Tradisi Api-Api dan Simbolisasi Toleransi
Masyarakat di Kabupaten Malang memiliki tradisi membuat perapian di depan rumah dan menabur garam untuk tolak bala. Apa pun makna kulturalnya, hal itu secara sosiologis bisa bermakna toleransi dan kepedulian sosial.
Amuk pandemi Covid-19 semakin menjadi-jadi. Sebagian masyarakat kita menempuh jalur medis dan kultural (nonmedis) secara bersamaan untuk menghadapinya. Selain diyakini mampu memberikan ketenangan jiwa, tradisi kultural bisa dimaknai sebagai tindakan mempererat hubungan sosial.
Salah satu jalur kultural ditempuh masyarakat desa adalah membuat perapian dan membakar garam di setiap rumah warga, ketika malam tiba. Hal itu kembali banyak dilakukan oleh warga di Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, sekitar dua minggu ini saat Covid-19 varian Delta kian merajalela.
”Telek dibuntel klaras. Betah melek seger waras,” kata Miseran (79), warga Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, awal pekan lalu, sambil bersenandung. Pria yang saat itu sedang membuat perapian tak jauh dari rumahnya itu bercerita dan mengingat-ingat pesan orang tua puluhan tahun lalu.
Ucapan Miseran lebih kurang memiliki arti barang siapa yang kuat begadang/tidak tidur saat masih ”sore” sehingga akan segar bugar dan sehat.
Menurut Miseran, ia sengaja membuat perapian dan menggambar topeng guna tolak bala. Bala paling nyata adalah serangan Covid-19 yang kian merajalela di desanya, yaitu Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang.
Baca juga: PSBB Malang dan Kisah Karantina Kota di Masa Lalu

Sebuah tradisi membuat perapian dan menaburkan garam di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tradisi ini, meski bersifat kulturalyang berarti untuk menolak bala, juga bisa dimaknai secara sosiologis, yaitu bermakna toleransi dan kekerabatan.
Di sela-sela membakar api, mereka sesekali memercikkan garam ke dalam api. Terdengar letupan kecil seiring garam menyentuh perapian.
Dalam pelajaran ilmu alam, garam bersifat menyerap air, termasuk kandungan air dalam makhluk hidup. Jika garam ditebarkan atau bahkan dibakar dan menguap, mungkin saja diharapkan garam bisa menyerap air dari tubuh virus di sekitarnya. Entahlah, kajian ilmiahnya seperti apa. Namun, secara kultural Jawa, garam sering digunakan untuk mengusir ular, serangga, dan makhluk tak kasatmata.
”Selain membuat perapian, biasanya kami juga membuat acara selamatan atau doa bersama. Intinya bersama-sama memohon pada Tuhan untuk dijauhkan dari bencana,” kata Mulyono, warga RT 024 RW 005 Desa Pandanlandung. Dalam acara tersebut, warga akan membawa sayur lodeh berisi tujuh jenis sayuran, polo pendem (umbi-umbian), serabi, lepet, dan lainnya. Setelah doa bersama dalam satu lingkungan kecil, makanan akan dibagi-bagikan.
Baca juga: Jejak Pemulihan Ekonomi Malang Usai Terpuruk

Sebuah tradisi membuat perapian dan menaburkan garam di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tradisi ini meski bersifat kultural untuk tolak bala, tetapi juga bisa dimaknai secara sosiologis, yaitu bermakna toleransi dan kekerabatan. Miseran, warga Desa Pandanlandung, tampak menunjukkan topeng yang dipasangnya untuk tolak bala.
Kenapa ada sayur lodeh tujuh jenis sayuran? Ada makna dalam simbol-simbol itu. Dalam tradisi Jawa, Ratna Supradewi dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang, dalam makalahnya berjudul ”Tolak Balak Wabah Pandemi Covid-19 dari Sisi Budaya Jawa”, yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional ”Membangun Resiliensi Era Tatanan Baru (New Normal) Melalui Penguatan Nilai-Nilai Islam, Keluarga dan Sosial” (2020), menyebut bahwa selain mengandung vitamin, sayur lodeh tujuh jenis sayuran itu memiliki arti (mengutip: Pratista, 2020).
Selain membuat perapian, biasanya kami juga membuat acara selamatan atau doa bersama. Intinya bersama-sama memohon pada Tuhan untuk dijauhkan dari bencana. (Mulyono)
Tujuh jenis sayur itu adalah sayur kluwih (sejenis nangka): kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne (perintah untuk lebih memperhatikan keluarga), cang gleyor (kacang panjang): cancangen awakmu ojo lungo-lungo (tetap di rumah jangan bepergian apabila tidak bermanfaat), terung: terusno anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng (Teruslah beribadah dan menyembah Gusti Allah Tuhan YME), kulit melinjo: ojo mung ngerti njobone, ning kudu ngerti njerone babakan pagebluk (Jangan hanya melihat dari luar saja mengenai suatu pagebluk/wabah, tetapi analisislah secara mendalam), labu/waluh: uwalono ilangono ngeluh gersulo (Jangan sering mengeluh dan perbanyak bersyukur).
Ada pula godong so (daun melinjo): golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh (Berkumpul dan berdoa bersama orang-orang saleh dan berilmu), tempe: temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (Yakinlah dalam memohon pertolongan kepada Allah dan yakinlah Allah akan memberi pertolongan).
Baca juga: Suket Teki dan Pandemi

