Kreativitas Wisata ”Bandoeng Tempo Doeloe” Hadirkan Keabadian
Jejak wisata tempo dulu di Bandung, Jawa Barat, terentang sejak lama. Dari keterbatasan, kreativitas itu tumbuh menjadi legenda.
Sejumlah promosi wisata di Bandung periode jelang akhir abad ke-19 hingga sebelum Perang Dunia II pernah menembus batas. Jejak kebersamaan orang-orang di dalamnya bahkan ikut membangun peradaban kota hingga kini. Kreativitas tempo dulu itu berpotensi menghadirkan keabadian.
Salah satu ajang yang pernah menjadi buah bibir adalah ajang pacuan berkuda di Tegalega. Atep Kurnia dalam tulisan Sejarah Pacuan Kuda di Priangan 1853-1899 menyebutkan, acara ini tumbuh seiring minat berkuda beberapa pegawai Eropa dan para bupati Priangan.
Pada tahun 1853, mereka mengajukan permohonan membentuk klub pacuan kuda kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr AJ Duymaer van Twist. Pertimbangan utamanya, sebagai sarana hiburan dan keuntungan publik.
Maklum, di tahun itu, Bandung belum seramai sekarang. Orang berduit macam bupati hingga pegawai Eropa mudah mati gaya. Bahkan, bosan bisa jadi menyerang dua kali lipat lebih kuat dirasakan para pengusaha perkebunan teh (preangerplanters) di pelosok gunung seputaran Bandung. Hal itu bisa jadi berbahaya karena teh saat itu menjadi komoditas andalan Hindia Belanda untuk dunia.
Pernah ada tragedi akibat kebosanan itu. Dalam novel sejarah Sang Juragan Teh karya Hella Haasse disebutkan Jenny Elisabeth Henriette Roosegaarde Bisschop, istri Rudolf Eduard Kerkhoven, pengusaha teh di Gambung, bunuh diri.
Dalam roman yang terinspirasi surat dan dokumen keluarga Kerkhoven itu, Jenny dikatakan menderita gangguan saraf dan depresi. Gambung, yang berada di kaki Gunung Tilu atau sekitar 50 kilometer dari Bandung, jauh dari ingar-bingar Batavia, tempat tinggal ibu empat anak itu sebelumnya.
Singkat kata, permohonan pencinta kuda pun disetujui. Kelompok itu lantas diberi nama Preanger Wedloop Societet (PWS). Besar kemungkinan, PWS adalah organisasi olahraga tertua di Hindia Belanda.
Kuda yang digunakan beragam, mulai dari lokal hingga Australia. Hadiahnya pun lumayan bergengsi hingga ratusan gulden, bergantung pada kategori lomba.
Pacuan kuda pun digelar pada akhir Juli-awal Agustus 1853, selama tiga hari berturut-turut. Belakangan, acara ini dilakukan juga untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina dan ibunya, Emma.
Pesertanya tidak jauh dari orang kaya saat itu. Selain bupati Bandung dan menak, pengusaha perkebunan teh ikut serta. Tercatat nama-nama semacam AW Holle (pengelola Perkebunan Parakan Salak) dan EJ Kerkhoven (Perkebunan Sinagar).
Kuda yang digunakan beragam, mulai dari lokal hingga Australia. Hadiahnya pun lumayan bergengsi hingga ratusan gulden, bergantung pada kategori lomba.
Baca juga : ”Art Deco”, Tabungan Kenangan di Bandung Merespons Perubahan
Persaingan luar arena
Uniknya, persaingan ternyata tidak hanya ada di pacuan kuda. Bagi orang berduit masa itu, pacuan kuda yang dihadiri ribuan orang itu dianggap tempat tepat memamerkan status hingga harta benda.
Haryoto Kunto dalam Balai Agung di Kota Bandung mengatakan, penonton perempuan biasanya datang mengenakan kebaya Bandung terbaik bermotif penuh warna. Aksesori pemanis seperti emas dan berlian terpasang mengilap. Bagian rambut juga dihiasi secantik mungkin, seperti konde dengan rangkaian bunga.
Lelaki juga tidak kalah genit. Untuk orang tua, biasanya memakai jas dengan sapu tangan di saku hingga topi laken merek Borsalino. Sementara anak muda memakai baju bahan tropical wool, kemeja lengan panjang, hingga topi singkayo.
