Perjuangan memerdekakan Lapangan Merdeka Medan mendapat asupan energi dari buku setebal 570 halaman dari Koalisi Masyarakat Sipil Medan - Sumatera Utara.
Oleh
NIKSON SINAGA/AUFRIDA WISMI
·5 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para penulis buku Lapangan Merdeka Medan berdiskusi di Perpustakaan Cassa Mesra, Medan, Sumatera Utara, Jumat (9/4/2021).
MEDAN, KOMPAS - Perjuangan memerdekakan Lapangan Merdeka Medan mendapat asupan energi dengan diterbitkannya buku setebal 570 halaman oleh Koalisi Masyarakat Sipil Medan - Sumatera Utara. Buku berjudul Lapangan Merdeka Medan, Ruang (Publik), Warisan Sejarah dan Budaya itu mengungkapkan keadaan darurat untuk mengembalikan roh Lapangan Merdeka Medan dan kawasan Kesawan di sekitarnya sebagai Paris van Sumatera milik warga kota.
"Sudah lebih dari 10 tahun perjuangan kita memerdekakan Lapangan Merdeka Medan, tetapi tanpa hasil kecuali sebuah diskursus. Diskursus terbesar nya adalah buku ini yang menjadi energi baru perjuangan memerdekakan Lapangan Merdeka," kata Ichwan Azhari, sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) dalam sebuah diskusi di Perpustakaan Cassa Mesra, Medan, Jumat (9/4/2021).
Diskusi itu dihadiri Ketua Pengarah Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut Usman Pelly, Penghimpun Naskah Miduk Hutabarat, Dosen Politeknik Pariwisata Medan Rita Margaretha Setianingsih, Pengajar Jurusan Teknik Sipil Unimed Meuthia Fadila Fachruddin, dan Praktisi Konsultan Pengembang Jalan Burhan Batubara.
Ichwan mengatakan, buku Lapangan Merdeka Medan mengisahkan sebuah kota yang warisannya satu per satu dimusnahkan tanpa perlawanan warga kota. Ada satu dua perlawanan yang berujung pada kesiasiaan dalam menghadapi tangguhnya kuasa politik ekonomi.
Warga beraktivitas di Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, Senin (17/8/2020).
Ichwan menyebut, Lapangan Merdeka Medan adalah monumen kemerdekaan Republik Indonesia untuk mengingatkan warga akan heroisme kemerdekaan dan pertempuran-pertempuran yang menyertainya. Di situ untuk pertama kali Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan di Sumatera Timur. "Namun, monumen itu kini menjadi simbol kekalahan atas keserakahan ekonomi," kata Ichwan.
Fungsi dan roh Lapangan Merdeka hilang sejak komersialisasi kawasan itu dengan didirikannya pusat jajanan mewah Merdeka Walk di sisi barat Lapangan Merdeka. Lapangan itu pun kini diominasi tempat parkir. Fungsi utamanya sebagai alun-alun kota, tempat publik, pusat jajanan rakyat, ruang interaksi sosial warga kota, dan ruang terbuka hijau, semakin terhimpit.
Namun, monumen itu kini menjadi simbol kekalahan atas keserakahan ekonomi. (Ichwan Azhari)
Ichwan menyebut, Lapangan Merdeka Medan harus ditempatkan sebagai bagian dari kawasan yang terintegrasi dengan sekitarnya sehingga lebih berenergi. Lapangan Merdeka Medan yang didesain sama dengan kota kota lain di Eropa terintegrasi dengan balai kota, kantor pos, bank, hotel, pertokoan, stasiun kereta api, dan kawasan Kesawan.
"Kota Medan pun menjadi copy paste kota-kota di Eropa sehingga disebut sebagai Paris van Sumatera," kata Ichwan.
Menurut Ichwan, saat ini pusat inti Kota Medan seolah hanya Rumah Tjong A Fie, Restoran Tip Top, dan Merdeka Walk. Orang-orang yang berwisata ke Kota Medan hanya mengunjungi tempat itu karena roh Paris van Sumatera telah mati.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Warga berolahraga di Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, Selasa (6/10/2020). Lapangan itu kian sempit karena didominasi kawasan komersial.
"Padahal, pariwisata di Medan sesungguhnya bukan pemandangan, tidak ada pemandangan indah di Kota Medan. Wisatanya adalah Paris van Sumatera itu," kata Ichwan.
