Pesona "Art Deco" Teman Kota Bandung Melawan Krisis
Bangunan berarsitektur Art Deco kembali beradaptasi saat pandemi. Keberadaannya ikut menjaga negara menekan wabah berbahaya.
Pesona gedung-gedung berlanggam Art Deco di Kota Bandung, Jawa Barat, menjadi saksi estafet perjuangan warganya melawan krisis. Nafas perjuangan itu terus berembus dari zaman penjajahan, pra kemerdekaan, hingga sekarang saat dunia diguncang pandemi Covid-19.
Gedung De Eerste Nederlandsche-Indische Spaarkas (DENIS) kembali menjadi saksi perjuangan rakyat Bandung menghadapi krisis. Jika 75 tahun lalu gedung dengan menara setinggi 29 meter itu dipanjat para pejuang untuk merobek bendera Belanda, kini genderang perang melawan pandemi Covid-19 ditabuh dengan menggelar vaksinasi massal.
Terletak di persimpangan Jalan Braga dengan Jalan Naripan, Gedung DENIS menjadi salah satu bangunan paling ikonik di pusat “Kota Kembang”. Corak bergelombang menyerupai gulungan ombak menjadi daya pikat bangunan bergaya Art Deco itu.
Gedung tersebut dirancang oleh Albert Frederik Aalbers dan Rijk de Wall yang dibangun pada 1935-1936. Bangunan ini adalah bank simpanan dan hipotek pertama yang didirikan Hindia Belanda. Saat ini difungsikan Kantor Cabang Utama Bank Jabar Banten (BJB).
Letaknya bersebelahan dengan kompleks kantor pusat bank tersebut. Rabu (24/3/2021), salah satu aula di kompleks perkantoran itu menjadi “medan pertempuran” melawan pandemi. Ratusan kursi disusun dengan jarak satu meter untuk menyambut peserta vaksinasi Covid-19.
Beragam ekspresi mewarnai suasana gedung itu. Ada yang tersenyum karena merasa lega sudah divaksin, namun ada juga yang harap-harap cemas menunggu giliran disuntik.
Vaksinasi ini membantu melindungi diri dari Covid-19, namun tetap saja harus menggunakan masker, membawa pembersih tangan, dan selalu bebersih sebelum berkumpul bersama keluarga
Salah satu pesertanya adalah Marsha (29), warga Kecamatan Regol, Kota Bandung. Langit mendung menyambutnya saat melangkah keluar dari aula itu bersama rekan-rekannya. Namun, langkahnya membawa harapan cerah untuk memutus rantai penularan Covid-19.
Sudah setahun pegawai BJB itu bekerja dengan keterbatasan selama pandemi Covid-19. Serangan virus korona baru mengganas sehingga memaksa aktivitas warga, termasuk bidang perbankan, dibatasi.
“Saya memang bekerja di bagian back office. Tetapi, dalam sehari bisa bertemu satu-dua orang dari luar kantor. Vaksinasi ini membantu melindungi diri dari Covid-19, namun tetap saja harus menggunakan masker, membawa pembersih tangan, dan selalu bebersih sebelum berkumpul bersama keluarga,” ujar Marsha.
Kedisiplinannya menerapkan protokol kesehatan meskipun sudah divaksin bukannya tanpa alasan. Pandemi Covid-19 belum terkendali. Ancaman penularannya masih tinggi.
Baca juga : Jejak Mode di Kota Penuh Warna dan Gaya
Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat atau Pikobar mencatat, jumlah kasus Covid-19 di Kota Bandung, hingga Rabu (24/3), mencapai 15.491 orang. Dari jumlah ini, 2.209 pasien di antaranya masih dalam perawatan dan sebanyak 89 pasien meninggal dunia.
Pikobar, sebagai markas besar penanganan Covid-19 di Jabar juga berada di Gedung Sate, bangunan megah yang dibuat periode 1920-1924, saat Art Deco sedang bersemi di Bandung.
Vaksinasi yang berlangsung dari pagi hingga sore tersebut menyasar 3.300 pegawai BJB. Selain itu, 1.200-an pegawai perangkat daerah dan warga sekitar juga ikut divaksin.
Sekretaris Perusahaan BJB Widi Hartoto menuturkan, vaksinasi bertujuan untuk menekan penularan Covid-19, terutama di bidang perbankan yang tetap beroperasi selama pandemi. Dengan begitu, roda perbankan tetap berputar untuk melayani masyarakat.
Lebih dari tujuh dasawarsa silam, semangat meraih kebebasan juga bergelora dari bangunan ini. Ketika itu, Gedung DENIS menjadi bank simpanan dan hipotek pertama yang didirikan Hindia Belanda untuk melayani ekspor komoditas perkebunan dari Priangan.
Pada 18 Agustus 1945, satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, bendera Belanda di salah satu puncak gedung DENIS dirobek oleh dua pejuang, yaitu Mohammad Endang Karmas dan Moeljono. Sobekannya menyisakan warna merah dan putih yang berkibar di langit Kota Bandung.
Kibaran “Merah Putih” mengobarkan semangat perlawanan. Sebab, pasca kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Belanda pun ingin menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia, karena sebelumnya Hindia Belanda direbut Jepang di awal perang.
Mari bung lawan pandemi. Kita jalankan strategi yang dirancang pemerintah untuk melawan Covid-19. Kita tampilkan kembali marwah Kota Bandung yang menjadi inspirasi. Dengan semangat Bandung Lautan Api, bumihanguskan Covid-19 sehingga kehidupan menjadi normal dengan kebiasaan baru
Tak rela dijajah kembali, warga Bandung melawan. Puncaknya, gelora semangat perlawanan itu diwujudkan menjadi kobaran api yang membakar sebagian Kota Bandung pada 24 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai Bandung Lautan Api.
