Jejak Lempeng Bencana di Palu
Rekam jejak gempa dan tsunami di Kota Palu dan sekitarnya menjadi peringatan betapa rawannya wilayah ini akan bencana. Letak geografisnya di pertemuan tiga lempeng gempa kerap menyebabkan gerakan tanah yang mematikan.
Wilayah Palu menyimpan jejak gempa dan tsunami. Gempa berkekuatan magnitudo (M) 7,4 pada 28 September 2018 hanyalah satu dari ribuan gempa yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya.
Saat itu, gempa bumi dan likuefaksi disusul tsunami melanda Palu, Sigi, dan Donggala. Menurut data Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, sebanyak 3.124 orang tewas, 705 orang hilang, dan 1.016 orang dikubur massal (tanpa identitas). Adapun rumah yang rusak mencapai 110.214 rumah.
Dalam kurun waktu ratusan tahun, catatan sejarah menyebutkan gempa dirasakan ribuan kali di wilayah ini. Namun, tidak semuanya menimbulkan kerusakan dan korban.
Sepanjang 2010-2014, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat terjadi ribuan kali gempa di ibu kota Sulawesi Tengah ini. Salah satu yang terbesar adalah gempa berkekuatan 6,2 skala Richter pada 2012.
Gempa yang terjadi di Kabupaten Sigi tersebut menyebabkan menyebabkan 5 orang tewas dan 42 orang luka-luka. Selain itu, gempa menyebabkan longsor sehingga lima desa terisolasi. Sebanyak 533 rumah rusak (Kompas, 21/8/2012).
Sejak 1907
Jauh sebelumnya, pada 1907 dan 1909 di area yang sama pernah terjadi gempa berkekuatan M 6,8 dan M 7,0. Gempa Kulawi, sebutan peristiwa itu bersumber di darat sekitar 51 kilometer sampai 70 kilometer selatan Kota Palu.
Peristiwa tersebut tergolong gempa dangkal dengan kedalaman pusat gempa kurang dari 70 kilometer. Gempa dangkal sangat berpotensi menimbulkan kerusakan besar karena pusat gempa dekat dengan permukaan bumi.
Gempa Kulawi pada 1907 menyebabkan kerusakan hebat di wilayah Lemo, Colo, Anja, Olu Tongko, Palu, dan Panau. Tercatat 164 rumah dan 49 lumbung padi di Lemo roboh. Sementara Gempa Kulawi pada 1909 menyebabkan retakan sepanjang 7 kilometer dari Boladangko hingga Namo serta pengangkatan tanah setinggi 1 meter.
Ada pula guncangan gempa di Donggala. Data dari BMKG mencatat terjadinya gempa berkekuatan M 6,1 pada 11 Oktober 1998. Pusat gempa berada di Teluk Palu. Akibat bencana ini 199 bangunan rusak.
Tujuh tahun berselang, di Kabupaten Sigi kembali terjadi gempa pada 24 Januari 2005. Gempa berkekuatan M 6,3 tersebut berpusat di darat tepatnya 16 kilometer selatan Bora. Bencana ini dirasakan hingga Palolo, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu. Bencana ini menyebabkan 1 orang tewas, 4 orang luka-luka, dan 136 bangunan rusak.
Gempa tsunami
Lima peristiwa gempa di atas termasuk dalam kategori gempa ekstrem. Kategori ini berdasarkan pada analisis Indeks Kerentanan Seismik Kota Palu dari Stasiun Geofisika Kota Palu. Gempa ekstrem yang dimaksud adalah gempa yang berkekuatan besar dan bersifat merusak. Beberapa kali gempa ekstrem juga disertai dengan tsunami.
Gempa ekstrem yang berakibat tsunami terjadi pada 1927, 1938, dan 1968. Peristiwa gempa tsunami paling berdampak parah terjadi pada 15 Agustus 1968. Gempa yang diperkirakan berkekuatan M 7,3 di Teluk Tambu menyebabkan penurunan daratan pantai sedalam 2-3 meter.
Tsunami menerjang wilayah ini dengan ketinggian gelombang mencapai 8-10 meter. Hantaman tsunami mencapai 100-1.000 meter dari garis pantai. Tsunami juga menyerang Pantai Donggala.
Gempa tersebut menyebabkan tebing longsor, retakan tanah, dan pancaran air panas. Dampak paling parah terjadi di Mapaga. Sebanyak 800 rumah rusak, 160 orang tewas, 40 orang hilang, dan 58 orang luka-luka.
Gerakan aktif lempeng
Catatan sejarah akan gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan sekitarnya itu menerangkan bahwa wilayah ini merupakan wilayah sangat rawan bencana. Kondisi dan letak geografis yang berada di titik pertemuan dari pergerakan tiga lempeng besar menjadikan wilayah ini rentan akan gempa bumi.
