Berdiri sejak 210 tahun lalu, Kota Bandung, Jawa Barat, jatuh bangun dihantam krisis kesehatan, ekonomi, hingga perang. Kini, ketangguhan itu kembali diuji saat pandemi Covid-19 menyerang beragam lini kehidupan.
Berdiri 210 tahun lalu, Kota Bandung, Jawa Barat, jatuh bangun dihantam krisis kesehatan, ekonomi, hingga perang. Kini, ketangguhan itu kembali diuji saat pandemi Covid-19 menggerogoti beragam lini kehidupan.
Paralon bertingkat ditanami pakcoy di halaman Jodirexa Building di Arcamanik, Bandung, Kamis (24/9/2020). Halaman yang dulu tempat parkir mobil biro perjalanan itu jadi lahan pertanian hidroponik.
Di sana, Theodorus Primaxylxla Jodimarlo (24) menyusun keping kecil kiprah barunya. Dari biro perjalanan, ia banting setir jualan jus pakcoy dibantu delapan pengemudi travelnya.
”Bisnis travel anjlok selama pandemi,” katanya.
Bisnis biro perjalanan Jodi tak kecil. Mulai buka bisnis sendiri tahun 2019, omzetnya Rp 100 juta-Rp 200 juta per bulan. Sejak pandemi Covid-19, Maret 2020, omzetnya tinggal Rp 10 juta-Rp 30 juta per bulan. Namun, ia tegar.
Bersama ayahnya, Joseph Sugeng Irianto (52), sejak April mereka memanfaatkan halaman parkir itu. Semula, pakcoy dijual berupa sayuran. Mulai Juli, pakcoy diolah jadi jus.
”Anak muda selalu punya kreativitas. Mereka perlu didukung agar semakin bersemangat,” ujar Joseph.
Sebotol jus pakcoy kemasan 350 mililiter dijual Rp 15.000. Sebulan laku 120-200 botol. Jodi sadar, penjualan jus tidak sebanding bisnis travel. Namun, membangun rasa percaya diri saat pandemi.
”Kuncinya, tetap produktif. Tidak mudah, tapi pasti ada cara,” ucapnya.
Jodi tak ingin sekedar cari rupiah. Ketangguhannya menyisipkan kepedulian menembus perbedaan. Setiap Jumat, Jodi dan Joseph yang Katolik, membagi puluhan jus pakcoy bagi warga seusai shalat Jumat. Tujuannya, banyak orang tetap sehat kala pandemi.
Tetap sehat sangat dibutuhkan. Covid-19 belum terkendali di Kota Bandung. Dua pekan lalu angka reproduksinya 0,81. Naik jadi 1,22 pada Jumat (25/9/2020). Tercatat 1.470 kasus positif di Kota Bandung. Sebanyak 671 diisolasi, 686 sembuh, dan 50 meninggal.
Kondisi ini jelas tak mudah. Namun, ini saat tepat Bandung kembali membuktikan diri. Sejak berdiri 25 September 1810, Bandung dibangun lewat energi penghuninya. Dari awalnya hanya desa kecil di pegunungan menjadi kota disegani.
Sejarah mencatat Vereeninging tot nut van Bandoeng en Omstreken (Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya) yang berdiri 1898. Motornya Asisten Residen Peter Sijthof didukung pengusaha Eropa dan Bupati Bandung RAA Martanegara.
Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto menulis, sumbangan mereka banyak. Jalan tanah dan trotoar bambu diganti batu. Drainase diperbaiki. Martanegara ikut mendorong warganya hidup sehat.
Salah satunya, promosi genteng mengganti alang-alang sebagai atap rumah. Tujuannya, udara bersih dan mencegah penularan pandemi pes saat itu. Pemakaman dan fasilitas kesehatan diperbanyak.
Saat jaminan kesehatan terpenuhi, promosi ekonomi Bandung bisa lebih leluasa. Dalam buku Braga: Jantung Parijs van Java, Ridwan Hutagalung menulis, ada keluarga Hellermann, ”raja” ragam kebutuhan orang Eropa. Ada keluarga Bogerijen dengan restoran Maison Bogerijen (kini dikenal Braga Permai) yang masih jadi ikon.
Puncaknya, Bandung jadi ibu kota Hindia Belanda awal 1920-an. Bandung yang sehat dianggap lebih layak huni ketimbang Batavia yang kerap dihajar wabah. Namun, resesi dunia tahun 1930-an dan Perang Dunia II membuat hanya sebagian infrastruktur dirampungkan. Salah satunya Departement Verkeer en Waterstaat, yang kini disebut Gedung Sate.
Tak hanya itu, buntut perang dunia terasa lewat peristiwa Bandung Lautan Api. Menolak terus dijajah, 24 Maret 1946, Bandung dibumihanguskan tentara dan rakyat. Kisah itu menginspirasi Ismail Marzuki mencipta lagu, salah satunya ”Halo-Halo Bandung” (Kompas, 24 Maret 2006).
Pengorbanan urang Bandung tidak sia-sia. Sembilan tahun kemudian, Bandung bangkit lewat Konferensi Asia Afrika (KAA). Tahun 1955, lebih dari 300 delegasi dari 29 negara hadir. KAA juga menyeru sikap menolak penjajahan. Banyak negara peserta merdeka pasca-pertemuan ini.
Kini, 65 tahun setelah KAA, pandemi datang menguji. Bandung kembali jadi contoh, tuan rumah uji uji klinis calon vaksin Covid-19 produksi Sinovac. Dari kebutuhan 1.620 relawan, 2.500 warga Bandung mendaftar. Mereka siap menjaga nyawa warga dunia.
Menunggu vaksin siap, warga tak mau pasif. Imam Sumantri (45), warga RW 009 Kelurahan Lingkar Selatan, Kecamatan Lengkong, misalnya, sadar dampak panjang pandemi. Berbekal layanan internet langganan, ia ajak anak-anak sekitar rumahnya mengakses pembelajaran jarak jauh. Dengan biaya pribadi Rp 700.000 per bulan, puluhan anak gratis akses internet.
Pemerintah Kota Bandung mengapresiasi kiprah Imam. RW 009 diresmikan sebagai Lembur Tohaga Lodaya, program lingkungan tingkat RW yang mandiri menghadapi Covid-19. Kini, ada 123 lokasi.
Akan tetapi, upaya bangkit tak selamanya mulus. Di pasar, taman, angkutan kota, dan kafe, banyak warga tanpa masker.
Kebijakan Pemkot Bandung menutup lima ruas jalan utama pada jam tertentu belum efektif membatasi aktivitas warga. ”Covid-19 masih ada. Jangan lengah,” kata Wali Kota Bandung Oded M Danial.
Waktu membawa bukti. Bahagia tak muncul tiba-tiba. Lebih dari dua abad, Kota Bandung ingin terus menginspirasi, termasuk di lahan hidroponik bekas parkir mobil.