Dua Mantan Pejabat Dinas ESDM Sultra Jadi Tersangka Korupsi Perizinan Tambang
Dua mantan pejabat Dinas ESDM Sultra dan dua petinggi PT Toshida Indonesia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Sultra. Kejaksaan mengendus suap dalam perizinan tambang yang merugikan negara hingga Rp 243 miliar.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Setelah menyita dan menyegel sejumlah dokumen di kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Minerl Sulawesi Tenggara, kejaksaan menetapkan dua mantan pejabat dinas itu sebagai tersangka kasus korupsi perizinan tambang. Dua petinggi perusahaan tambang terkait juga ikut ditetapkan sebagai tersangka. Pihak kejaksaan dituntut telusuri aliran dana dalam kasus yang diduga merugikan negara sekitar Rp 243 miliar itu.
”Setelah dilakukan ekspose oleh penyidik, kami menetapkan empat tersangka dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi. Mereka adalah LSO dan UMR, direktur utama dan manajer di PT Toshida Indonesia. Juga BHR dan YSM, mantan pelaksana tugas Kepala Dinas ESDM dan mantan Kepala Bidang Minerba ESDM Sultra,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sultra Setyawan Nur Chaliq dalam konferensi pers di Kendari, Kamis (17/6/2021).
Para tersangka, terang Setyawan, diduga terlibat dalam persetujuan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk PT Toshida Indonesia, perusahaan tambang nikel. Dokumen ini merupakan dasar perusahaan untuk melakukan produksi pertambangan.
Akan tetapi, PT Toshida Indonesia tidak membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dimiliki. Perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Kolaka ini memiliki IPPKH sejak 2009 dan tidak pernah membayar PNBP hingga 2020, atau sekitar 11 tahun lamanya.
”Potensi kerugian negara dari PNBP IPPKH itu sekitar Rp 168 miliar. Pada tahun 2020, IPPKH mereka dicabut, tetapi diketahui masih sempat melakukan pengapalan dan penjualan nikel dengan total nilai Rp 75 miliar. Dugaan kerugian negara belum kami hitung total, tetapi masih ada di kisaran kedua hal tadi,” kata Setyawan.
Dalam proses persetujuan dokumen RKAB tersebut, Setyawan melanjutkan, diduga ada tindakan suap yang dilakukan perusahaan ke pejabat terkait. Akan tetapi, hal ini menjadi materi penyidikan yang masih terus dikembangkan.
Terkait kemungkinan adanya tersangka lain dalam kasus ini, pihak kejaksaan tidak menutup kemungkinan. Akan tetapi, penyidik fokus melakukan penelusuran terkait peran, modus, dan motif para tersangka ini.
”Kami juga akan melakukan penelusuran terkait tindak pidana pencucian uang para tersangka. Aliran uangnya dibawa ke mana, atau ada aliran ke orang lain atau tidak. Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara,” ujarnya.
Asisten Intelijen Kejati Sultra Noer Adi menambahkan, tersangka BHR dan UMR telah ditahan di Rutan Kendari. Sementara itu, dua orang lainnya, yaitu LSO dan YSM, belum memenuhi panggilan penyidik.
Terkait kedua orang tersebut, Noer menyampaikan, pihaknya belum menetapkan status daftar pencarian orang (DPO). Akan tetapi, koordinasi dengan pihak imigrasi telah dilakukan untuk berjaga-jaga jika kedua orang ini melarikan diri ke luar negeri.
Jika tetap tidak memenuhi panggilan, tentu akan ada upaya lain agar mereka datang, baik secara paksa maupun lainnya.
”Kami melakukan upaya persuasif terkait kasus ini. Jika tetap tidak memenuhi panggilan, tentu akan ada upaya lain agar mereka datang, baik secara paksa maupun lainnya,” katanya, menambahkan.
Noer menuturkan, meski telah berjalan 11 tahun, kasus ini baru terungkap dari informasi yang diterima. Dalam penyelidikan, diketahui ada bukti dan rentetan modus sehingga penyelidikan lalu ditingkatkan hingga menetapkan tersangka saat ini.
Sebelumnya, pada Senin (14/6/2021) pagi, lebih dari delapan penyidik Kejati Sultra mendatangi kantor Dinas ESDM Sultra di Kendari. Selain menyegel ruangan Kepala Bidang Minerba, tim juga menggeledah sejumlah ruangan lain, termasuk ruangan Kepala Dinas ESDM Sultra yang saat ini dijabat oleh Andi Azis.
Setelah melakukan penggeledahan, sejumlah dokumen lalu disita untuk kelengkapan penyidikan. Dokumen tersebut berupa evaluasi dan permohonan RKAB, dokumen verifikasi, hingga dokumen jaminan reklamasi.
Dokumen RKAB merupakan salah satu kewajiban perusahaan tambang sebelum melakukan produksi, yang dilaporkan secara berkala. Selain itu, dalam laporan tim Monitoring dan Evaluasi Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan, PT Toshida Indonesia memiliki IPPKH sejak 2009 dengan luas 5.265 hektar.
Sementara itu, pihak PT Toshida Indonesia yang dihubungi melalui kontak yang tertera di laman situs mereka tidak aktif. Sejumlah pertanyaan yang dikirimkan melalui surat elektronik perusahaan juga belum terjawab.
Hariman Satria, pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Kendari, berharap pihak kejaksaan betul-betul mengusut kasus korupsi bidang perizinan ini hingga ke akar-akarnya. Sebab, selama belasan tahun lamanya, sektor ini menjadi bancakan banyak pihak meski baru ditindak saat ini.
Perizinan tambang, tutur Hariman, merupakan sektor yang dieksploitasi oleh banyak pihak, terutama oleh penguasa daerah, untuk menerima pendapatan yang tidak sah. Sebagai daerah dengan tujuan investasi, sektor perizinan menjadi hal yang bisa diolah sebagai ladang korupsi.
”Sederhana saja, dengan kasus yang ditangani Kejati Sultra ini, bagaimana mungkin RKAB bisa keluar jika memang belum membayar PNBP? Kalau keluar selama bertahun-tahun, tentu patut diduga ada unsur korupsi di situ. Di situ yang harus ditelusuri, aliran uangnya ke mana, siapa penerima, hingga benar-benar tuntas. Seorang Kadis atau Kabid, tentu patut diduga tidak bekerja sendiri,” ucapnya.
Dia menambahkan, pihak pemberi juga semestinya ditelisik lebih jauh untuk melihat hal ini sebagai sebuah kejahatan korporasi. Tidak hanya memberi hukuman kepada orang-orangnya dalam suatu kurun waktu tertentu, tetapi juga mencabut izin perusahaan dan melarang orang-orang ini menjadi pimpinan di perusahaan lain.