Terverifikasi menerima lahan tapak rumah seluas 150 meter persegi dan lahan garapan seluas 2.500 meter persegi, petani Simalingkar dan Sei Mencirim menyiapkan diri mengelola lahan untuk kesejahteraan bersama.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·5 menit baca
Program Reforma Agraria Presiden Joko Widodo mendapat titik terang di Sumatera Utara. Para petani bersiap menerima distribusi lahan dengan memberdayakan diri dan membentuk koperasi.
Angin sepoi-sepoi bertiup ketika kaki melangkah di lokasi peternakan dan perikanan Serikat Petani Mencirim Bersatu di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (26/6/2021). Pepohonan rindang yang menaungi sebuah gubuk tempat orang minum kopi bergoyang. Di sampingnya, petak-petak tambak ikan berjejer.
Ketika Ndaru Supanji (44), penanggung jawab peternakan, mengajak melihat tambak dari dekat, ribuan ikan nila di dalam tambak langsung berkecipak menyerbu mendekatinya. ”Senang ya lihatnya, tidak usah diberi makan pun sudah berhamburan,” kata Ndaru. Saat pakan disebar di tambak, kecipak ikan makin bergolak.
Ndaru lalu mengajak naik ke sisi tanah yang lebih tinggi. Di situ terdapat puluhan ekor sapi yang tertambat di kandang terbuka. Satu buah mobil bak terbuka berisi rumput terparkir di depan kandang. Mesin pembuat pakan teronggok di dekatnya.
Di belakang kandang, di antara redup pepohonan, gundukan tahi sapi terhampar ditutupi terpal biru. Tak ada lalat dan tak berbau. ”Itu dikumpulkan untuk pupuk,” kata Ndaru.
Di samping kandang sapi, dua kandang besar berisi 300 ekor kambing kacangan lokal berdiri. ”Terlihat sejahtera ya? Apalagi kalau kami punya tanah sendiri, banyak petani yang akan sejahtera karena ini memang pekerjaan kami,” kata Ndaru.
Kandang dan tambak itu berdiri di lahan seluas sekitar 3.000 meter persegi yang merupakan lahan sewa. Peternakan dan perikanan itu diusahakan petani setelah mereka mendapat bantuan dari Kementerian Ketenagakerjaan pada November 2020 untuk 50 unit kewirausahaan baru Desa Sei Mencirim dan Desa Simalingkar, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, dengan nilai total Rp 2 miliar.
Dana itu juga dikembangkan untuk tambak ikan di sudut desa, sekitar 200 meter dari lokasi yang pertama, pertanian mina padi yang sedang diujicobakan di lahan setempat, usaha jual beli pasir dan batu termasuk produksi konblok dan batako, juga peternakan kambing di tempat lain. Petani juga mengembangkan koperasi penjualan kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal itu gampang dilakukan karena sejak lahir mereka sudah melakukannya turun-temurun. Namun, semua masih berdiri di lahan sewa, bukan di tanah mereka sendiri.
Harapan akan mendapatkan tanah dari program reforma agraria Presiden Joko Widodo di depan mata ketika sehari sebelumnya Staf Kantor Staf Presiden (KSP) mengunjungi para petani di Sei Mencirim dan Simalingkar. Tenaga Ahli Utama Kedeputian II KSP Usep Setiawan dalam kunjungan itu menyatakan, 1.408 warga yang terdiri atas 716 dari 805 warga Simalingkar dan 692 dari 707 warga Sei Mencirim terverifikasi menerima lahan tapak rumah seluas 150 meter persegi dan lahan garapan seluas 2.500 meter persegi.
Kabar itu memberikan angin segar meskipun mereka harus bergelut dengan kesabaran kapan serah terima dilakukan. Kesabaran masih dibutuhkan setelah puluhan tahun warga bergelut dengan kekerasan, darah, dan air mata, berhadapan dengan perusahaan dan aparat yang mempertahankan lahan hak guna perusahaan.
