Dalami Dugaan Korupsi Perizinan Tambang, Kejaksaan Geledah Dinas ESDM Sultra
Kejati Sultra menyegel ruangan dan menyita dokumen terkait dugaan korupsi perizinan pertambangan di kantor Dinas ESDM Sultra.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara mendalami penyidikan dugaan korupsi perizinan perusahaan tambang. Perusahaan dimaksud diduga kuat tetap beroperasi atas izin Dinas ESDM Sultra meski tidak membayar pajak penggunaan hutan selama 11 tahun terakhir. Kejaksaan pun dituntut menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.
Lebih dari delapan penyidik dari Kejati Sultra mendatangi kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, di Kendari, Senin (14/6/2021). Selain menyegel ruangan Kepala Bidang Minerba dan dua ruangan lainnya, tim juga menggeledah ruangan Kepala Dinas ESDM Sultra Andi Azis.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sultra Setyawan Nur Chaliq menyampaikan, pihaknya sedang melakukan penggeledahan berkaitan penyidikan kasus dugaan korupsi atas izin pertambangan di Dinas ESDM Sultra. Hal ini terutama terkait penggunaan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk PT Toshida Indonesia.
“Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti terkait penggunaan IPPKH untuk PT Toshida yang memiliki izin di Kabupaten Kolaka hingga mereka melakukan aktivitas. Sejauh ini, ada sejumlah ruangan yang disegel dan digeledah, termasuk ruangan Kabid Minerba dan ruangan Kepala Dinas ESDM,” ucap Setyawan, di kantor Dinas ESDM Sultra, Senin sore.
Setelah melakukan penggeledahan, Setyawan melanjutkan, sejumlah dokumen disita untuk kelengkapan penyidikan. Dokumen tersebut berupa evaluasi dan permohonan RKAB, dokumen verifikasi, hingga dokumen jaminan reklamasi. Dokumen RKAB merupakan salah satu kewajiban perusahaan tambang sebelum melakukan produksi, yang dilaporkan secara berkala.
Sejauh ini, tambah Setyawan, perusahaan tambang nikel itu diketahui memiliki IPPKH sejak tahun 2009. Akan tetapi, hingga dicabutnya izin tersebut pada 2020, perusahaan tidak pernah membayar retribusi IPPKH, yang seharusnya menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Meski demikian, pihak Dinas ESDM Sultra tetap menyetujui RKAB perusahaan ini selama bertahun-tahun lamanya. Dalam laporan tim Monitoring dan Evaluasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan, PT Toshida memiliki IPPKH sejak 2009 dengan luas 5.265 hektar.
“Jadi, mereka beroperasi di atas kawasan dengan IPPKH, tapi PNBP untuk IPPKH-nya tidak pernah dibayarkan hingga dicabut. Itu yang sedang kami dalami,” kata Setyawan.
Menurut Setyawan, sebanyak 40 saksi telah diperiksa, termasuk para pengambil kebijakan di lingkup dinas. Pihaknya juga telah melakukan pemanggilan terhadap PT Toshida, tetapi belum dipenuhi. “Yang jelas, kasus ini menjadi prioritas, dan menjadi atensi pimpinan. Terkait nilai kerugian, kami belum hitung secara pasti,” lanjutnya.
Pada Februari lalu, Kejati Sultra telah menyebutkan adanya potensi kerugian negara dari PNBP pertambangan, dengan jumlah sebesar ratusan miliar rupiah. Hal itu ditindaklanjuti dengan penyidikan yang berlangsung saat ini.
Berdasarkan data Kejati Sultra, PT Toshida Indonesia memiliki kewajiban yang belum dibayarkan sebesar Rp 160 miliar hingga Maret 2021, di mana sebanyak Rp 151 miliar merupakan kewajiban PNBP IPPKH. Selain itu, ada pula kewajiban royalti, dana CSR, hingga program pemberdayaan masyarakat.
Kasus yang saat ini tengah diselidiki oleh Kejati Sultra di Dinas ESDM merupakan bagian dari kasus korupsi di sektor perizinan.
Kepala Dinas ESDM Sultra Andi Azis, saat ditemui, enggan memberikan komentar apa pun. Ia beralasan penggeledahan ini merupakan wewenang Kejati Sultra, termasuk fokus penyidikan. “Saya juga belum melapor ke Pak Gubernur terkait (penggeledahan) ini,” ucapnya.
Sementara itu, pihak PT Toshida Indonesia yang dihubungi melalui kontak yang tertera di laman situs mereka tidak aktif. Sejumlah pertanyaan yang dikirimkan melalui surat elektronik perusahaan juga belum terjawab hingga berita ini ditulis.
Hariman Satria, pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Kendari, menjelaskan, kasus yang saat ini tengah diselidiki oleh Kejati Sultra di Dinas ESDM merupakan bagian dari kasus korupsi di sektor perizinan. Sekian tahun, sektor ini menjadi bancakan banyak pihak, yang saat ini tengah menjalani hukuman.
“Kasus korupsi perizinan pertambangan bukan hal baru di Sultra. Mulai dari mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman dengan penerbitan izin pertambangan, juga mantan Gubernur Sultra Nur Alam, adalah beberapa contoh kasus korupsi perizinan pertambangan yang terjadi di wilayah ini,” ujar Hariman.
Sektor ini, tutur Hariman, merupakan sektor yang dieksploitasi oleh banyak pihak, terutama oleh penguasa daerah, untuk menerima pendapatan yang tidak sah. Sebab, sebagai daerah dengan tujuan investasi, sektor perizinan menjadi hal yang bisa diolah sebagai ladang korupsi.
“Sederhana saja, dengan kasus yang ditangani Kejati Sultra ini, bagaimana mungkin RKAB bisa keluar jika memang belum membayar PNBP? Kalau keluar selama bertahun-tahun, tentu patut diduga ada unsur korupsi di situ,” ucapnya.
Oleh karena itu, Hariman menambahkan, kejaksaan harus mengusut hal ini hingga tuntas. Tidak hanya sampai dugaan suap terbukti, tetapi hingga aliran dana itu nantinya. Pihak pemberi juga semestinya ditelisik lebih jauh, untuk melihat hal ini sebagai sebuah kejahatan korporasi.
Hal itu diharapkan bisa memberikan efek jera sekaligus membuktikan kinerja kejaksaan yang tuntas. “Karena kalau kita mau tarik ke belakang juga, kenapa kasus ini bisa berjalan selama 11 tahun? Ke mana aparat hukum selama ini?” urai Hariman.