BUMDes dan Budaya Lama Desa yang Tidak Pernah Berubah
Jangan-jangan upaya kita menyenangkan atasan selama ini menggambarkan bahwa perilaku kita tak jauh beranjak dari sejak era Mataram Kuno.
Belakangan, salah satu isu paling hit terkait desa adalah badan usaha milik desa (BUMDes). Pemerintah dengan segala infrastrukturnya berusaha menggenjot sebanyak mungkin jumlah BUMDes di Tanah Air.
Hingga 2020, jumlah BUMDes sudah mencapai 51.134. Jumlah tenaga kerja yang terserap lebih dari 1 juta orang. Omzet BUMDes mencapai Rp 1 triliun per tahun, dengan laba bersih Rp 121 miliar per tahun. Adapun jumlah desa di Indonesia adalah 75.000-an desa.
Tergambarkan, betapa indahnya BUMDes jika dibaca secara statistika. Namun, dinamikanya, organisasinya, hingga kondisi kepengurusan BUMDes-nya, tidak tergambarkan sama sekali dalam statistika. Alhasil, sepanjang sudah memiliki BUMDes, maka disimpulkan kondisi desa baik-baik saja.
Di Kabupaten Malang, misalnya, ada beberapa kasus terkait BUMDes yang seharusnya membuka kesadaran bahwa tidak semua BUMDes baik-baik saja.
Padahal, dinamika terkait BUMDes sungguh luar biasa. Di Kabupaten Malang, misalnya, ada beberapa kasus terkait BUMDes yang seharusnya membuka kesadaran bahwa tidak semua BUMDes baik-baik saja.
Baca juga: BUMDes Aktif 29.000
Di beberapa desa di Malang diketahui pengurus bahkan direktur BUMDes-nya adalah pendamping desa. Ya, pendamping profesional Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT)—yang digaji dari uang negara untuk memberdayakan masyarakat desa. Mereka justru tidak mendorong masyarakat desa untuk menjadi direktur BUMDes, tetapi justru mengambil peluang itu untuk dirinya sendiri.
Alasannya, ada saja. Misalnya, pendamping desa itu mendapat amanah terpilih menjadi direktur dalam forum musdes. Alasan lain, pendamping desa itu menjadi direktur BUMDes di desa lain, di mana bukan lokasi dampingannya (biasanya mereka menjadi direktur BUMDes di desa asalnya yang beda lokasi dengan tempat pendampingannya). Beda lokasi itu disebut tak akan menimbulkan conflict of interest di sana. Alasan lain, si pendamping juga punya hak dipilih jadi pengurus BUMDes di desanya karena sebagai warga desa ia juga berhak. Begitulah apologinya. Khas manusia Indonesia.
Jika mengutip Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia (2019), maka berapologi ”mengakali” klausul aturan seperti itu sangat dekat dengan ciri pertama manusia Indonesia, yaitu hipokritis dan munafik. Di depan ia berkoar-koar melakukan tugas pemberdayaan dan pendampingan desa guna memintarkan (memberdayakan) masyarakat desa. Namun, justru di belakang itu, dengan kepandaiannya menafsir dan mencari celah aturan, digunakan untuk minteri (memerdayai) masyarakat desa.
Baca juga: Pendidikan bagi Kepala Desa dan Pengurus BUMDes Harus Aplikatif untuk Desa
Padahal, dalam SOP pendamping profesional Kemendesa PDTT tentang code of conduct (tata perilaku) dan etika profesi yang dibuat tahun 2016 (saat itu ditandatangani oleh Ahmad Erani Yustika selaku Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendesa PDTT), jelas-jelas pada klausul 1C disebutkan bahwa pendamping profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus menghindari konflik kepentingan atau mementingkan diri sendiri. Hal itu diperkuat dalam klausul 1G bahwa pendamping profesional tidak boleh menduduki jabatan publik atau kepengurusan partai politik.
