ia menyarankan, inovasi usaha perlu dilakukan dengan menetapkan keunggulan lain, semisal pada variasi menu atau sensasi makan take away yang menyenangkan.
Hasya Ancelia (20), mahasiwi Universitas Diponegoro yang tinggal di Tembalang, misalnya, memilih kafe untuk mengerjakan tugas atau sekedar nongkrong karena nyaman. Namun, ia setuju kerumunan di kafe mesti dihindari.
”Pembatasan makan di tempat harus dipertegas agar tak ada kesan tebang pilih dalam penertiban. Sebab, ada kafe yang dirazia, tetapi ada yang santai-santai saja buka,” ujar Kirana (20), mahasiswi lainnya.
Baca Juga: Bisnis Kopi Hulu-Hilir Terimbas Pandemi
Kepala Satpol PP Kota Semarang Fajar Purwoto meminta para pengelola kafe sabar dulu dan mengikuti aturan PPKM. ”Meski Covid-19 di Semarang sudah menurun, kami minta pedagang sabar dan taat aturan. Semoga dalam waktu dekat aktivitas ekonomi kembali normal. Sebab, jika angka kasus naik lagi, bisa jadi pembatasan akan kembali diperketat,” tuturnya.
Terkait penertiban, Satpol PP berusaha memilih upaya persuasif. Hal ini tak lepas dari insiden awal Juli lalu saat viral di media sosial ada petugas Satpol PP Semarang menertibkan restoran dan toko yang melanggar larangan buka dengan menyemprotkan air hingga mengambil kursi, tabung gas, dan barang dagangan.
Kala itu, Wali Kota Hendrar Prihadi kesal hingga menegur kepala Satpol PP. Hendrar meminta petugas mengawal penerapan PPKM dengan menyampaikan maksud kepada masyarakat secara santun. ”Jangan sampai lelahnya petugas justru menimbulkan tindakan yang kontraproduktif akan esensi penertiban peraturan,” ucapnya.
Dalam situasi pandemi yang tak pasti, nasib bisnis kafe seperti lampu-lampunya yang kini byarpet. Kadang mati, kadang hidup, atau kadang hidup, tetapi redup. Semua berharap roda-roda kembali berputar dan melingkar. Namun, saat keselamatan masih menjadi prioritas, aturan dan protokol kesehatan sewajarnya ditaati demi kebaikan bersama.