Kemenangan Napas Panjang Perjuangan Lapangan Merdeka Medan
Lebih dari 15 tahun, koalisi masyarakat sipil melakukan berbagai upaya menyelamatkan Lapangan Merdeka Medan sebagai warisan sejarah dan budaya. Gugatannya pun kini dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan.
Selama lebih dari 15 tahun, koalisi masyarakat sipil di Sumatera Utara melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka Medan sebagai warisan sejarah dan budaya.
Napas panjang perjuangan akhirnya memperoleh hasil saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan memenangkan gugatan warga negara dan memerintahkan Wali Kota Medan segera menetapkan Lapangan Merdeka Medan sebagai cagar budaya, Rabu (14/7/2021).
Selama 15 tahun itu, koalisi membuat petisi, diskusi, menerbitkan buku, mengadakan festival, unjuk rasa, hingga menggugat ke pengadilan, karena kecintaan warga pada kotanya.
”Lapangan Merdeka Medan merupakan monumen bersejarah yang sangat penting dan roh Kota Medan,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumatera Utara Peduli Lapangan Merdeka Medan Miduk Hutabarat.
Masyarakat Kota Medan pernah menikmati Lapangan Merdeka sebagai alun-alun kota, tempat bermain, berolahraga, belajar, tempat duduk santai melihat pohon trembesi yang rindang, dan burung-burung yang indah. Masyarakat juga memanfaatkannya sebagai sebagai pusat jajanan rakyat, ruang interaksi sosial, serta ruang terbuka hijau.
Lapangan Merdeka didesain terintegrasi dengan balai kota, kantor pos, bank, hotel, pertokoan, hingga stasiun kereta api. Lapangan yang mulai aktif digunakan sejak 1880 pada masa penjajahan Belanda itu awalnya bernama De Esplanade, lapangan di tengah kota. Namanya sempat berubah menjadi Fukuraido pada masa pendudukan Jepang.
Baca juga: Gugatan Warga Negara Dimenangkan, Lapangan Merdeka Medan Cagar Budaya
Lapangan Merdeka pun menjadi roh Kota Medan yang kemudian dijuluki sebagai Paris van Sumatera, kota yang dibangun dengan konsep kota-kota di Eropa.
Kondisi memprihatinkan
Namun, kondisi Lapangan Merdeka Medan saat ini sangat memprihatinkan. Komersialisasi Lapangan Merdeka Medan dimulai sejak dibangunnya pusat jajanan mewah Merdeka Walk di sisi barat sejak 2005.
”Sejak komersialisasi menjadi dominan, Lapangan Merdeka pun kehilangan rohnya,” kata Miduk.
Pohon-pohon trembesi yang mengelilingi Lapangan Merdeka sebagian besar sudah meranggas, terutama di sisi barat tempat pusat jajanan. Di sisi timur, Pemerintah Kota Medan mendirikan bangunan parkir yang kumuh dan tidak terawat. Di lantai dua bangunan parkir itu dibuat tempat jual-beli buku bekas.
Bangunan parkir itu pun menempel dengan Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia, tempat pertama kali Kemerdekaan RI diproklamasikan di Sumatera Timur. Monumen itu pun menjadi tampak tidak terawat dan menempel dengan bangunan parkir yang kumuh.
Di sisi timur itu juga dibangun jembatan penyeberangan orang dari area parkir di Lapangan Merdeka ke Stasiun Besar Kereta Api Medan. Jembatan itu kini terbengkalai dan sejak awal pembangunan tidak pernah bisa digunakan.
Baca juga: Energi Baru Memerdekakan Lapangan Merdeka Medan
Melihat kondisi Lapangan Merdeka yang sangat memprihatinkan, Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut menghimpun dukungan. Koalisi itu beranggotakan perseorangan, seperti antropolog Profesor Usman Pelly, arsitektur Profesor Johannes Tarigan, dan sejarawan Ichwan Azhari.
Koalisi juga didukung dosen Politeknik Pariwisata Medan Rita Margaretha Setianingsih, pengajar Jurusan Teknik Sipil Unimed Meuthia Fadila Fachruddin, dan praktisi konsultan pengembang jalan Burhan Batubara.
