Desa Berinovasi Atasi Pandemi
Desa-desa di Indonesia tidak mau menyerah pada pandemi. Mereka berinovasi agar ekonomi masyarakat tetap berputar dengan memanfaatkan modal sosial dan sumber daya yang ada.
MALANG, KOMPAS — Desa-desa di Indonesia tidak mau menyerah pada pandemi. Mereka berinovasi agar ekonomi masyarakat tetap berputar dengan memanfaatkan modal sosial dan sumber daya yang ada. Hasilnya, desa membuktikan bahwa mereka memiliki ketahanan ekonomi terhadap pandemi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jika dibandingkan dengan Maret 2020, jumlah penduduk miskin tersebut meningkat sebanyak 1,12 juta orang. Kenaikan jumlah penduduk miskin disebutkan karena pandemi Covid-19. Pada periode tersebut, jumlah penduduk miskin di perkotaan meningkat 1,02 juta orang, sedangkan di perdesaan meningkat 0,11 juta orang.
Dilihat lebih spesifik lagi, pada periode September 2020-Maret 2021, jumlah penduduk miskin perkotaan naik 138.100 orang, sedangkan di perdesaan turun 145.000 orang. Persentase kemiskinan di perkotaan naik dari 7,88 persen menjadi 7,89 persen, sedangkan di perdesaan turun dari 13,20 persen menjadi 13,10 persen.
Baca juga : Manfaat Dana Desa
Peneliti Pusat Studi Perdesaan dan Kewilayahan (PSPK) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AB Widyanta, berpendapat, desa mampu bertahan saat pandemi salah satunya karena ekolokalisme. Dalam dimensi ekonomi dan sosial, kehidupan masyarakat desa dicukupi secara mandiri oleh desa itu sendiri.
”Desa memiliki modal kuat untuk bisa bertahan dalam situasi sulit seperti pandemi ini. Mereka memiliki ketangguhan di tingkatan paling dasar, yaitu memiliki natural resources (sumber daya alam) dan social forces (kekuatan sosial) yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat,” katanya, Senin (2/8/2021).
Selama pandemi ini, menurut Widyanta, desa-desa bertahan dengan ekonomi subsisten. ”Mereka memproduksi, memasarkan, dan mengonsumsi produk pada lingkup sirkular di tingkat desa dan dusun. Masyarakat membeli sayur, beras, dan kebutuhan lain dari tetangga sekitar. Mereka mampu menunjukkan gerak ekonomi lokal bisa menyelamatkan perputaran ekonomi sehingga mereka tidak terkena krisis ekonomi,” katanya.
Baca juga : Pandemi Menempa Jiwa-jiwa Pemimpin yang Sesungguhnya
Warga desa, menurut Widyanta, mampu memindah ”pasar” dari yang selama ini di pasar tradisional menjadi neighbourhood atau ketetanggaan. ”Pasar tetangga ini bekerja tanpa didorong oleh stimulan luar, tapi karena kebutuhan di level desa atau dusun. Sehingga, sirkulasi tanaman cabe, buah, dan sayuran secara terbuka diinfokan secara efektif di lingkup terbatas di desa atau dusun. Sehingga, sistem produksi dan konsumsi menjadi benar-benar self sufficient atau memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus terjebak mencari laba,” kataya.
Kuatnya nilai kekerabatan dan toleransi selama menghadapi masa sulit, ujar Widyanta, membuat warga tidak terjebak mencari untung seperti sebelum-sebelumnya ketika orientasi pasar adalah ke luar desa.
Desa memiliki modal kuat untuk bisa bertahan dalam situasi sulit seperti pandemi ini. Mereka memiliki ketangguhan di tingkatan paling dasar, yaitu memiliki natural resources (sumber daya alam) dan social forces (kekuatan sosial) yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Ia mengatakan, modal desa tersebut akan bermanfaat jika berada pada pemimpin yang mampu mendorong warga mengondisikan kekuatan sosial yang ada. Sebab, pemimpin di desa tersebut bertugas menggerakkan sumber daya yang dimiliki untuk menjangkau dan terhubung dengan kebutuhan warga.
