Sebanyak 160 Rumah Tangga Penyintas Bencana di Palu Pilih Relokasi Mandiri
Penyintas memilih relokasi mandiri dengan berbagai pertimbangan, mulai dari alasan sosial-budaya, ekonomi, hingga jaminan kualitas konstruksi. Metode ini ditawarkan untuk menampung keinginan sejumlah penyintas.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Sebanyak 160 rumah tangga penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi tahun 2018 di Kota Palu, Sulawesi Tengah, memilih relokasi mandiri. Cara ini menjadi jalan tengah mengakomodasi berbagai aspirasi penyintas, mulai dari sosial-budaya, mata pencarian, hingga jaminan kualitas konstruksi rumah.
Secara keseluruhan, rumah rusak karena bencana dua tahun lalu mencapai 110.000 unit. Pemerintah merelokasi tak kurang dari 11.000 rumah tangga penyintas.
Ridwan (25), penyintas gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo, mengambil skema relokasi mandiri karena alasan sosial-budaya. Keluarganya masih banyak yang tinggal di sekitar Petobo. Jika memilih relokasi di tempat lain, itu akan menjauhkannya dari lingkungan keluarga besar.
Selain itu, relokasi mandiri dipilih karena pengerjaan hunian tetap (huntap) relatif bisa dikontrol. Berdasarkan pertemuan pembentuk kelompok masyarakat, penyintas yang memilih relokasi mandiri diberi kesempatan untuk mengontrol kualitas konstruksi.
”Saya merasa model relokasi mandiri yang bagus. Ada partisipasi penyintas di dalamnya. Ini lebih bagus ketimbang hanya menerima huntap yang telah disediakan pemerintah,” ujarnya di Palu, Sulteng, Senin (14/12/2020).
Alasan lain adalah soal mata pencarian. Sejumlah penyintas terikat dengan wilayah tertentu karena terhubung pekerjaan, seperti di sekitar pantai yang mayoritas penyintasnya adalah nelayan atau penjual ikan.
”Kami tidak bisa jauh dari laut karena terkait pekerjaan. Makanya, kami mengambil relokasi mandiri,” ujar Samsudin (46), nelayan di Kelurahan Mamboro Barat, Palu Utara. Sebanyak 34 rumah tangga nelayan di Mamboro lebih dulu merintis relokasi mandiri berkat advokasi salah satu lembaga swadaya masyarakat.
Dalam skema ini, penyintas menyiapkan lahan sendiri untuk nantinya dibangunkan rumah oleh pemerintah. Penyintas yang memilih skema relokasi mandiri itu tersebar di Kelurahan Kayumalue di Kecamatan Palu Utara, Kelurahan Panau (Kecamatan Tawaeli), Kelurahan Duyu (Kecamatan Tatanga), dan Petobo (Kecamatan Palu Selatan). Peminat skema tersebut paling banyak di Petobo, yakni 91 rumah tangga.
Mereka tersaring dari total 500 rumah tangga penyintas yang mendaftar untuk skema tersebut. Saat ini, mereka telah menyiapkan lahan. Pembangunan dimulai pada 2021. Pemerintah Kota Palu masih membuka kesempatan kepada keluarga penyintas lain untuk memilih skema itu.
Ada beberapa skema dalam rekonstruksi pascabencana. Salah satunya adalah penyaluran dana stimulan untuk penyintas yang rumahnya rusak berat, sedang, dan ringan. Namun, warga tidak direlokasi karena berada di luar zona merah atau terlarang untuk pembangunan hunian baru.
Selain itu, ada skema relokasi untuk penyintas yang rumahnya rusak berat karena tsunami, likuefaksi, dan berada di jalur utama sesar (pemicu gempa). Lokasi itu ditetapkan zona merah. Mereka direlokasi secara komunal. Di Palu, misalnya, mereka direlokasi ke Kelurahan Tondo, Talise, dan Duyu. Sejumlah penyintas telah menempati rumah atau huntap.
Dalam skema ini, penyintas menyiapkan lahan sendiri untuk nantinya dibangunkan rumah oleh pemerintah.
Belakangan muncul skema baru, yakni relokasi mandiri. Dalam skema ini, penyintas menyiapkan sendiri lahan pembangunan rumah atau huntap. Dasarnya adalah serfitikat hak milik atau minimal surat keterangan pendaftaran tanah. Rumah dibangun pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat seperti skema relokasi.
Selain keabsahan lahan, syarat lain untuk skema relokasi mandiri adalah akses yang tidak sulit, terutama jalan dan listrik, jika membangun terpisah dari penyintas lain. Jika membangun huntap secara terkonsentrasi, penyintas membentuk kelompok sehingga aksesnya bisa ditangani pemerintah. Anggota kelompok maksimal 15 rumah tangga.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Palu Zulfikli menyatakan, relokasi mandiri tersebut untuk menjawab aspirasi yang berkembang dalam perjalanan penanganan pascabencana. ”Penanganan bencana tak bisa kaku. Kami harus melihat dinamika di masyarakat,” katanya.
Terkait tidak dari awal skema ini menjadi salah satu pilihan, menurut Zulkifli, sering aspirasi muncul dalam perjalanan penanganan kebencanaan. Pada prinsipnya, pemerintah mengakomodasi semua aspirasi sejauh itu memenuhi syarat atau standar yang telah ditetapkan.
”Contohnya untuk skema ini, ya, harus ada akses jalan atau transmisi listrik. Kalau tidak ada fasilitas itu, silakan membentuk kelompok,” ujarnya.