Sejumlah lembaga juga menjadi bagian koalisi, seperti Badan Warisan Sumatera, Angkatan ’45 Medan, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Sumut Aceh, Ikatan Arsitek Indonesia Sumut, dan Himpunan Pengembang Jalan Indonesia Sumut.
Tonggak penting perjuangan koalisi adalah pengajuan gugatan dan diterbitkannya buku berjudul ”Lapangan Merdeka Medan, Ruang (Publik) warisan Sejarah dan Budaya” pada 1 April 2021.
Buku setebal 570 halaman itu merangkum 75 tulisan dari 55 penulis yang merupakan warga pencinta Kota Medan dari dosen, seniman, budayawan, wartawan, dan aneka profesi lainya. Buku juga berisi 40 sketsa sudut Kota Medan hasil karya komunitas sketser Medan, belasan puisi, berikut dokumentasi gerakan warga memerdekakan lapangan merdeka selama ini.
Gerakan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut ini bahkan pernah mendapat penghargaan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan sebagai komunitas yang terus berjuang mempertahankan situs bersejarah di Kota Medan pada 2017.
Dalam peluncuran buku itu, Usman Pelly mengatakan, relasi rakyat Medan dengan pemimpinnya seolah terputus ketika Balai Kota Medan yang menghadap alun-alun kota Medan dijadikan hotel. Balai kota tempat Wali Kota bekerja kemudian berpindah ke belakang hotel dan tidak lagi menghadap alun-alun kota yang merupakan representasi rakyat.
Setelah itu alun-alun kota dikungkung oleh komersialisasi. Tak lama kemudian korupsi pun mendera pemimpin Kota Medan berturut-turut.
Setelah itu, alun-alun kota dikungkung oleh komersialisasi. Tak lama kemudian korupsi pun mendera pemimpin Kota Medan berturut-turut. (Usman Pelly)
Ichwan Azhari mengatakan, Lapangan Merdeka Medan adalah monumen kemerdekaan untuk mengingatkan warga akan heroisme kemerdekaan dan pertempuran-pertempuran yang menyertainya. ”Namun, monumen itu kini menjadi simbol kekalahan atas keserakahan ekonomi,” kata Ichwan.
Ichwan menyebut, daya tarik Kota Medan sesungguhnya bukan pemandangan, tidak ada pemandangan indah di Kota Medan. Wisatanya adalah Paris van Sumatera, yakni Lapangan Merdeka dan kawasan yang terintegrasi dengannya. Saat ini pusat inti Kota Medan seolah hanya Rumah Tjong A Fie, Restoran Tip Top, dan Merdeka Walk. Orang-orang yang berwisata ke Kota Medan hanya mengunjungi tempat itu karena roh Paris van Sumatera telah mati.
Baca juga: Mengembalikan Lapangan Merdeka Medan untuk Publik
Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution mengatakan, dirinya mempunyai rencana besar untuk mengembalikan fungsi Lapangan Merdeka sebagai lapangan dan ruang terbuka hijau. Pemindahan Merdeka Walk pun menjadi salah satu opsi. Namun, mereka masih melakukan berbagai pertimbangan.
”Kita enggak mau orang ragu untuk investasi ke depannya. Masa kontraknya (Merdeka Walk) habis empat tahun lagi,” kata Bobby. Bobby mengatakan, mereka juga menyiapkan opsi memindahkan Merdeka Walk ke kawasan Kesawan atau Gedung Warenhuis.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Dominggus Silaban pun telah memenangkan gugatan warga negara atau citizen law suit. Wali Kota Medan diperintahkan menetapkan Lapangan Merdeka menjadi cagar budaya.
Dalam peluncuran buku Lapangan Merdeka Medan, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, kemajuan sebuah kota juga dilihat dari bagaimana kota melindungi dan melestarikan cagar budayanya. Semoga kemenangan warga negara ditindaklanjuti dengan pelestarian Lapangan Merdeka sebagai warisan sejarah dan budaya kota....