Tanpa menghidupkan kembali roh Paris van Sumatera, menurut Ichwan, Medan akan menjadi kota mati di sisi pariwisata. Wisatawan yang hendak berwisata ke sejumlah destinasi di Sumut seperti Berastagi, Bukit Lawang, dan Danau Toba, bahkan tidak tertarik lagi singgah di Medan.
Ichwan pun mengapresiasi langkah Wali Kota Medan Bobby A Nasution yang menghidupkan kawasan Kesawan di awal masa jabatannya ini. Namun, ia mengingatkan, konsep pusat kuliner dengan istilah The Kitchen of Asia yang digaungkan Bobby tidak akan lama bertahan tanpa mengembalikan roh Paris Van Sumatera.
Menurut Rita, pariwisata di kawasan Kesawan bisa hidup jika roh Lapangan Merdeka dan kawasan Kesawan dikembalikan lagi. Kawasan itu pun harus dikembalikan menjadi pusat kuliner rakyat yang mempromosikan kuliner tradisional Sumut seperti ombus-ombus, toge penyabungan, atau bubur pedas. Bukan malah hanya menyajikan jajanan cepat saji dari luar negeri.
Warga beraktivitas di pusat jajanan Merdeka Walk di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara, Senin (17/8/2020).
Meuthia mengatakan, di masa kecilnya, ia masih merasakan Kota Medan sebagai Paris van Sumatera yang sangat ramah anak. Ia dulu tinggal di Jalan Teuku Umar dan biasa berjalan ke sekolahnya di pusat kota. Mereka juga sering memetik buah pohon asam di sepanjang Jalan Teuku Umar.
"Sekarang suasana itu tidak ada lagi. Kok masa kecil kita dirampas penguasa kota," kata Meuthia.
Burhan mengatakan, dalam perspektif teknik lalu-lintas, Lapangan Merdeka merupakan alun-alun yang sekaligus berfungsi sebagai bundaran besar untuk mengurai arus lalu-lintas. Namun, yang terjadi saat ini justru menjadi sumber kemacetan karena dibuat pusat jajanan mewah dengan menggunakan jalan sebagai lahan parkir.
"Bundaran tipe gyratoryl ini bahkan lebih unik dari bundaran Simpang Lima Semarang karena terdapat delapan ruas jalan yang bermuara ke ruas jalan yang mengelilingi Lapangan Merdeka Medan," katanya.
Miduk menegaskan, dalam sampul buku Lapangan Merdeka Medan dibuat gambar tanda seru berwarna merah sebanyak tiga buah. Hal itu menunjukkan betapa mendesaknya mengembalikan fungsi Lapangan Merdeka Medan dan menghidupkan kembali roh Paris van Sumatera.
KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Buku "Lapangan Merdeka Medan, Ruang (Publik), Warisan Sejarah dan Budaya".
Buku Lapangan Merdeka secara resmi diluncurkan pada Kamis, (1/4/2021) di Medan. Tanggal 1 April dipilih karena pada 1 April 1909 Gementee (kotapraja) Medan dibentuk.
Buku merangkum 75 tulisan dari 55 penulis yang merupakan warga pencinta Kota Medan dari dosen, seniman, budayawan, wartawan, dan aneka profesi lainya. Buku juga berisi 40 sketsa sudut Kota Medan hasil karya komunitas sketser Medan, belasan puisi, berikut dokumentasi gerakan warga memerdekakan lapangan merdeka selama ini.
Gerakan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut ini bahkan pernah mendapat penghargaan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan sebagai komunitas yang terus berjuang mempertahankan situs bersejarah di Kota Medan pada 2017.
Dalam peluncuran buku itu, Usman Pelly mengatakan relasi rakyat Medan dengan pemimpinnya seolah terputus ketika Balai Kota Medan tempat pemimpin Kota Medan bekerja yang menghadap alun-alun kota Medan yakni Lapangan Merdeka dijadikan hotel. Balai kota kemudian berpindah di belakang hotel dan tidak lagi menghadap alun-alun kota yang merupakan representasi rakyat.
Setelah itu alun-alun kota dikungkung oleh komersialisasi. Tak lama kemudian korupsi pun mendera pemimpin Kota Medan berturut-turut.
Dalam sambutan rekaman video yang diputar dalam peluncuran buku, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, kemajuan sebuah kota juga dilihat dari bagaimana kota melindungi dan melestarikan cagar budayanya. Meskipun belum berhasil, gerakan warga dalam Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut terus berjuang untuk itu hingga kini.