Beragam kisah pun muncul kemudian. Katanya, ada saja istri yang marah kepada suami karena tidak memiliki pakaian terbaik. Tidak jarang muncul kabar suami yang kepergok selingkuh setelah kepincut lawan jenis di pacuan kuda. ”Ujungnya bisa sampai memicu perceraian,” tulis Kunto.
Masyarakat biasa ikut kecipratan untung. Banyak orang dari berbagai daerah hingga mancanegara datang ke Tegalega. Di sana, mereka sudah ditunggu pedagang, pemilik warung, hingga pemilik toko yang menjajakan dagangan mencari laba besar. Sedikit banyak, acara sebesar ini memberikan keuntungan bagi pencari rezeki. Tidak hanya di Bandung, acara ini menginspirasi gelaran serupa di Sukabumi dan Tasikmalaya.
Akan tetapi, keramaian pacuan kuda Tegalega mulai tidak terdengar di awal abad ke-20. Menurut data yang dihimpun Atep dari koran Java-Bode hingga Preanger-Bode, antara tahun 1853 dan 1899, paling tidak pernah dilakukan 32 kali pacuan kuda. Penyebab di balik tidak setiap tahun ada perlombaan adalah penurunan minat terhadap pacuan kuda. Bisa jadi, alternatif berwisata sudah lebih beragam di abad ke-20 ikut membuat pacuan kuda kehilangan pamornya.
Baca juga : Pesona ”Art Deco” Teman Kota Bandung Melawan Krisis
Kalah pamor
Meski pernah menjadi salah satu ajang besar di Hindia Belanda selama puluhan tahun, pacuan kuda nyatanya belum mampu membuat wajah Bandung berubah. Jalan-jalan utama masih berlumpur. Penerangan umum dengan lentera minyak belum sepenuhnya terpasang. Pedati yang ditarik kerbau masih menjadi sarana transportasi warga.
Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Kunto mengatakan, Bandung yang masih terbelakang membuat citra pengusaha perkebunan teh yang menjadi motor perkembangan Bandung pun tidak spesial. Mereka dianggap orang pegunungan yang udik. Pamornya jauh di bawah pengusaha gula dari Surabaya dan Malang atau tembakau dari Deli.
Salah satu puncak persaingan antarpengusaha perkebunan terjadi tahun 1896. Saat itu, Bandung ditunjuk jadi tuan rumah kongres pengusaha perkebunan gula tahun 1899. Ada rumor, pemilihan Bandung untuk membuat malu pengusaha teh. Saat itu, Bandung diyakini belum siap menjadi tuan rumah acara besar itu.
Tak ingin kehilangan muka, pengelola Kota Bandung, pengusaha, hingga menak Sunda putar otak setelah mendengar kabar itu. Mereka duduk bersama untuk mencari cara membangun Bandung dalam berbagai bidang.
Tak ingin kehilangan muka, pengelola Kota Bandung, pengusaha, hingga menak Sunda putar otak setelah mendengar kabar itu. Mereka duduk bersama untuk mencari cara membangun Bandung dalam berbagai bidang.
Dari sana, disepakati pendirian Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken (Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya) tahun 1898. Di sana bergabung antara lain tuan tanah dari keluarga Soesman, pengusaha perkebunan KAR Bosscha, hingga pemilik rumah makan di Braga dari keluarga Bogerijn. Bupati Bandung RAA Martanagara (1893-1918) juga ikut andil memuluskan rencana pembangunan kota kala itu.
Pariwisata yang dipandang sebagai etalase kota menjadi salah satu fokus kegiatan kelompok ini. Dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942), Achmad Sunjayadi mengatakan, perkumpulan ini sempat menerbitkan buku panduan perjalanan menuju Bandung.
Informasi toko besar, hotel, restoran, hingga stasiun kereta api terpampang di sana. Saat berkeliling Bandung, wisatawan disarankan bepergian menggunakan sado atau delman. Perjalanan luar kota ikut digarap. Kawasan wisata yang bertahan hingga kini ikut dipromosikan, seperti Curug Dago, Lembang, dan Pangalengan.
Akan tetapi, Kunto mengatakan, kiprah perkumpulan itu tidak hanya memajukan wisata. Mereka terlibat dalam perbaikan infrastruktur kota, seperti perbaikan jalan utama dan penggunaan transportasi kereta kuda menggantikan pedati kerbau. Selain itu, ada juga penataan pemakaman, pembuatan rumah mencegah wabah pes, hingga pembangunan Pasar Baru yang kini jadi ikon Bandung dan Indonesia.