Ketiga lempeng tersebut yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia bergerak ke arah tenggara, lempeng Indo-Australia ke arah barat laut, dan lempeng Pasifik ke arah barat.
Bellier (2001) dalam hasil Analisis Indeks Kerentanan Seismik Kota Palu dari Stasiun Geofisika Kota Palu menyebutkan, di dalam pertemuan tiga lempeng tersebut terdapat zona kompleks patahan geser yang mengiri (sinistral). Sedikitnya terdapat dua segmen patahan, yaitu Sesar Palu-Koro dan Sesar Matano, yang menyebabkan frekuensi gempa bumi di Sulawesi Tengah tinggi.
Sesar Palu-Koro inilah yang menjadi penyebab gempa dan tsunami pada 28 September 2018. Sesar ini juga menjadi penyebab gempa bumi dan tsunami tahun-tahun sebelumnya.
Dahulu masyarakat dan suku-suku yang tersebar di Palu, Donggala, dan Sigi memilih tempat tinggal di punggung bukit dengan struktur batuan lebih keras.
Sejak 1990-an, tiga tsunami akibat gempa dari patahan Palu Koro terjadi. Pertama, tsunami terjadi pada 1 Desember 1927 di Teluk Palu. Kemudian pada 14 Agustus 1968 di tempat yang sama bencana tersebut kembali terulang. Selanjutnya di Simuntu-Pangalaseang tsunami terjadi pada 1 Januari 1996 (Kompas, 26/9/2019).
Sesar Palu-Koro dikenal sebagai salah satu sesar paling aktif. Bahkan, laju pergeseran sesar Palu-Koro setara dengan empat kali laju sesar besar Sumatera.
Dalam keterangan Analisis Indeks Kerentanan Seismik Kota Palu dari Stasiun Geofisika Kota Palu, Hamilton (1979) memberi nama Sesar Palu-Koro karena sesar ini melewati Kota Palu dan Sungai Koro. Terbentang memanjang 500 kilometer dari Selat Makasar sampai pantai utara Teluk Bone, sesar ini bergerak dengan kecepatan 40 milimeter per tahun.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono dalam tulisannya di Kompas, 2 Oktober 2018, menjelaskan terbentuknya sesar Palu-Koro. Sesar ini terbentuk karena reaksi atas tekanan yang timbul dari benturan dengan benua kecil (mikrokontinen) Banggai-Sula. Benturan terjadi karena gerakan benua kecil Banggai-Sula merangsek ke arah barat, tepat Pulau Sulawesi berada.
Gerakan ini yang memicu aktifnya sistem sesar regional di wilayah ini. Daryono menyebutkan, tekanan-tekanan tersebut menjadikan wilayah Sulawesi Tengah selamanya akan menjadi kawasan aktif gempa bumi.
Berbasis mitigasi bencana
Meski sering terjadi gempa bumi, sebagian besar masyarakat tidak menyadari bahwa wilayahnya sangat rentan bencana. Hal tersebut karena kurangnya pengetahuan tradisional dan kajian ilmiah potensi bencana di Palu dan sekitarnya yang disosialisasikan ke masyarakat.
Hasil Survei Litbang Kompas pada 21-25 Oktober 2019 terhadap 100 penyintas bencana di Palu menyebutkan 95 persen responden tidak mengetahui bahwa tempat tinggalnya merupakan daerah rawan bencana. Lebih dari 50 persen responden juga tidak mengetahui penanganan apabila terjadi bencana.
Padahal, dahulu masyarakat dan suku-suku yang tersebar di Palu, Donggala, dan Sigi umumnya menyadari adanya bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi berulang di wilayah tersebut. Hal ini terbukti dengan pemilihan tempat tinggal di punggung bukit dengan struktur batuan lebih keras dibandingkan bermukim di pesisir atau lembah yang rentan bencana.
Masyarakat pun sebenarnya telah memiliki istilah khusus untuk gempa, tsunami, dan likuefaksi. Ada istilah linu untuk menyebut gempa dan bombatalu untuk menyebut tsunami. Sementara untuk likuefaksi, mereka menyebutnya nalodo yang berarti lenyap ditelan lumpur (Kompas, 26/9/2019).
Dampak akibat bencana dapat diminimalisasi apabila pemerintah dan masyarakat memahami bahwa wilayahnya merupakan daerah rawan bencana. Pengetahuan akan peristiwa bencana pada masa lalu dapat menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat untuk tetap waspada di wilayahnya. Pengetahuan itu dapat diberikan melalui sosialisasi maupun diwariskan dari generasi ke generasi.
Selain itu, pembangunan ulang dilakukan dengan berorientasi pada mitigasi bencana, misalnya membangun bangunan dan infrastruktur ramah bencana. Selain itu, penataan ruang juga perlu memperhatikan zona-zona rawan bahaya. (Litbang Kompas)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?