Panen terong yang dilakukan Mansyur (54) di lahan pertaniannya di Kampung Mekarsari, Neglasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (1/12/2020).
Proteksi
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan bahwa perilaku mistis masyarakat membuat perapian dan menabur garam biasanya didahului sikap mistis masyarakat terkait dengan memori kultural masa lalu. Biasanya, hal itu menguat saat bencana atau pageblug sedang amuk atau parah-parahnya.
Api dan garam, menurut Dwi Cahyono, merupakan media magi (magis). Ada beberapa magi, yaitu magi proteksi atau penolak/penyembuh, magi simpatetik/imitatif (misalnya tradisi ujung, tiban, pernikahan kucing), magi penyubur (misalnya melakukan sesuatu untuk mendapat kesuburan), magi pengasih, dan lainnya. Bagi Dwi, membuat perapian dan menebar garam termasuk kategori magi pelindung/penolak atas gangguan yang bersifat tak kasatmata atau gaib.
Menurut Dwi, api bisa digunakan sebagai media pembersih. Konsep lama di Tanah Air, era Hindu, menurut Dwi, ada konsep diksa (pembersih). Ada diksa menggunakan air (tirta) dan ada yang menggunakan api.
Baca juga: Milenial Mengejar Ken Dedes ke Malang

Sejumlah komunitas peduli sejarah di Malang melakukan atraksi simbolis penyucian diri di Patirtan Watu Gede, Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (20/3).
”Api bisa digunakan untuk pembersih, misalnya di masyarakat India. Api ditaruh nampan dan diputar-putar sekitar kepala. Ini diksa membersihkan dari kotor. Pagebluk dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Sehat itu bersih sehingga yang kotor perlu dibersihkan dan api bisa jadi medianya,” kata Dwi.
Adapun terkait garam, Dwi tidak melihat jejak lama penggunaan garam untuk kepentingan protektif atau tolak balak. Tapi di tradisi Jawa era lebih muda, garam digunakan untuk menolak. Misalnya, menyebar garam mengitari rumah agar ular tidak masuk rumah, atau kekuatan gaib tidak bisa masuk rumah karena garam jadi media protektif. Garam berfungsi menjadi semacam pagar.
”Justru yang saya lihat media selain api dan garam, dulu malah dikenal beras kuning yang ditebarkan. Misalnya untuk meruwat,” katanya.
Dalam cerita Kidung Sudhamala (mengisahkan tentang Sadewa meruwat Ranini/durga agar kembali cantik menjadi Dewi Uma), media untuk meruwat adalah menaburkan beras kuning. Hingga kini beras kuning juga ditaburkan saat mengantar jenazah dimakamkan. Di Kutai Kalimantan Timur, beras kuning ditebarkan sebelum menyebrang sungai agar saat menyebarang tidak ada buaya atau ia tidak tenggelam.
Baca juga: Mengenang Cinta di Kayutangan