Hal itulah yang menurut Widyanta membuat guncangan ekonomi di Indonesia justru tidak terlalu terjadi di desa, tetapi berada di wilayah urban dan semiurban.
Baca juga : Warga Desa Melenting Bangkit dari Pandemi
Gerak desa menghadapi pandemi lebih mudah salah satunya karena ada dana desa yang bisa dikelola desa sesuai kebutuhan. Ada 74.961 desa se-Indonesia yang pada tahun 2021 menerima pagu dana desa sebesar Rp 72 triliun.
Pada situasi darurat pandemi Covid-19, pemerintah mewajibkan desa mengalokasikan 8 persen dana desa yang diterimanya untuk penanganan pandemi. Selain itu, desa juga diminta mengalokasikan bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD) bagi warga terdampak. Kriteria penerima BLT dana desa adalah kehilangan mata pencarian dan terdampak pemenuhan kebutuhan pokok.
”Dana desa juga bisa untuk program padat karya tunai desa (PKTD). Dana ini ditujukan untuk pembangunan pekerjaan infrastruktur desa yang tidak membutuhkan skill, tetapi melibatkan kelompok marjinal, difabel, perempuan kepala keluarga, penganggur dan setengah penganggur di desa. Misalnya, pembersihan saluran irigrasi tersier. Ini bisa dibiayai dana desa dengan jenis kegiatan PKTD infrastruktur produktif,” kata Menteri Desa Abdul Halim Iskandar.
Selain itu, lanjut Abdul Halim, ada juga PKTD ekonomi produktif. Lahan kosong milik desa, misalnya, ditanami tanaman yang sesuai pada musimnya. Pekerjanya adalah kelompok warga tersebut. Dari kegiatan tersebut, warga diberikan upah dan hasil tanamannya dijual ke badan usaha milik desa (BUMDes).
Baca juga : BUMDes dan Budaya Lama Desa yang Tidak Pernah Berubah
Beragam inovasi
Sejumlah desa menggulirkan inovasi untuk mengatasi pandemi. Di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya, untuk menjamin nutrisi warga yang terpapar Covid-19, Pemerintah Desa Pandanlandung membeli ternak lele dari warganya sendiri. Mereka juga membeli segala kebutuhan sayur dari warga setempat.
”Saat panen kemarin, lebih kurang 20 kilogram lele dibeli oleh orang sini sendiri. Ada juga yang membeli untuk kebutuhan warga yang isolasi mandiri,” kata Rafkiyanto Eka (16), peternak lele di Desa Pandanlandung.
Eka merasa sangat terbantu sebab lele yang dirawatnya selama pandemi tersebut sudah memiliki pasar. Ia tidak perlu repot menjualnya ke luar desa.
Di Desa Sidorejo, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh, pemerintah desa membuat badan usaha milik desa (BUMDes) dengan aktivitas jual beli elpiji 3 kilogram. Dari BUMDes tersebut, desa memperoleh pendapatan asli desa Rp 10 juta per tahun. Desa berperan memenuhi kebutuhan warga dan mengembalikan keuntungannya sebagai pendapatan untuk desa.
Baca juga : Korupsi di Nganjuk dan Budaya Arkais Kita
Adapun Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, DIY, sebagai desa transisi dan tidak memiliki basis sumber daya alam sebanyak desa-desa agraris lain lebih memilih membuka pasar potensi desanya secara luas melalui sistem digital. Mereka membuat aplikasi Pasardesa.id yang awalnya hanya digunakan untuk memasarkan produk desa, tetapi lama-lama meluas menjadi pasar bagi desa-desa di sejumlah wilayah Indonesia.
Situs Pasardesa.id beroperasi sejak April 2020, tak lama setelah pandemi. Awalnya, Pasardesa.id hanya menjual barang-barang dari pedagang dan masyarakat Desa Panggungharjo. Namun, memasuki bulan kedua, Pasardesa.id mulai menjalin kerja sama dengan empat desa lain di Bantul, yakni Desa Wirokerten di Kecamatan Banguntapan, Desa Sriharjo di Kecamatan Imogiri, Desa Guwosari di Kecamatan Pajangan, dan Desa Ngestiharjo di Kecamatan Kasihan.
