Mengelola Desa, Meredam Pandemi
Total ada 74.961 desa tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Pemerintah mengalokasikan Rp 72 triliun anggaran untuk dialirkan lewat dana desa. Di masa pandemi, dana desa dioptimalkan untuk membantu warga terdampak.
MALANG, KOMPAS — Pandemi Covid-19 kini telah masuk ke lingkungan terkecil warga. Desa kini jadi ujung tombak meredam pandemi di tingkat mikro. Sumber daya dan dana yang dimiliki desa bisa menjadi potensi menciptakan kekebalan kelompok, tetapi perlu dukungan dari banyak pihak agar bisa terwujud.
Total ada 74.961 desa tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Pemerintah mengalokasikan Rp 72 triliun anggaran untuk dialirkan ke desa-desa lewat dana desa.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan, desa sudah disiapkan untuk menghadapi pandemi sejak tahun 2020. ”Sejak tahun 2020, desa sudah disiapkan sedemikian rupa untuk menghadapi Covid-19, dengan kebijakan dari Kementerian Desa agar dana desa digunakan untuk tiga hal, yaitu untuk BLT (bantuan langsung tunai), desa aman Covid-19, dan padat karya tunai desa (PKTD). Tiga hal ini fokus penanganan atas dua masalah, yaitu masalah ekonomi dan kesehatan,” katanya.
Baca Juga: Pendidikan bagi Kepala Desa dan Pengurus BUMDes Harus Aplikatif untuk Desa
Dengan rekam jejak itu, Abdul Halim mengatakan, desa tinggal mengonsolidasi secara lebih masif upaya penanganan pandemi selanjutnya. ”Karena semua instrumen PPKM mikro ini di desa sudah siap. Desa tinggal menghidupkan kembali sosialisasi kewaspadaan Covid-19, menghidupkan kembali protokol adaptasi kebiasaan baru misalnya di pasar desa, tempat ibadah, dan lainnya,” katanya.
Beberapa kreasi desa untuk bertahan di tengah pandemi, misalnya, terlihat di Desa Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa tersebut memanfaatkan dana desa untuk membeli vitamin bagi warganya.
Kepala Desa Wajak Aris Sulistiyanto (39) awalnya merasa jengah dengan penanganan Covid-19 yang dinilai hanya bersifat reaktif. Meski semua cara sudah dilakukan, tetap saja warganya terus berjatuhan akibat terpapar Covid-19. Jika sebelum pandemi rata-rata jumlah kematian mencapai 27 orang per bulan, saat pandemi ini jumlah kematiannya bisa mencapai 49 orang dalam satu bulan.
”Akhirnya, kami fokus pada pencegahan, yaitu dengan menggunakan dana desa untuk membeli vitamin bagi warga,” kata Aris. Peran aktif camat dalam membina desa, menurut Aris, cukup membantu.
Baca Juga: Kisah Desa Panggungharjo Tanggap Covid-19
Anggaran dana desa untuk membeli vitamin di Desa Wajak mencapai Rp 48 juta, dengan perencanaan harga vitamin per paket Rp 10.000. Vitamin akan diberikan kepada 4.800 keluarga. Desa Wajak menerima dana desa (DD) tahun 2021 sebesar Rp 1,38 miliar (M). Sebagian besar DD digunakan untuk bantuan langsung tunai (BLT DD), penanganan pandemi (termasuk membeli masker, vitamin), dan hanya sebagian kecil untuk membangun jalan lingkungan.
Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, membuat sistem penanganan Covid-19 berbasis digital. Mereka membuat aplikasi BantulTangguh.com untuk memantau kondisi warganya yang terkonfirmasi Covid-19.
”BantulTangguh.com adalah aplikasi berbasis web yang membantu penapisan klinis. Jadi, warga yang terpapar Covid-19 itu kami minta melaporkan kondisi kesehatan mereka melalui aplikasi tersebut,” kata Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi. Dari aplikasi itu, akan diketahui kondisi kesakitan warganya.
Selain membuat aplikasi BantulTangguh.com, Pemdes Panggungharjo juga membuat pemetaan warga yang dimungkinkan telah memiliki antibodi terhadap penyakit Covid-19. Pemetaan itu dibuat dengan mendata jumlah warga yang terkonfirmasi positif Covid-19, warga yang melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19, dan warga yang sudah divaksin.
Baca Juga: Dana Desa Terindikasi Berdampak Positif pada Kegiatan Ekonomi
Menurut Wahyudi, pemetaan itu dilakukan untuk memperkirakan berapa besar anggaran yang harus disiapkan untuk menanggulangi pandemi di Panggungharjo. Tahun ini, Desa Panggungharjo menerima dana desa sebesar Rp 1,4 miliar. Dari total dana desa itu, sekitar 80 persennya atau Rp 1,2 miliar dialokasikan untuk penanggulangan Covid-19, termasuk untuk memberikan bantuan langsung tunai kepada warga terdampak.
Upaya serupa juga dilakukan di Desa Siderejo, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh. Desa Siderejo berada di pusat Kota Langsa sehingga mobilitas warga di sana cukup tinggi. Jadi, potensi warga terpapar Covid-19 cukup besar.
