Mereka Menatap Hidup Baru di Hunian Tetap di Kota Palu
Penyintas bencana yang menempati hunian tetap di Kota Palu, Sulawesi Tengah, membangun kehidupan baru dengan menjalankan usaha kecil. Mereka tak menyerah meskipun sempat dihantam bencana besar.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
Sebagian penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, menatap hidup dalam episode baru di hunian tetap. Mereka membuka berbagai usaha kecil untuk menambah penghasilan sekaligus terapi atas pengalaman buruk akibat bencana 2,5 tahun lalu itu.
Asna (38) dengan sigap mengupas dua kelapa untuk diparut. Ia mengeluarkan kelapa dari batok. Setelahnya, mesin parut menderu. Hanya butuh 30 detik mesin itu mencabik-cabik dua kelapa menjadi parutan. Ia lalu mengemas kelapa parutan tersebut ke dalam kantong plastik, ditukar dengan uang Rp 12.000 dari pembeli.
”Untuk kelapa parut, bisa sampai lima orang yang datang beli setiap hari,” ujarnya setelah melayani pembeli, Sabtu (5/6/2021). Hingga siang, sudah ada dua orang yang membeli kelapa parut dari Asna.
Asna mendapatkan Rp 2.000 per kelapa yang diparut. Abdul Lafif (52), suaminya, membeli kelapa tersebut di pasar seharga Rp 4.000 per biji. Penghasilan itu membantunya membuka lembaran baru hidup pascabencana pada 2018.
Menjual kelapa parut menjadi salah satu aktivitas yang dilakukan Asna di kios depan hunian tetap di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Lokasinya persis di belakang kampus Universitas Tadulako. Keluarga Asna menempati hunian tetap pada pertengahan Mei 2020.
Keluarga tersebut merupakan satu dari 1.500 keluarga yang telah menempati hunian tetap yang disediakan pemerintah bersama dengan sejumlah lembaga sosial. Hunian tetap diperuntukkan bagi penyintas yang terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi yang tak bisa lagi menempati lahan rumahnya dulu.
Rumah Asna hancur dihantam tsunami. Rumah itu terletak di pinggir jalan dekat pantai di Kelurahan Layana, Kecamatan Mantikulore, sekitar 5 kilometer dari hunian tetap Tondo.
Tempat usaha mebel Abdul juga hancur. Mebel saat ini menghasilkan volume barang lebih sedikit daripada kondisi sebelum terdampak bencana. Sebelum menempati hunian tetap, Asna dan keluarganya tinggal di hunian sementara di Kelurahan Layana.
Gempa, tsunami, dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, 28 September 2018. Tak kurang 4.000 jiwa tewas dalam kejadian itu. Rumah-rumah warga juga hancur diguncang gempa, diterjang tsunami, dan dilanda likuefaksi.
Bersama dengan suaminya, Asna mamanfaatkan halaman depan dan samping hunian tetap untuk menjalankan usaha kecil. Selain menjual kelapa parut, Asna juga menyediakan berbagai jenis kebutuhan harian, seperti air minum kemasan baik botol maupun galon, bumbu dapur, ikan kering, dan kudapan. Ia mulai membangun usaha pada Juli atau dua bulan setelah menempati hunian tetap.
Saat Kompasberada di warungnya sejak pukul 11.00 hingga pukul 12.15 Wita, ada delapan orang yang berbelanja di situ. Selain kelapa parut, ada yang membeli ikan, tomat, dan kudapan anak-anak. Pembelinya para penghuni hunian tetap juga.
Ya, pendapatan bersihnya berkisar Rp 150.000-Rp 200.000. Lumayan daripada tidak mengerjakan apa-apa.
Asna membangun usaha kecil tersebut untuk menopang penghasilan suaminya yang mengerjakan mebel. Dengan karakter usaha bengkel yang butuh waktu lama untuk laku, ia berinisiatif menjual berbagai jenis barang kebutuhan. ”Rata-rata bisa mendapat penghasilan kotor Rp 500.000 per hari. Ya, bersihnya berkisar Rp 150.000-Rp 200.000. Lumayan daripada tidak mengerjakan apa-apa,” ujarnya. Artinya, sebulan Asna bisa mengantongi Rp 4,5 juta.
Modal usaha untuk warung tersebut berasal dari kredit usaha rakyat di bank. Asna masih harus mencicil hingga 10 bulan ke depan. Ia membayar cicilan Rp 620.000 per bulan. Sejauh ini, pembayaran cicilan lancar dari perputaran uang warung.
”Bahkan, saya biasanya bayar sampai 700.000 per bulan melebihi besarnya kewajiban. Biar cepat saja, mumpung usaha lumayan laris,” ujarnya sambil tertawa.
Dari usaha tersebut, Asna bisa mencukupi kebutuhan keluarga berjumlah tiga orang. Sebagian uang ditabung untuk persiapan pendidikan Refa (5), putrinya. Asna pun bersyukur sejauh ini semua kebutuhan dasar terpenuhi dari usaha warung tersebut dan juga hasil penjualan mebel suaminya.
”Saya buka kios ini agar ada kerja di rumah. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan baik. Kita tidak boleh menyerah meskipun habis dihantam bencana,” tuturnya.
Di rumah lama di Kelurahan Layana, Kecamatan Mantikulore, dulu Asna tak membuka usaha. Ia hanya fokus memenuhi kebutuhan suami dan dua pekerja di mebelnya. Di hunian tetap, ia melihat ada peluang usaha, lalu membuka warung yang menyediakan kebutuhan harian.
Hingga saat ini, warung Asna menjadi satu-satunya warung di blok yang terdiri dari 40 hunian tetap tersebut. Warung atau kios lain sudah dibangun penghuni di blok lain di kompleks hunian tetap itu.
Di blok berbeda, sekitar 150 meter ke arah utara dari rumah Asna, Agnes Toganti (36) juga tak tinggal diam di hunian tetap. Sejak menempati hunian pada Agustus 2020, ia pelan-pelan memasukkan sejumlah barang untuk dijual.
Ia memanfaatkan ruang tamu rumahnya untuk memajang dua etalase guna menjual mi instan dan obat-obatan ringan. Ia juga melayani pembelian pulsa telepon, paket data interntet, dan pulsa listrik prabayar.
Tak menyebutkan keuntungan yang didapat per hari, Agnes mengatakan ia membuka usaha kecil itu agar ada kesibukan. Dengan kesibukan itu, ia selalu berpikir untuk maju, tak menyerah.
”Kalau tak ada aktivitas, jangan-jangan nanti mikir-nya gempa dan likuefaksi terus. Saatnya kita hidup baru di rumah baru,” kata penyintas gempa dan likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, itu sambil tertawa.
Asna dan Agnes sekadar contoh dari ribuan penyintas yang menatap hidup dalam episode baru di hunian tetap. Banyak penyintas memanfaatkan halaman dan sebagian ruang di sekitar hunian tetapnya untuk membuka usaha kecil guna memenuhi kebutuhan sesama penyintas di kompleks hunian tetap.
Dosen sosiologi Universitas Tadulako, Palu, Cristian Tindjabate, menyatakan, orang Indonesia dikenal lekas bangkit selepas dilanda bencana. Hal itu menjadi kekuatan besar untuk membangun kehidupan yang lebih baik ke depannya.