Penantian 20 Bulan Penyintas Gempa di Palu Mulai Terwujud
Sekitar 20 bulan pascagempa, tsunami, dan likuefaksi, penyintas mulai menempati hunian tetap. Penempatan hunian itu menjadi langkah penting dalam program pascabencana di Sulteng.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Tampak hunian tetap yang telah dibangun dan mulai ditempati penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Senin (18/5/2020).
PALU, KOMPAS — Penantian selama 20 bulan para penyintas gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah untuk tinggal di hunian tetap mulai terealisasi. Meskipun baru sebagian kecil penyintas yang mendapatkan jatah hunian, tahap tersebut menandai kemajuan penting dalam rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah saat situasi sulit wabah Covid-19.
Hunian tetap yang mulai dihuni itu terletak di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Hunian itu dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi sejak Maret 2019. Hunian tetap di kompleks tersebut memang dibangun lebih awal dari hunian lainnya.
Acara simbolis penyerahan kunci hunian tetap terhadap 20 perwakilan penyintas dilakukan pada Senin (18/5/2020). Setelah seremoni itu, 20 keluarga tersebut menikmati buka puasa bersama dengan pejabat Pemerintah Provinsi Sulteng dan Pemerintah Kota Palu.
Hunian tetap atau rumah tersebut berukuran 36 meter persegi dengan luas lahan sekitar 150 meter persegi. Rumah berkonstruksi lembaran serat beton dan kayu (conwood), berlantai keramik, dilengkapi plafon. Ada dua kamar tidur, satu kamar keluarga, bagian belakang dapur yang setengah terbuka, dan satu kamar mandi. Lampu listrik dipasang di setiap kamar.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Tampak gerbang masuk di kompleks hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Senin (18/5/2020).
Yayasan Buddha Tzu Chi juga menyediakan sejumlah perabot rumah, seperti meja dan empat kursi serta tiga kasur. Sejak Senin pagi, sejumlah penghuni membersihkan rumah-rumah tersebut, baik di bagian dalam maupun bagian luar.
”Saya sangat bersyukur sudah bisa menempati rumah. Ini lebih cepat dari yang saya bayangkan karena saya pikirnya nanti masuk sama-sama dengan banyak orang di kompleks ini,” kata Abdul Latif Bebas (60), penyintas tsunami dari Kelurahan Layana, Kecamatan Mantikulore, saat ditemui di huniannya, Senin.
Sejak Maret 2019, ia bersama dengan istri dan anak bungsunya tinggal di hunian sementara di Kelurahan Layana. Hunian panggung itu hanya memiliki satu kamar. Ia lebih sering tidur di lokasi usaha mebelnya daripada di hunian sementara.
Dengan menempati hunian tetap, ia mengaku seperti kembali menikmati kehidupan normal saat sebelum gempa dan tsunami dulu. Apalagi, sebentar lagi perayaan Idul Fitri. Wabah Covid-19 yang sedang mendera Indonesia, termasuk Kota Palu, pun dilupakan sejenak dengan ditempatinya hunian tetap ini.
”Dengan adanya tambahan perlengkapan dari penyedia hunian tetap, kami rasa ini sangat istimewa di tengah situasi sulit ini,” kata Abdul, yang sudah mengisi hunian ini dengan sejumlah perlengkapan, antara lain lemari dan perabot dapur.
Sudirman (62), penyintas likuefaksi Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, juga sangat antusias. Ia datang membersihkan bagian dalam rumah. Ia belum membawa barang-barang. ”Sudah bisa menempati hunian tetap rasanya luar biasa. Kalaupun ada kekurangan, seperti bagian dapur yang terbuka, nanti pelan-pelan akan dikerjakan,” ujarnya.
Kami akan dorong Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk bisa mengurus air ini secepatnya agar penyintas bisa masuk secara bertahap.
Wali Kota Palu Hidayat, saat memberikan sambutan, menyampaikan saat ini hunian tetap yang telah dibangun 550 unit dari total 1.500 yang sedang dibangun. Sebenarnya, banyak penyintas yang mulai menghuni, tetapi sejumlah hunian belum tersambung dengan air bersih.
”Kita atur yang fasilitasnya sudah lengkap dulu. Kami akan dorong Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk bisa mengurus air ini secepatnya agar penyintas bisa masuk secara bertahap,” katanya.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Keluarga penyintas gempa dan tsunami berdiri di depan hunian tetap yang mereka terima dari pemerintah di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Senin (18/5/2020).
Hidayat menegaskan, status kepemilikan hunian tetap tersebut adalah hak milik. Sertifikatnya saat ini masih diurus. Hal ini perlu ditegaskan karena adanya informasi miring di kalangan masyarakat bahwa kepemilikan rumah hanya berlaku 10 tahun.
Ia mengatakan, pembangunan hunian tetap di Palu dan Sulteng pada umumnya harus rampung pada 2020. Semua pihak perlu bekerja keras untuk membereskan hambatan pembangunan, termasuk status lahan di lokasi hunian tetap lainnya, seperti Kelurahan Tondo II dan Kelurahan Talise.
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng Ferdinand Kana Lo, beberapa waktu lalu, menyatakan, masalah air di hunian ini terkait dengan masih terkendalanya pengurusan sumber air. Karena itu, proyek praktis belum bisa dikerjakan. Untuk sementara, air disuplai dari sambungan di kompleks perumahan di sekitar lokasi hunian. Untuk menambah pasokan air, dibangun sumur suntik.
Pemerintah dan sejumlah yayasan atau lembaga sosial membangun total 11.000 hunian tetap untuk penyintas yang terdampak parah gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018. Mereka disediakan rumah di lahan baru (relokasi) karena lokasi rumah mereka ditetapkan sebagai zona terlarang (zona merah) pembangunan hunian baru.
Berdasarkan persebarannya, hunian tetap terbanyak dibangun di Palu, yakni sekitar 6.000 unit. Daerah itu memang paling terpukul karena bencana lalu. Berikutnya Kabupaten Sigi dengan sekitar 1.500 hunian, lalu Donggala, dan sebagian kecil Parigi Moutong. Pembangunan hunian masih terus berlangsung di empat daerah itu dengan target rampung akhir 2020.