Geuchik (kepala desa) Siderejo Salahuddin mengatakan bahwa delapan warganya telah terpapar Covid-19 dan dua di antaranya meninggal, sedangkan lainnya sembuh. Desa Sidorejo memiliki penduduk 3.000 orang.
Baca Juga: BUMDes dan Budaya Lama Desa yang Tidak Pernah Berubah
Untuk mengatasi dampak pandemi, Desa Siderejo menyediakan rumah isolasi yang memanfaatkan dana desa. ”Kami menyediakan rumah isolasi bagi warga yang terpapar Covid-19 agar proses penyembuhan lebih cepat dan mengurangi risiko menularkan ke anggota keluarga. Selama isolasi mandiri, tim satgas desa menyediakan obat-obatan, tabung oksigen, sembako, dan makanan. Sementara keluarga diberikan biaya hidup sebesar Rp 350.000,” tutur Salahuddin.
Pada 2021, dari total dana desa Rp 1,8 miliar, sebesar Rp 100 juta lebih digunakan langsung untuk penanganan Covid-19. Selain pembagian sembako, mereka membagikan vitamin dan melakukan disinfektasi.
Memang ada beberapa desa yang belum bisa mengambil dana desa untuk termin kedua karena syarat mencairkan termin kedua adalah melaporkan penggunaan DD tahun lalu.
Belum optimal
Meski sudah memanfaatkan dana desa untuk penanganan Covid-19, desa masih menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan itu adalah lambatnya penyaluran dana, hingga kepemimpinan dan sumber daya manusia.
Data Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyebut bahwa dari pagu sebesar Rp 72 triliun untuk 74.961 desa, hingga 31 Juli 2021, DD berhasil cair sebesar 48,55 persen untuk 71.611 desa.
Jika mengacu pada skema pencairan DD, yaitu dalam tiga termin, maka untuk termin pertama, dana desa telah tersalur ke 71.611 desa (96 persen), termin kedua baru tersalur ke 19.203 desa (26 persen), dan termin ketiga baru tersalur ke 248 desa (0,33 persen). Terlihat bahwa penyaluran dana desa pada termin kedua 2021 lambat tersalur ke desa.
Kunci cepatnya pencairan dana desa salah satunya adalah kematangan dalam hal perencanaan. ”Untuk menentukan program kerja atau pembangunan desa tahun anggaran 2022, misalnya, penyusunan perencanaan sudah mulai dikerjakan pada Mei 2021. Apabila dalam perjalanannya ada perubahan, tinggal disesuaikan,” kata Bupati Madiun Ahmad Dawami.
”Memang ada beberapa desa yang belum bisa mengambil dana desa untuk termin kedua karena syarat mencairkan termin kedua adalah melaporkan penggunaan DD tahun lalu. Nah, itu ada kesulitan itu, dan ini harus dididik betul karena, kalau tidak begitu, nanti sembrono,” kata Abdul Halim menambahkan.
Pencairan juga terhambat karena proses politik di desa, di antaranya pemilihan kepala desa. Halim mengatakan, pemda telah melakukan konsolidasi agar kelambanan pencairan bisa diatasi.
Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari, juga menggaris pendampingan berkelanjutan di tingkat desa. Menurut dia, keberhasilan desa menghadapi pandemi salah satunya adalah keberhasilan pemimpinnya dalam memanfaatkan ruang kebijakan untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Untuk itu, menurut Wawan, butuh pendampingan berkelanjutan yang tidak sekadar formalitas.
Baca Juga: Warga Desa Melenting Bangkit dari Pandemi
Jika tangangan itu bisa diatasi, tidak menutup kemungkinan muncul kekebalan kelompok di tingkat desa. Deputi Pembangunan Ekonomi Kantor Sekretariat Wakil Presiden Ahmad Erani Yustika menilai, potensi desa untuk mencapai kekebalan kelompok dalam arti luas (sosial dan ekonomi) sangat dimungkinkan. ”Kekebalan kelompok di desa lebih mungkin didorong lebih kuat ketimbang masyarakat di perkotaan. Hal itu karena di desa interaksi kultural lebih dominan daripada interaksi di perkotaan yang sifatnya material,” katanya.
Seharusnya dengan gambaran itu, menurut Erani, kekebalan kelompok bidang sosial dan ekonomi bisa diupayakan lebih cepat muncul di desa-desa.
”Dari waktu ke waktu, proses pengeroposan modal kultural itu memang terjadi di desa dibandingkan dengan puluhan tahun lalu. Namun, tetap saja modal kultural itu masih hidup di desa, apalagi apabila dibandingkan dengan di perkotaan. Dengan demikian, sisa modal kultural itu saya rasa bisa menjadi penguat untuk menghadapi krisis, resesi, atau pandemi seperti sekarang ini,” katanya.
Yang penting, menurut Erani, inisiasi orisinil dan otentik dari warga desa jangan ditutup dan dibatasi oleh aturan-aturan formal top-down. ”Biarkan nilai-nilai lokal itu mengambil peran dalam situasi ini. Masing-masing desa akan memiliki hal yang sifatnya lokal, khas, dan spesifik. Berikan itu ruang lebar,” katanya.