Jahe Merah dipercaya menjadi salah satu tanaman obat herbal.
”Masyarakat punya kultural medical. Ini tidak hanya dilakukan saat ini saja, tapi karena ada memori kolektif masa lalu, yang saat kondisi normal dia akan berada di permukaan. Dan, saat kondisi abnormal maka dia akan muncul. Ini terkait keyakinan, setidaknya alternatif memberikan ketenangan. Pendekatan kultural seperti di atas boleh saja, tetapi jangan menghilangkan pendekatan teknikal medis. Dua-duanya digunakan. Mungkin sambil menunggu vaksin,” kata Dwi.
Simbol/mitos/magi pada masyarakat Jawa, menurut Budiono Herusatoto dalam bukunya Simbolisme dalam Budaya Jawa (1987), berasal dari zaman prasejarah, di mana orang-orang Jawa masih menganut paham mitologi, animisme, dan dinamisme.
Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya Malang, Dhanny S Sutopo, mengatakan bahwa tindakan membuat perapian dan membakar garam untuk tolak balak adalah rasionalitas kultural masyarakat Jawa lama. Di tempat lain, misalnya di Tulunggung, bentuknya adalah dengan memasang topeng thetek melek. Dua tindakan itu memiliki tindakan berbeda, tetapi memiliki esensi sama, yaitu menolak balak.
Namun, menurut Dhanny, rasionalitas kultural itu sebenarnya memiliki makna luar biasa, memiliki arti lebih dalam ketimbang sekadar bakar-bakar. ”Tindakan ini adalah bagian dari kepercayaan hidup mereka dalam menghadapi banyak hal. Itu tindakan khas upaya tolak balak dengan simbol-simbol kulutural. Namun, yang penting dipahami adalah bukan masalah bakar-bakar dan dibubuhi garam, tapi esensi di balik itu,” katanya.
Baca juga: Menara Seruling, Keping Sejarah Pertahanan di Malang

Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya Malang, Dhanny S Sutopo
Yang harus dipahami, menurut Dhanny, adalah bahwa tindakan itu dilakukan sebagai rangkaian kegiatan, yaitu selamatan, kupatan, ater-ater (mengirim/menghantar makanan), dan seterusnya.
”Rangkaian kegiatan itu, sebenarnya dalam kondisi pagebluk ini, merupakan simbol merekatkan diri satu sama lain atau solidaritas sosial. Di balik itu ada tindakan saling support satu terhadap yang lain, ada kepedulian bersama bahwa pagebluk ini tidak dialami sendiri, tetapi dirasakan banyak orang, dan ada keberdayaan secara ekonomi di sana karena mereka saling bantu dengan berbagi makanan,” katanya.
Makna di balik rasionalitas kultural itu, menurut Dhanny, selama ini lebih banyak tersembunyi. Tidak banyak masyarakat tahu artinya, dan terkadang hanya tahu tindakannya. Padahal, kalau ditelisik lebih dalam, nilai-nilai kultural bangsa kita sudah mengajarkan cara-cara bijak dalam menyikapi masalah termasuk menyikapi pandemi.

Suasana keguyuban masyarakat saat makan bersama di sebuah rintisan Pondok Pesantren Annur Lembah Kemuning di Dusun Kemuning, Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (18/09/2020). Desa tersebut menyimpan potensi ekonomi, sosial, dan memiliki landskap indah.
”Kalau ini dipahami dan dikembangkan tidak hanya sekadar simbolnya, tetapi juga dipahami esensinya, saya kira itu akan menjadi kekuatan kita menghadapi pagebluk. Sebab, ada makna kedekatan sosial, kepedulian, tolong-menolong di sana,” kata dosen yang juga membuat perapian dan membakar garam pada malam hari. Hal itu dilakukan sebagaimana kebiasaan warga Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, di mana ia tinggal.
Rangkaian kegiatan itu, sebenarnya dalam kondisi pagebluk ini, merupakan simbol merekatkan diri satu sama lain atau solidaritas sosial. (Dhanny S Sutopo)
Garam adalah bagian kehidupan keseharian masyarakat untuk konsumsi sehari-hari. ”Kalau tradisi ini dikembangkan lebih lanjut hingga tingkat medis, sebenarnya bisa diteliti apakah saat garam bertemu bara/api akan menghasilkan kandungan kimiawi tertentu,” kata Dhanny.
Apapun maknanya, tradisi kultural itu kalau dikelola dengan baik bisa menghasilkan gerakan sosial masyarakat. Misalnya, menguatkan toleransi dan kepedulian sosial pada sesama, saat pandemi melanda.
Baca juga: Kisah Panjang Minuman Lokal Nusantara