Kekerasan Seksual di SPI, Polda Jatim Tetapkan JE sebagai Tersangka
Setelah bergulir dua bulan lebih, akhirnya proses hukum kasus dugaan kekerasan seksual dengan terlapor JE, pendiri Selamat Pagi Indonesia di Batu, memasuki babak baru. Polda Jatim akhirnya menetapkan JE sebagai tersangka
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
BATU, KOMPAS — Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkan JE atau JEP, pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, sebagai tersangka kasus dugaan kekerasan seksual, penganiayaan, dan atau eksploitasi terhadap alumni sekolah itu.
Kasus ini mencuat setelah korban didampingi Komisi Nasional Perlindungan Anak melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim pada 29 Mei lalu. Secara keseluruhan ada 14 korban yang menjadi pelapor. Mereka adalah alumni sekolah yang berasal dari sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko, saat dikonfirmasi dari Malang, Kamis (5/8/2021) malam, mengatakan, hasil gelar kasus hari ini menyatakan JEP menjadi tersangka.
”Dari hasil gelar perkara, JE sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tinggal dilanjutkan dengan pemeriksaan dan melengkapi berkas-berkas sebelum dilimpahkan ke kejaksaan,” ujarnya.
Dari hasil gelar perkara, berinisial JE sudah ditetapkan sebagai tersangka. (Repli Handoko)
Gatot belum bisa menjelaskan secara detail apa saja yang menjadi pertimbangan penetapan status tersangka. Saat disinggung soal tersangka lain, dia menyatakan menunggu hasil pengembangan. ”Untuk proses selanjutnya menunggu pengembangan. Begitu pula dengan tersangka lain nanti masih menunggu pengembangan,” ungkapnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, yang dihubungi secara terpisah melalui sambungan telepon, mengatakan, pihaknya mengapresiasi Polda Jatim yang telah menetapkan tersangka kepada JEP dalam waktu 67 hari setelah pihaknya melaporkan kasus ini.
Arist bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)—yang telah memberikan perlindungan terhadap korban—serta kuasa hukum korban dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, dan salah satu korban, datang ke Polda Jatim pada Kamis pagi. Kedatangan mereka untuk menambahkan informasi yang berkaitan dengan kasus ini.
”Untuk meyakinkan Polda Jatim, khususnya Kasubdit Renakta yang menangani masalah ini, saya juga menyampaikan ada yurisprudensi kasus Pendeta Hanny (Hanny Layantara yang terbukti mencabuli jemaatnya yang masih anak-anak)—kasus 11 tahun lalu dan ditangani Polda Jatim—bisa dipidana 10 tahun dan hukumannya bertambah saat banding,” katanya.
Karena ada yurisprudensi kasus hampir sama, lanjut Arist, pihaknya kemudian meminta agar dalam gelar kasus status terlapor ditingkatkan dari sanksi menjadi tersangka. ”Namun, setelah keluar dari Polda tadi, saya dapat informasi bahwa JEP dan lainnya sudah menjadi tersangka. Siapa saja lainnya tidak disebutkan,” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum JEP, Recky Bernadus Surupandy, hingga Kamis malam, belum bisa dihubungi terkait penetapan tersangka terhadap kliennya. Beberapa jam sebelumnya, melalui Whatsapp kepada Kompas, Recky mengatakan akan memberi kabar terkait proses hukum yang dihadapi JE.
Kasus pelecehan seksual di SPI berawal ketika tiga alumni sekolah asrama itu melapor ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Jatim, akhir Mei. Didampingi Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, mereka melaporkan JEP atas dugaan kekerasan seksual, penganiayaan, dan atau eksploitasi ekonomi.
Para pelapor kemudian menjalani visum et repertum dan pemeriksaan sebagai saksi. Kala itu, Arist mengatakan jumlah korban tidak hanya tiga, tetapi sampai 14 orang.
Tindakan kekerasan seksual itu dilakukan oleh JEP di lingkungan sekolah dan luar sekolah, bahkan saat mereka melakukan kunjungan ke luar negeri. Dalam perkembangannya, Arist menyebut pihaknya juga mendapatkan informasi tindakan itu juga dilakukan di rumah JEP di Surabaya.
Menindaklanjuti pelaporan itu, posko pengaduan kemudian dibuka di Kepolisian Resor Batu. Ada tiga nomor sambungan telepon (hotline) yang disediakan bagi mereka yang merasa menjadi korban kasus serupa dari JEP, yakni nomor telepon Dinas Sosial Kota Batu, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), serta Polres Batu.
Saat itu, dari pihak P2TP2A—di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Batu—memberitahukan selama lima hari membuka hotline ada 29 orang yang menghubungi.
Salah satu korban (sebut saja A), di hadapan awak media, di Batu pada 19 Juni, berharap pelaku segera diproses hukum. Korban juga berharap tindakan tidak terpuji itu berhenti sampai di sini sehingga jatuhnya korban yang lebih banyak bisa dihindari.
”Kami melakukan hal ini bukan untuk kepentingan kami pribadi, melainkan kami melihat nasib adik-adik kami yang ada di dalam situ (SPI). Kalau tidak dihentikan, dikhawatirkan semakin banyak korban,” ujarnya.