”Sudah susah sekali hidup kami tidak punya lahan untuk bertani,” tutur Sura beru Sembiring (64), petani Sei Mencirim, sambil tersedu. Kekerasan akibat konflik agraria di Sei Mencirim selama puluhan tahun telah membuat seluruh keluarganya menjadi korban. Bapak dan suaminya meninggal dipicu konflik tanah. Anaknya cacat seumur hidup dengan kaki setengah lumpuh akibat bentrok dengan petugas. Cucunya terancam putus sekolah.
Terusir dari lahannya, ia kini hidup menumpang. Lingkaran kekerasan dialami hampir semua keluarga di Sei Mencirim.
Di bekas lahannya kini terhampar perkebunan tebu dengan papan bertuliskan HGU 55 PT Perkebunan Nusantara (PT PN) II. Kampung yang dulu dihuni ratusan orang kini hanya menyisakan bangunan masjid terbuka dan rumah penjaga masjid yang tinggal dindingnya menyempil di tengah ratusan hektar ladang tebu yang menghijau.
Karena itu, setahun yang lalu, persisnya pada 25 Juni 2020, sebanyak 170 petani, usia 21-81 tahun, 43 di antaranya perempuan dan 18 warga lansia dari Sei Mencirim dan Simalingkar berjalan kaki ke Istana Negara sejauh 1.812 kilometer. Mereka meminta keadilan. Jika petani Sei Mencirim tergusur ladang tebu, warga Simalingkar tergusur pengembangan perumahan anak perusahaan PT PN II.
”Kami berpikir ini tidak akan selesai kalau hanya di daerah. Negara harus hadir menyelesaikan konflik agraria,” tutur Haris Wiyono, Ketua Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB), dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), Aris Wiyono.
Deli Serdang-Jakarta itu ditempuh selama 48 hari berikut 2 minggu menginap di kantor DPW PKB Pekanbaru, dan 5 hari di PC NU Kalianda, Lampung.
Tak mudah berjalan kaki di tengah pandemi Covid-19 merebak. ”Ini seperti menyabung nyawa,” kata Imam Wahyudi, koordinator lapangan jalan kaki. Tekad itu dilaksanakan toh selama ini hidup petani juga terus menyabung nyawa mempertahankan lahan.
Negara harus hadir menyelesaikan konflik agraria. (Haris Wiyono)
Terik matahari, derasnya hujan, dan dinginnya malam telah dirasakan rombongan yang jika malam istirahat tidur di tenda di pinggir jalan, kebun sawit, pesantren, halaman rumah makan, atau di tempat pihak-pihak yang mau menampung. Untuk menginap di kantor wakil rakyat dilarang. Bahkan, di lapangan desa pun kerap diusir.
Tiap kali lewat perbatasan kabupaten/provinsi, rombongan harus berhadapan dengan aparat yang melarang perjalanan dengan alasan pandemi. ”Kami disemprot disinfektan di Tebing Tinggi, seperti menyemprot kacang panjang,” kata Imam yang hanya bisa mandi empat hari sekali.
Tiap hari, peserta jalan kaki makan nasi dengan lauk udang kecepe atau ubi yang disiapkan tim logistik dari hasil swadaya petani menjual ternak. Logistik disimpan di truk yang mengikuti rombongan.
Meskipun banyak halangan dan penolakan, banyak pula solidaritas warga yang membantu. ”Di Lampung saat Idul Adha tahun lalu, kami mendapat bantuan lembu dan kambing dari NU,” kata Imam. Makan pun akhirnya lebih bergizi.
Sampai Jakarta, jalan petani sudah terseok-seok karena telapak kaki dan selangkangan lecet-lecet. Mereka mendapat tumpangan menginap di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) Jakarta Selatan selama dua bulan dan diterima Presiden Joko Widodo pada 27 Agustus 2020 melalui teleconference di Kantor Sekretariat Negara.
Setelah menunggu lebih dari setahun, para petani pun bersiap menerima lahan itu. Mereka telah mengorganisasi diri, membentuk koperasi dan usaha bersama, sehingga ketika lahan itu diterima, mereka siap mengerjakannya.
Konflik lahan yang meledak terutama setelah Orde Baru itu memiliki titik terang. Realiasi distribusi lahan di depan mata.