Semangat itu kembali digaungkan oleh Wali Kota Bandung Oded M Danial untuk memerangi pandemi. Dalam upacara Peringatan Bandung Lautan Api yang ke-75, dia mengajak masyarakat tetap konsisten menjaga protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.
“Mari bung lawan pandemi. Kita jalankan strategi yang dirancang pemerintah untuk melawan Covid-19. Kita tampilkan kembali marwah Kota Bandung yang menjadi inspirasi. Dengan semangat Bandung Lautan Api, bumihanguskan Covid-19 sehingga kehidupan menjadi normal dengan kebiasaan baru,” ujarnya.
Gedung DENIS tak berjuang sendiri. Sejumlah bangunan bergaya Art Deco lainnya juga ikut berkontribusi meredam pandemi.
Gedung Bio Farma, BUMN bidang farmasi, di Jalan Pasteur, misalnya, menjadi rumah berjuta-juta dosis vaksin Covid-19. Meskipun proses produksi dilakukan di gedung lain, tapi bangunan yang dirancang arsitek Belanda, CP Wolff Schoekamer, pada 1926 sering menggelar pertemuan penting mengenai pendistribusian vaksin ke seluruh penjuru Nusantara.
Semula, bangunan ini digunakan oleh Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur, produsen vaksin dan sera pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Kini, vaksin Covid-19 sebagai peluru memerangi pandemi juga diproduksi dan disimpan di tempat itu.
Hingga Kamis (25/3/2021), Bio Farma telah menerima 53,5 juta dosis bulk atau bahan baku vaksin Covid-19 dari Sinovac, China. Mulai 13 januari, bulk vaksin itu diproduksi secara bertahap dan diproyeksikan menghasilkan sekitar 43 juta dosis vaksin jadi.
Gedung Merdeka, bangunan Art Deco lainnya, di Jalan Asia Afrika, juga menjadi petilasan perjuangan melawan krisis di Bandung. Bangunan yang awalnya bernama Societeit Concordia ini direnovasi oleh CP Wolff Schoekamer dan Van Galen pada 1926.
Dekorasi bagian luar bangunan menonjolkan gaya Art Deco dengan didominasi jendela-jendela vertikal. Dalam buku “Mystery of Art Deco Bandoeng” karya Djefry W Dana (2020) disebutkan, bangunan ini menggunakan kubus simetris dan ornamen geometris pada kolom dan dinding.
Harmonisasi bangunan ini tercapai lewat bukaan jendela transparan serta proporsi dekorasi komponen lainnya. Untuk lebih mengedepankan sisi tiga dimensi, bagian depan dan pedimen dilengkapi dengan ornamen horizontal. Desainnya telah menghilangkan kekakuan dan menawarkan keanggunan.
Baca juga : Uji Diri Ketangguhan Bandung Kala Pandemi
Pada 1955, Gedung Merdeka menggelar Konferensi Asia Afrika yang diikuti perwakilan 29 negara. Pertemuan ini melahirkan gagasan dan gerakan untuk melawan krisis akibat kolonialisme. Setelah 66 tahun berlalu, Gedung Merdeka masih dipakai untuk kegiatan politik dan pemerintahan. Namun, pandemi memaksa pemanfaatan gedung ini disesuaikan dengan pembatasan interaksi.
Akhir Februari lalu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil melantik lima pasangan kepala daerah terpilih pada Pilkada 2020 di Gedung Merdeka. Jumlah undangan sangat terbatas. Kamil berpesan kepala daerah itu untuk sekuat tenaga menekan penyebaran Covid-19 di daerahnya.
Cara pelestariannya ada tiga aspek, perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Jadi, harus dipakai dan dirawat sehingga finansialnya bisa membiayai kebutuhan bangunan
Ratusan bangunan Art Deco di Kota Bandung bukan sekadar koleksi. Bangunan-bangunan itu terus menghadirkan fungsi penting, bahkan pada situasi sulit seperti pandemi.
Aji Bimarsono, Ketua Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau yang dikenal sebagai Bandung Heritage, menyebutkan, Bandung merupakan salah satu kota dengan bangunan Art Deco terbanyak di dunia. Ini menjadi pesona tersendiri yang tidak banyak dimiliki kota-kota lain.
Art Deco merupakan gaya hias atau seni dekorasi, termasuk arsitektur, yang muncul di Eropa setelah Perang Dunia I. “Ada ekspresi keriangan sehabis perang sebagai respons atas masalah yang terjadi. Namun, ada juga respons natural yang menjadi inspirasi dan kreativitasnya keluar begitu saja,” ujarnya.
Kekayaan Art Deco telah menjadi identitas tersendiri bagi Kota Bandung yang masuk dalam Jejaring Kota Kreatif UNESCO pada 2015. Hal ini juga menjadi daya pikat untuk menarik wisatawan.
“Cara pelestariannya ada tiga aspek, perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Jadi, harus dipakai dan dirawat sehingga finansialnya bisa membiayai kebutuhan bangunan,” ujarnya.
Lebih dari satu abad berlalu, pesona bangunan-bangunan Art Deco di Bandung masih mengundang decak kagum. Kehadirannya ikut menemani perjalanan kota ini melewati berbagai krisis. Pesona itu harus terus dijaga dengan melestarikan bangunan-bangunannya dan merawat nilai sejarahnya.
Baca juga : Hidupkan Embusan Kepedulian di Masa Pandemi