Dinamika lapangan amburadul tentang BUMDes tidak berhenti di sana. Masih ada lagi. Selain pendamping desa, ada juga pihak yang seharusnya tidak masuk dalam struktur kepengurusan BUMDes, tapi nyatanya masuk, yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Aturannya, pengurus BPD tidak boleh masuk struktur BUMDes meski hanya pengawas. Alasannya jelas karena seharusnya BPD menjadi tempat pertanggungjawaban kinerja kepala desa (sebagai komisaris BUMDes) dalam mengelola BUMDes. Jika dalam struktur BUMDes ada BPD, bagaimana model pertanggungjawabannya nanti? Mungkinkah kades mempertanggungjawabkan kinerja BUMDes pada ”orang BUMDes” sendiri? Bagaimana mungkin itu?
”Ini karena selama ini BPD-lah yang melindungi kami dari ’serangan’ pihak-pihak luar. Jadi, agar BUMDes bisa jalan dengan tenang, maka BPD kami masukkan sebagai pengawas BUMDes,” kata salah seorang pengurus BUMDes di Malang.
Baca juga: Sejajar Badan Hukum Lain, Peran BUMDes Diharapkan Makin Kuat
Kisah lainnya, tak jauh berbeda. Seolah-olah BUMDes ”dipaksa” harus berdiri, apa pun caranya. Ada desa sudah musdes membentuk BUMDes dan sudah memilih nama pengurus BUMDes-nya. Namun, saat nama tersebut dihubungi, ia menolak. Kades pun kebingungan karena dalam aturannya, BUMDes harus memiliki pengurus.
”Saya bingung, kok, sosok pengurus BUMDes sudah tercatat, tapi saat dihubungi, beliaunya tidak bersedia. Sementara aturannya, kan, harus ada (pengurusnya),” kata seorang kepala desa. Untuk memenuhi susunan pengurus, maka kemudian dipilihlah orang yang dinilai mampu dan mau, termasuk memilih pendamping desa sebagai pengurus BUMDes.
”Realita saja, BUMDes banyak sekali, tetapi kenyataannya pemberdayaannya lemah. Sepertinya pendamping desa merangkap pengurus BUMDes lebih maksimal dalam pemberdayaan lokal. Sambil berjalan mencari potensi yang mampu dan mau,” kata kades tersebut.
Di sini tampak seolah desa ”dipaksa” harus punya BUMDes meski sebenarnya belum siap. Yang penting BUMDes ada. Tidak ingin atasannya marah, tidak ingin salah, dan seterusnya.
Kementerian Desa PDTT mencatat bahwa sebelum pandemi ada 51.134 BUMDes berdiri. Sebanyak 37.286 di antaranya aktif. Artinya, ada 13.000-an BUMDes hanya sekadar papan nama alias tidak beroperasi. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa tidak menyiapkan/memberdayakan orangnya dulu ketimbang cepat-cepat membentuk BUMDes?
Di Kabupaten Malang, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) mencatat, saat ini sudah terbentuk 310 BUMDes dari 378 desa se-Kabupaten Malang. Meski diklaim BUMDes itu aktif semua, BUMDes unggulan di Kabupaten Malang masih bisa dihitung jari, di antaranya BUMDes wisata Pujon Kidul dan wisata Boon Pring di Turen. Buktinya, selalu BUMDes itu-itu saja yang dijadikan percontohan oleh kementerian.
Ketua Pusat Studi Pembangunan Desa Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Brawijaya Prof Maryunani melihat bahwa bangunan BUMDes yang ada saat ini banyak yang hanya merupakan papan nama. Sedangkan masyarakatnya sebagai ”pemilik” BUMDes justru masih tertidur.
”Saya melihat bahwa BUMDes itu sekarang lebih banyak sekadar sebagai kewajiban yang harus ada. Kewajiban dari aturan dan atasan sehingga BUMDes pokoknya dibentuk, padahal masyarakat sebagai pemilik dan pengelolanya masih ’tidur’. Hasilnya, ya, banyak persoalan terkait BUMDes. Memang ada BUMDes yang baik, tetapi lebih banyak pula yang tidak jalan. Bahkan, masyarakatnya pun tidak tahu kalau mereka punya BUMDes,” kata Maryunani.
