Diluncurkan, Layanan di Cirebon untuk Tekan Kekerasan pada Perempuan Pekerja Migran
Untuk pertama kalinya di Indonesia, layanan terpadu satu atap diintegrasikan dengan program Migrant Worker’s Resource Center (MRC) di Kantor LTSA Cirebon, Jawa Barat. Layanan itu diharapkan melindungi perempuan PMI.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Perempuan pekerja migran Indonesia sangat rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender. Layanan terpadu yang responsif jender dan melibatkan berbagai pihak pun diluncurkan untuk pertama kali di Cirebon. Dengan demikian, perempuan migran diharapkan lebih terlindungi sejak dini.
Untuk pertama kali di Indonesia, layanan terpadu satu atap diintegrasikan dengan program Migrant Worker’s Resource Center (MRC) di Kantor Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Cirebon, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021). Turut hadir Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon Hartono serta Koordinator MRC Cirebon dan Lampung Timur Dina Nuriyati. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah hadir secara daring.
Dengan integrasi tersebut, LTSA tidak hanya memfasilitasi pengurusan paspor, jaminan sosial, dan pencatatan sipil calon PMI, tetapi juga layanan berbasis jender oleh MRC. Layanan itu antara lain mencakup konsultasi prakerja, psikososial, bantuan hukum, pelatihan calon PMI, dan penyediaan informasi ke desa-desa.
Layanan terpadu itu terealisasi atas kerja sama Uni Eropa, Organisasi Buruh Internasional (ILO), United Nation Women, Kemenaker, Pemkab Cirebon, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Women Crisis Center Mawar Balqis. Menurut rencana, layanan serupa juga diluncurkan di Kabupaten Blitar, Lampung Timur, dan Tulungagung.
Menurut Dina, perempuan PMI rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender (KBJ), yakni segala tindakan yang ditujukan kepada perempuan sehingga mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, psikologis, seksual, termasuk ancaman terhadap kebebasan. Apalagi, sebagian besar PMI merupakan perempuan.
Rentannya posisi perempuan migran tampak antara lain dalam catatan SBMI pada 2019. Laporan itu menunjukkan, sebanyak 356 kasus atau 56 persen dari total 640 pengaduan PMI merupakan perempuan.
Sebagian besar perempuan PMI bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sayangnya, lanjut Dina, pekerjaan tersebut masih dianggap ranah privat di banyak negara. Alasannya, perempuan PMI bekerja di rumah yang dianggap ruang privat.
”Sehingga, rumah majikan nyaris tidak tersentuh oleh petugas. Tidak ada inspeksi berkala. Akhirnya, mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual hingga tidak mendapatkan haknya,” ungkap Dina, yang pernah menjadi PMI di Hong Kong selama empat tahun.
Perempuan PMI yang mengalami KBJ, lanjutnya, baru diketahui jika mereka diam-diam melapor atau kabur dari rumah majikan. ”Bahkan, tidak jarang mereka dituduh membunuh. Padahal mereka hanya membela diri untuk menghindari pemerkosaan,” ungkapnya.
Nenah Arsinah (38), PMI asal Majalengka, Jabar, misalnya, terancam hukuman mati di Uni Emirat Arab karena dituduh membunuh dan berzinah dengan sopir majikannya. Padahal, menurut penuturan keluarga, anak petani tersebut ditangkap polisi setelah menandatangani sebuah surat yang tidak ia mengerti dengan iming-iming diberikan uang.
Turini (48), PMI asal Cirebon, juga baru bisa pulang pada 2019 setelah dilarang keluar rumah oleh majikannya di Arab Saudi sejak 1998. Ia bebas setelah temannya melapor ke media sosial. Akibat kejadian itu, ia mengalami trauma karena harus memulai mengenal keluarganya sendiri, termasuk menikah ulang dengan suaminya.
Oleh karena itu, calon PMI harus menghindari pemberangkatan tanpa dokumen hingga paham tempat melapor jika menjadi korban kekerasan berbasis jender. Kehadiran LTSA yang terintegrasi dengan MRC dibutuhkan karena petugas MRC langsung turun ke desa-desa.
Ruang calo sangat luas memfasilitasi dalam setiap tahapan. PMI juga tidak sepenuhnya memahami hak-hak ketenagakerjaan, proses, biaya, dan administrasinya
Selama ini, pemerintah daerah telah menyosialisasikan LTSA dan perlindungan terhadap PMI kepada kepala desa. Namun, lanjutnya, sosialisasi itu tidak optimal karena informasinya tidak sampai ke masyarakat langsung.
”Buktinya, belum semua warga tahu apa itu LTSA. Bahkan, yang ke LTSA itu calo, bukan calon PMI. Mereka akhirnya dapat informasi tidak akurat dari calo,” katanya.
Kadisnaketrans Kabupaten Cirebon Hartono mengatakan, sosialisasi terkait hak-hak PMI sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI telah dilakukan ke 412 desa di Cirebon beberapa tahun terakhir. ”Kami sosialisasi langsung ke kuwunya (kepala desa). Namun, mungkin pemdes belum paham,” katanya.
Padahal, lanjutnya, Cirebon merupakan daerah dengan jumlah penempatan PMI terbanyak ketiga di Indonesia tahun lalu. Dari 2.803 PMI, sebanyak 67 persen merupakan perempuan. Pihaknya juga mencatat 18 kasus PMI bermasalah di Cirebon. Kasus itu antara lain PMI hilang kontak, gaji belum dibayar, dan menjadi korban kekerasan seksual.
Menaker Ida Fauziyah mengakui, berdasarkan penelitian ILO dan Kemenaker pada 2019, mayoritas perempuan PMI mendapatkan informasi dari oknum calo. ”Ruang calo sangat luas memfasilitasi dalam setiap tahapan. PMI juga tidak sepenuhnya memahami hak-hak ketenagakerjaan, proses, biaya, dan administrasinya,” ujarnya.
Ida berharap integrasi LTSA dengan MRC dapat mengoptimalkan layanan dan perlindungan terhadap PMI, termasuk responsif jender. ”Kemanaker terus berupaya keras melindungi PMI, seperti mengalokasikan anggaran pelatihan tidak kurang dari 3.000 calon PMI. Pemda juga bertugas melindungi PMI,” ungkapnya.