Menunggu Rumah Bantuan ”Seroja” yang Tak Kunjung Tiba
Permukiman di bantaran Sungai Liliba, Kampung Amanuban, Kota Kupang, masih luluh lantak akibat badai Seroja.
Bantaran Sungai Liliba, Kampung Amanuban, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, masih luluh lantak. Puluhan bangunan ”bergelantungan” di bibir jurang. Ratusan rumah retak masih menampung pemilik dan pengungsi. Sebanyak 172 keluarga di Kampung Amanuban mengungsi ke rumah saudara atau tetangga. Pengungsi ingin segera menempati rumah baru yang dibangun pemerintah.
Mersi Taek (54), warga RT 7/12 Kampung Amanuban Kelurahan Kayu Putih Kota Kupang, Jumat (13/8/2021), tengah mencuci pakaian secara manual. Lima ember air berderet di sampingnya. Sudah hampir empat bulan ini, ia bersama suami dan empat anak mereka menumpang di rumah saudara, di sebelah reruntuhan bangunan di bantaran Sungai Liliba, akibat badai Seroja, 3-5 April 2021.
Siang itu, Mersi mengawasi empat anaknya yang sedang bermain. Anak-anak di sepanjang bantaran sungai itu harus dipantau saat bermain karena halaman rumah berdekatan dengan longsoran sedalam 12 meter ke arah sungai, peninggalan badai Seroja. Dikhawatirkan mereka terperosok ke jurang. Batu-batu kerikil sekitar itu cukup licin.
Baca juga : Kerugian Sementara akibat Badai Seroja di NTT Rp 34 Triliun
Rencana pemerintah mengganti bangunan rumah milik Mersi dan 171 keluarga lain belum rampung. Mereka bersedia dievakuasi ke Kelurahan Munulai II sekitar 30 km dari Kampung Amanuban. Kini, beberapa rumah sudah dibangun Kementerian PUPR.
Satu unit rumah menghabiskan biaya Rp 170 juta dengan konstruksi bangunan langsung dari Surabaya. Semua bahan bangunan tahan gempa. Jumlah 172 unit rumah itu merupakan pembangunan tahap pertama dan prioritas untuk warga Kampung Amanuban, Kelurahan Kayu Putih. Total keseluruhan rumah yang harus dibangun di Kota Kupang akibat Seroja sebanyak 534 unit.
”Saya sudah melihat dua unit rumah yang dibangun di Manulai II itu. Rumahnya bagus, tipe 36, dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan dapur. Saya dan suami serta anak-anak rindu segera menempati rumah baru di sana,” kata Mersi yang sudah menempati rumah di Bantaran Sungai Liliba sejak 22 tahun silam.
Baca juga : Saat Badai Seroja Datang Malam Hari
Mersi menunjuk rumahnya yang hancur berantakan akibat longsor dan patahan tanah di sepanjang bantaran sungai. Sebanyak 172 unit rumah di wilayah itu rusak. Kondisi tanah retak dan longsor sepanjang bantaran sungai belum ditata. Sebagian bangunan masih dalam kondisi miring, sebagian sudah retak, sebagian sudah terguling bersama longsoran, dan sebagian sudah roboh atau dibongkar karena mengancam keselamatan.
Maleakhi Set (34), warga Kampung Amanuban yang rumahnya hanyut terbawa longsoran, mengatakan, rumahnya menyisakan setengah kamar. Ia bersama istri dan tiga anak menempati satu kamar rumah warga, sekitar 30 meter dari rumahnya.
”Saya bangun rumah di bantaran itu selama enam tahun, ukuran 5 meter x 7 meter. Setiap ada uang, saya tambah satu kamar atau membentang lantai kasar dari campuran semen dan pasir. Saat terjadi longsor, kami semua sudah mengungsi dengan pakaian di badan. Semua barang di rumah ikut terbawa longsor, hanya dokumen penting kami amankan lebih awal,” kata buruh bangunan ini.
Baca juga : Kabupaten/Kota di NTT Merampungkan Data Kerusakan Rumah akibat Badai Seroja
Sepanjang bantaran itu, masyarakat berkelimpahan air. Hampir setiap keluarga memiliki sumur galian dengan kedalaman 7-15 meter. Air sumur tidak pernah kering meski memasuki puncak kemarau. ”Selama 22 tahun di sini, kami tidak pernah kesulitan air bersih seperti daerah lain,” tutur Mersi.
Bantaran sungai yang dijadikan permukiman warga itu panjangnya 7 km dengan 359 unit bangunan dan satu fasilitas umum berupa lapangan bola voli yang dibangun Pemkot Kupang. Rumah-rumah warga didirikan berjarak sekitar 20 meter dari bibir sungai, dalam kemiringan sekitar 50 derajat. Bahkan ada rumah yang berada pada posisi terjal, menggantung persis di bibir sungai.
Akibat longsor dan patahan tanah di sepanjang bantaran itu, sekitar 948 warga terdampak dan 172 unit rumah rusak berat. Mereka memililih pindah ke Manulai II. Sambil menunggu bangunan permanen rampung, mereka bergabung dengan anggota keluarga, sebagian lagi menempati tenda darurat, dan sebagian warga yang rumahnya dinilai masih layak ditempati memilih bertahan di lokasi itu.
Mersi yang memiliki empat anak ditambah suami tinggal di rumah saudara yang memiliki tiga anak, Martinus Meky, PNS di kantor Bupati Kupang. Jumlah dua keluarga ini 11 orang. Rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur. Suaminya, Jamris Taek (58), seorang guru SD, setiap pagi harus ke sekolah, mengajar daring dari sekolah. Demikian pula suami saudaranya. Kedua sang suami ini harus mandi lebih awal pagi hari secara bergantian.