Baca juga: Warga Desa Melenting Bangkit dari Pandemi
Menurut Maryunani, sebelum membangun BUMDes, masyarakat desa seharusnya diberdayakan terlebih dahulu. Mengenai pemahaman arti BUMDes itu sendiri, tentang manajemen pengelolaan, dan hal-hal lainnya. ”Pemberdayaan itu pun artinya luas. Bagaimana caranya menjadikan masyarakat desa mampu mengelola usaha. Bukan sekadar pemberdayaan formalitas yang hanya akan ditemui di kelas-kelas seminar atau pelatihan teoretis saja,” katanya.
Saya melihat bahwa BUMDes itu sekarang lebih banyak sekadar sebagai kewajiban yang harus ada. Kewajiban dari aturan dan atasan sehingga BUMDes pokoknya dibentuk, padahal masyarakat sebagai pemilik dan pengelolanya masih ”tidur”. (Maryunani)
Demikianlah beberapa fakta lapangan tentang BUMDes di Kabupaten Malang, yang tak pernah terbaca dalam deret statistika. Persoalannya tampak sepele, tetapi sebenarnya menjadi potret besar pelaksanaan tujuh tahun Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Bahwa betapa belum tuntasnya bangsa ini menata desa. Jangankan berharap masyarakat desa berdaya, hanya memahami benar salah aturan saja belum bisa.
Tidak berubah
Dari fakta di atas, kita tahu bahwa desa memang maju secara fisik dan statistika. Bahkan, ada beberapa desa melejit menjadi unicorn yang pendapatannya luar biasa. Namun, ada satu hal mendasar tidak berubah dari dahulu (sejak sebelum UU Desa) sampai sekarang, yaitu ”budaya lama desa”.
Budaya, dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata buddi di mana artinya ’akal’, ’budi’, atau ’pikiran’. Budaya berdesa maka bisa dibilang budi, akal, dan pemikiran terkait desa.
Jika menjadikan kasus BUMDes di Malang tadi sebagai contoh, tampak bahwa ada hal mendasar tidak berubah di desa, yaitu fakta bahwa desa tetap inferior, merasa tidak mampu dan menurut saja, menunggu, tidak berani, dan tidak kreatif.
Merasa tidak mampu memegang tanggung jawab mengelola BUMDes sehingga paling gampangnya adalah memilih orang-orang terdekat yang selama ini dianggap ”lebih mampu dan terdidik”, seperti memilih pendamping desa dan BPD sebagai pengurus/pengawas. Mereka berpikir, BUMDes harus ada apa pun caranya, daripada menjadi sorotan pimpinan. Bisa jadi begitulah alasannya. Takut dan inferior.
Perilaku berusaha menyenangkan ”atasan” dengan asal membuat BUMDes meski melanggar beberapa ketentuan, seperti memasukkan BPD dalam kepengurusan, adalah bagian budaya lama desa. Asal ”bapak/atasan” senang.
Untuk sekadar tahu, budaya menyenangkan ”atasan” itu sudah ada sejak dahulu kala. Itu tercatat dalam Prasasti Sangguran, 928 Masehi, yang ditemukan di Malang. Prasasti itu menggambarkan soal penetapan sima (wilayah yang telah dibebaskan dari pajak).
Baca juga: Dari Desa untuk Indonesia
Dalam prasasti itu muncul istilah pasek-pasek atau pasak-pasak sebagai bagian dari ritual upacara penetapan sima. Pasek-pasek adalah semacam hadiah berupa uang, barang, atau binatang yang diberikan kepada hadirin, terutama para pejabat kerajaan, para saksi, dan pejabat desa yang terutama berbatasan dengan desa sima.
Dalam makalah berjudul ”Sang Hyang Watu Teas Dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima Pada Masa Kerajaan Mataram Kuno” karya Timbul Haryono (1980) disebutkan bahwa pemberian pasek-pasek bisa berupa barang, seperti kain dan cincin. Jumlah dan kualitas barang yang dibagikan didasarkan atas urutan kepangkatan dan tinggi-rendahnya kedudukan. Misalnya, jika pemberian pasak-pasak dalam bentuk kain, kain untuk pejabat tinggi jenisnya berbeda dengan yang diberikan kepada pejabat rendah, demikian pula ukurannya.
Nah, jangan-jangan upaya kita menyenangkan atasan selama ini menggambarkan bahwa perilaku kita tak jauh beranjak sejak era Mataram Kuno.
Baca juga: Desa Setengah Jalan