Kerja sama terus meluas, hingga kini 31 BUMDes dan UMKM dari sejumlah wilayah di Indonesia sudah tergabung dalam pasar platform daring tersebut. Selain dari DIY, sejumlah BUMDes yang bekerja sama dengan Pasardesa.id itu berasal dari luar Jawa, seperti Kabupaten Jembrana di Bali, Donggala di Sulawesi Tengah, Kepulauan Anambas di Kepulauan Riau, Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah, serta Malaka di Nusa Tenggara Timur.
Produk dijual pun meluas tidak lagi sembako. Saat ini bisa ditemukan produk kerajinan, peralatan rumah tangga, makanan dan minuman, dan lain-lain di Pasardesa.id. Chief Executive Officer Pasardesa.id Sholahuddin Nurazmy menuturkan, pasar digital itu dibuat agar penyaluran BLT dana desa memberi manfaat yang lebih luas bagi perekonomian desa. Dia menambahkan, pembelian barang di Pasardesa.id oleh penerima BLT dana desa akan ikut menggerakkan perekonomian desa karena berbagai produk yang ada dalam situs tersebut juga disuplai oleh masyarakat desa.
Sejak mulai beroperasi pada April 2020, nilai total transaksi di Pasardesa.id telah mencapai sekitar Rp 2,6 miliar. Dia menyebut, sebagian besar pendapatan dari transaksi itu masuk ke BUMDes dan masyarakat desa yang menyuplai produk. ”Sebagian besar keuntungan masuk ke BUMDes. Jadi, beberapa BUMDes yang bergabung itu bisa hidup dari penjualan di Pasardesa.id,” katanya.
Perputaran ekonomi lokal untuk kepentingan masyarakat lokal juga tampak di Desa Baktiseraga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Bali. Pemerintah desa membangun tempat daur ulang sampah terpadu dan mengajak warganya memilah sampah. Tempat pengolahan sampah berbasis pengurangan, penggunaan ulang, dan pendaurulangan (reduce, reuse, recyle/3R) atau TPS3R dibangun tahun 2018.
Baca juga : Tradisi Api-Api dan Simbolisasi Toleransi
Sejak itu, masyarakat dilatih memilah sampah. Sampah-sampah organik rumah tangga disulap menjadi pupuk dan pupuknya dimanfaatkan untuk mengolah kebun desa.
Hasil dari pengolahan sampah terpadu itu salah satunya diperoleh pupuk organik. Selain dijual, pupuk organik itu kemudian digunakan untuk menyuburkan lahan kebun desa yang dikembangkan dengan konsep urban farming (pertanian urban) dan dikelola Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Baktiseraga.
”Kebun desa dengan konsep urban farming di Desa Baktiseraga juga menjadi sumber pendapatan tambahan bagi desa. Namun, tidak semua hasil panen dari kebun itu dijual karena sebagian hasil panen juga digunakan desa sebagai tambahan pangan bagi warga desa yang membutuhkan, terlebih warga sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi Covid-19,” kata Ketua PPK Desa Baktiseraga Ketut Praba Wijayanti (53).
Di Kalimantan Tengah, dana desa digunakan untuk penanganan Covid-19, mulai dari penyewaan mobil ambulans, pemenuhan makan dan minum warga yang isolasi mandiri, hingga penyediaan kapal kayu bermotor. Setidaknya sudah Rp 102 miliar digunakan untuk penanganan Covid-19.
Baca juga : Mengelola Desa, Meredam Pandemi
Lonjakan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terus terjadi. Hal itu membuat desa-desa di Kalimantan Tengah bersiap-siap menghadapi pandemi yang belum ada ujungnya. Salah satunya dengan menyisakan 8 persen dana desa untuk penanganan Covid-19.
Kepala Desa Sebangau Mulya, Kabupaten Pulang Pisau, Hariwung menjelaskan, desa menyiapkan anggaran Rp 79 juta untuk penanganan Covid-19. Kegiatannya adalah membuat posko satgas hingga menyiapkan makanan dan minuman bagi warga yang melakukan isolasi mandiri.
(HRS/WER/AIN/FRN/KOR/NIK/COK/OSA/IDO/DIA)