”Kami masing-masing suami istri, tidur gabung sama anak-anak yang sudah beranjak dewasa, itu tidak bagus. Anak laki-laki bisa tidur di ruang tamu atau ruang depan, tetapi anak perempuan tetap di dalam kamar, sementara jumlah kamar tidur terbatas. Ini juga soal. Kami khawatirkan ada hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi dalam situasi seperti ini,” kata Mersi.
Selain masalah tempat tidur, juga menyangkut kamar WC dan kamar mandi. Di rumah saudara itu hanya ada satu kamar mandi sekaligus WC sehingga harus mengantre.
Baca juga : Debitor di NTT Bisa Mengajukan Relaksasi Pinjaman Terkait Dampak Badai Seroja
Tinggal bersama dalam kurun waktu yang tak pasti, membuat suasana batin tidak nyaman meski bersama saudara. ”Kalau rumah sendiri, kita lebih nyaman, leluasa menata rumah, beraktivitas, dan privasi kita terjaga. Tetapi tinggal dengan orang, semua serba tidak nyaman,” katanya.
Ibu rumah tangga ini mengatakan, makan dan minum tidak masalah. Saudaranya itu pun berjualan nasi kuning. Jika jualan itu tidak laku, mereka akan makan bersama.
Kini, 172 keluarga di wilayah itu sudah mendapatkan dana bantuan tunggu hunian permanen, masing-masing Rp 500.000 per bulan, diberikan untuk tiga bulan sekaligus. Bantuan ini dialokasikan sejak 19 Mei 2021.
Agus Neno (54), warga desa Tesbatan II Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, mengatakan, rumahnya juga rusak berat akibat Seroja. Namun, ia tidak mau bergabung dengan saudara meski berulang kali diajak. Ia memilih mengungsi di gedung gereja selama dua pekan.
”Saat istri dan lima anak berada di gedung gereja, saya membuat rumah darurat, memanfaatkan bahan bangunan dari rumah lama yang roboh. Bahan-bahan yang masih baik saya gunakan kembali. Sekarang kami bertujuh tinggal di rumah darurat itu,” katanya.
Rumah itu berdinding daun lontar dan atap seng bekas. Ia khawatir, jika penggantian rumah baru belum juga dibangun pemerintah, memasuki musim hujan Desember 2021, mereka akan kesulitan tempat tinggal. Gedung gereja akan menjadi pilihan keluarganya.
Baca juga : Senator RI Asal NTT Dukung Seroja Menjadi Bencana Nasional
Sementara itu, masih terkait dampak bencana, Kepala Desa Oyangbarang Adonara, Flores Timur, Laurens Lega Ama mengatakan, ”Jumlah 50 rumah bagi warga yang kehilangan tempat tinggal akibat banjir bandang, Minggu (4/4/2021), di Adonara sudah hampir rampung. Pembangunan sudah mencapai 95 persen. Sebentar lagi warga sudah masuk ke rumah baru itu,” katanya.
Rumah itu dibangun menggunakan bahan bangunan tahan gempa, tipe 36, dengan konstruksi bangunan dibawa langsung dari Surabaya. Satu unit rumah bernilai Rp 150 juta, yang biaya pembangunannya ditanggung pemerintah. Selain rumah, juga dibangun tiga fasilitas umum, yakni posyandu, puskesmas pembantu, dan lapangan bermain anak-anak.
Baca juga : Duka Bencana dan Terjawabnya Kerinduan Warga Adonara kepada Presiden
Ia menyebutkan, kawasan perumahan yang dibangun langsung oleh Kementerian PUPR itu diberi nama Perumahan Bukti Permai Jokowi. Pemberian nama itu atas usulan masyarakat penerima manfaat. Itu untuk mengenang kunjungan Presiden Jokowi ke desa itu, 7 April 2021.
Markus Ola (48) mengatakan, ingin segera menempati rumah yang dibangun pemerintah itu. Jika sudah menetap, ia bisa merencanakan kehidupan selanjutnya. ”Terima kasih kepada Presiden Jokowi dan Pemda Kabupaten Kupang. Terima kasih kepada kepala desa dan semua pihak yang turut membantu mempercepat pembangunan ini,” kata Ola.
Baca juga : NTT Targetkan 1.000 Koperasi ”Go Digital” 2021
Total dana tunggu hunian permanen di NTT Rp 9,7 miliar diberikan kepada 6.488 keluarga yang rumahnya rusak berat. Rumah rusak sedang mendapatkan uang kompensasi Rp 25 juta per keluarga, sedangkan rusak ringan Rp 10.000 per keluarga. Warga yang rumahnya rusak sedang dan ringan akan memperbaiki rumah sendiri setelah mendapatkan uang kompensasi itu, tetapi tidak mendapatkan dana tunggu hunian.
Badai Seroja telah merusak 53.432 unit rumah, terdiri atas rusak berat 6.448 unit, rusak sedang (6.435), dan rusak ringan (40.549). Kerusakan ini tersebar di 21 kabupaten/kota terdampak. Hanya Kabupaten Sumba Barat Daya yang tidak melaporkan data kerusakan sama sekali. Fasilitas umum yang rusak 3.518 unit. Korban meninggal 182 jiwa, korban hilang 47 jiwa, dan luka-luka 145 jiwa.