Tidak heran saat kongres gula berlangsung, nyaris tidak ada nada miring. Pesta berlangsung meriah lewat permainan musik Ursone bersaudara, perintis peternakan susu di Bandung utara. Warga pun bahagia karena kondisi ragam infrastruktur kota yang awalnya buruk menjadi jauh lebih baik setelahnya. Dari awalnya berpotensi kehilangan muka, solidaritas dan kreativitas orang-orang Bandung tempo dulu berhasil menyumbang jejak peradaban berharga.
Baca juga : Uji Diri Ketangguhan Bandung Kala Pandemi
Reli pegunungan
Seiring waktu, Bandung yang kian cantik makin digemari masyarakat dalam dan luar negeri. Urusan wisata pun digarap lebih serius. Untuk mempromosikan pentingnya kunjungan orang asing, dibentuk Vereeninging Bandoeng Vooruit (Perhimpunan Bandung Maju) tahun 1925. Salah satu pengurusnya adalah SA Reitsma, Wali Kota Bandung periode 1921-1928.
Achmad mengatakan, Bandoeng Vooruit ikut membangun akses jalan mobil menuju Kawah Tangkubanparahu. Dibuka tahun 1928, ada sistem pembayaran seperti tol untuk biaya pemeliharaan jalan. Tahun 1935, Bandoeng Vooruit juga membangun jalan menuju Gunung Papandayan dari Pangalengan.
Obyek wisata gunung api memang menjadi salah satu bahan jualan Bandoeng Vooruit. Sesuai motonya, ”Bezoek Bandoeng! En z’n vulkanen” (Kunjungi Bandung dan gunung berapinya).
Adrenalin ikut dipacu saat mempromosikan wisata Bandung. Salah satu ajang fenomenal adalah reli wisata mobil dan motor Bandoeng Sterrit pada tahun 1941.
Adrenalin ikut dipacu saat mempromosikan wisata Bandung. Salah satu ajang fenomenal adalah reli wisata mobil dan motor ”Bandoeng Sterrit” pada tahun 1941. Peserta datang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Ada 208 peserta dan 43 orang di antaranya menggunakan sepeda motor.
Tata pelaksanaan lomba pun progresif untuk masanya. Peserta bisa memilih tempat start dari kota masing-masing lalu finis di Bandung. Mereka seperti ingin memberikan pengalaman mengemudi dengan Bandung sebagai daerah tujuan akhir.
Tercatat peserta datang dari Semarang, Solo, Yogyakarta, hingga Batavia (Jakarta). Tiba di Bandung, peserta dijamu di Hotel Savoy Homann. Keesokan harinya pergi ke Tangkubaparahu dan menginap di Lembang.
Achmad juga mengatakan, Bandoeng Vooruit punya majalah bulanan untuk promosi bernama Mooi Bandoeng. Tidak sembarangan, majalah ini begitu diminati. Pada tahun 1933, oplah Mooi Bandoeng mencapai 5.000 eksemplar. Penyebarannya di Pulau Jawa hingga Sumatera Selatan.
Dengan promosi dan kreativitas sebesar itu, Bandoeng Vooruit ikut berperan mewarnai masa keemasan Bandung tahun 1920-1940. Saat itu, Bandung menjadi laboratorium arsitektur, pusat mode yang semakin cemerlang, hingga puncaknya dirancang menjadi ibu kota baru menggantikan Batavia.
Dalam buku Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng, Sudarsono Katam mengatakan, ada banyak beragam julukan Bandung pada periode keemasan itu, mulai dari Parijs van Java, The Garden of Allah, hingga Europe in de Tropen.
Akan tetapi, semuanya juga tidak bisa benar-benar terwujud di era ini. Setelah resesi dan Perang Dunia II, Bandung kini sulit menyamai masa keemasan itu. Meski pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika tahun 1955 hingga Kota Kuliner pada tahun 2000-an, nama besar Bandung belum benar-benar semerbak lagi.
Sekarang, di tengah pandemi, wisata di Bandung masih saja lesu. Kini, wisata tidak bisa hanya menjual atraksi utamanya. Wisatawan ikut memperhitungkan protokol kesehatan demi rasa aman. Saat jaminan itu dipenuhi, bersama kerja sama dan kreativitas yang tak mati, wisata dengan mudah bisa menemukan lagi peminatnya.
Baca juga : Mengayuh Kreasi Sepeda Kala Pandemi