Senator Asal Nusa Tenggara Timur Dukung Seroja Menjadi Bencana Nasional
Bencana Badai Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur harus didorong menjadi bencananasional. Meskipun beberapa persyaratan untuk menetapkan bencana nasional cukup ketat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Bencana Badai Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur harus didorong menjadi Bencana Nasional. Meskipun beberapa persyaratan untuk menetapkan Bencana Nasional cukup ketat, tetapi melihat kondisi yang ada di NTT saat ini sangat memprihatinkan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT), Paul Liyanto, di Kupang, Kamis (22/4/2021), menegaskan, badai Seroja meluluhlantakkan NTT pada 3-5 April 2021 merupakan bencana nasional, bukan bencana daerah. Mungkin saja sebagian orang menyebut tidak layak menjadi bencana nasional.
Memang untuk mengarah pada status bencana nasional masih butuh data. Untuk itu, pemprov, pemkab, dan pemkot segera melakukan pendataan secara terinci, verifikasi data, melakukan analisis, kemudian dikaitkan dengan kriteria bencana nasional.
Kami dorong pemerintah ikut membantu memperbaiki rumah-rumah ibadat ini. Untuk itu, data kerusakan yang disampaikan ke pemerintah pusat, tempat-tempat ibadat pun dimasukkan. (Paul Liyanto)
Apalagi bencana nasional, antara lain, juga menyangkut jumlah korban jiwa yang banyak. Korban jiwa yang ada 181 meninggal, jika ditambah 48 yang hilang itu dianggap juga meninggal, jumlahnya menjadi 227 jiwa. Belum termasuk korban luka-luka 270 orang. Ini sudah masuk kategori bencana nasional.
Ia menilai, jumlah korban jiwa bukan ukuran satu-satunya, tetapi kerusakan semua sektor kehidupan masyarakat, yang tersebar di 18 kabupaten/kota, menempatkan kehidupan masyarakat NTT sampai di titik nadir. Mereka tak berdaya dari sisi kehidupan ekonomi keluarga, dan biaya hidup sehari-hari. Ini belum termasuk trauma anak-anak, orangtua, dan kelompok rentan lain yang berkepanjangan.
Hampir semua rumah ibadat mengalami kerusakan dengan kategori ringan, sedang, dan rusak berat, baik Kristen, Hindu, Buddha, Katolik, maupun Islam. Kerusakan ini sangat sulit diperbaiki di tengah kondisi ekonomi jemaat yang sedang terpuruk.
Di sisi lain, mereka membutuhkan tempat yang aman dan nyaman untuk beribadat. ”Kami mendorong pemerintah ikut membantu memperbaiki rumah-rumah ibadat ini. Untuk itu data kerusakan yang disampaikan ke pemerintah pusat, tempat-tempat ibadat pun dimasukkan,” kata Paul.
Dalam kunjungan ke lapangan ia menilai, sektor lain pun mengalami kerusakan sangat parah seperti lahan pertanian dan peternakan, infrastruktur jajan, jembatan, dan dermaga. Perahu nelayan, alat transportasi nelayan dan masyarakat. Kerusakan lingkungan hidup, yakni hutan dan alam akibat longsor dan banjir.
Sebelum terjadi Badai Seroja saja, kehidupan masyarakat NTT sudah sangat terpuruk. Daya beli rendah, gizi buruk, rawan pangan karena gagal panen, stunting selama ini menempati nomor satu nasional, perdagangan manusia tinggi, rendah sumber daya manusia, dan masalah lain.
”Dengan bencana ini, saya tidak bisa membayangkan kehidupan masyarakat NTT ke depan. Tanpa bencana saja mereka sudah sangat miskin, apalagi ditimpa bencana dari berbagai sektor. Sekali lagi, saya mendukung bencana ini diangkat menjadi bencana nasional,” kata Paul.
Anggota DPRD NTT, Viktor Mado Watun, daerah pemilihan Flores Timur, Lembata, dan Alor mengatakan, jika sejumlah masyarakat dari provinsi lain seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, BUMN, perusahaan swasta, dunia perbankan, DPR, partai politik, dan perseorangan ramai-ramai membantu NTT, itu dapat disimpulkan sebagai bencana nasional. Mereka tahu apa yang sedang dialami masyarakat NTT.
Jika Pemprov NTT tidak mendorong menjadi bencana nasional, sangat disayangkan. Menolak Seroja menjadi bencana nasional dengan alasan menghindari travel warning dari negara-negara luar, menghalangi kedatangan turis asing demi PAD, tidak sebanding dengan total nilai kerusakan yang ada. Lagi pula, saat ini Pandemi Covid-19, turis asing sulit masuk Indonesia dan NTT.
Sebagai anggota komisi yang membidangi anggaran belanja daerah (APBD), Mado Watun mengatakan, jumlah APBD NTT 2021 sekitar Rp 6,5 triliun, sedangkan anggaran belanja daerah Rp 7,8 triliun artinya defisit sekitar Rp 1,3 triliun.
Mengatasi hal ini, sebelum bencana Seroja, Pemprov mengajukan pinjaman melalui skema pemulihan ekonomi nasional sekitar Rp 1,5 triliun di pusat, namun belum ada tanggapan. Jika tidak disetujui pusat, menutupi defisit anggaran itu diambil dari mana.
Pinjaman itu, antara lain, untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan provinsi yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Tahun 2020, pemprov mendapatkan pinjaman sekitar Rp 300 miliar dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dari total Rp 1,5 triliun yang diajukan. ”Jika tahun ini juga disetujui cuma Rp 300 miliar, masih defisit Rp 1 triliun,” katanya.
Sebelum bencana, sebagian besar rusak jalan provinsi dalam kondisi rusak. Apalagi setelah bencana itu. Dana APBD saja sudah defisit, bagaimana pemda bisa menangani bencana yang ada.
Jika Siklon Tropis Seroja tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, semua kerusakan sangat sulit ditangani. Pemda menilai, tanpa status bencana nasional pemerintah pusat sudah dan bakal terus memberi perhatian dan kepedulian yang tinggi.
”Itu saja tidak bisa, harus ada keputusan yang mengikat sebagai bencana nasional sehingga keterlibatan setiap kementerian menangani NTT, punya dasar hukum. Jika tidak, menteri-menteri pun tidak serta merta memperbaiki atau membangun di NTT. Mereka tidak mau berurusan dengan hukun di kemudian hari,” ujarnya.
Dosen peneliti Lahan Kering Undana Kupang, Prof Set Malelak, mengatakan, hampir 80 persen pertanian lahan kering dan sawah rusak akibat badai. Namun, saat ini para petani sudah masuk musim tanam kedua sehingga pemda segera menggerakkan mereka untuk menanam dengan memanfaatkan sisa-sisa air yang ada.
Ia mengatakan, para korban Badai Seroja jangan semata bergantung dari bantuan bahan pokok saat ini. Sambil mendapatkan bantuan itu, mereka turun ke ladang atau sawah untuk membersihkan lahan dan segera menanam. Bantuan itu bakal segera berakhir.
”Mereka tahu, kawasan mana yang menyimpan sisa air tanah untuk ditanami, dan lokasi mana yang tidak layak,” kata Malelak.