Mengayuh Kreasi Sepeda Kala Pandemi
Fenomena bersepeda di Kota Bandung, Jawa Barat, tetap menggeliat di kala pandemi Covid-19. Hobi ini masih mampu menyedot puluhan hingga ratusan juta rupiah para pelakunya.
Fenomena bersepeda di Kota Bandung, Jawa Barat, tetap menggeliat di kala pandemi Covid-19. Hobi ini masih mampu menyedot puluhan hingga ratusan juta rupiah para pelakunya. Kreasi, kepuasan diri, investasi, dan promosi setelah pandemi bisa menjadi semangat saat mengayuh pedal di mana saja.
Sinar matahari yang menyengat tidak mengendurkan aktivitas di bengkel Deddy Bike di Jalan Naripan, Kota Bandung, Rabu (1/7/2020). Deddy (44), pemilik bengkel, mondar-mandir menyusun sepeda yang telah diperbaiki dan dirakit. Dua pekerja lainnya sibuk berkutat dengan sepeda di hadapan mereka masing-masing.
Terlihat biasa bagi awam, sepeda abu-abu yang tengah diulik Deddy punya nilai luar biasa. ”Sepeda ini, kalau ditotal, bisa lebih dari Rp 100 juta. Frame (rangka) saja bisa Rp 70 juta-an. Lebih mahal dari harga motor, kan,” tuturnya sambil tertawa lepas.
Bahannya karbon. Ringan tetapi kuat. Semua sesuai spesifikasi dan kegunaan.
Dengan harga itu, tidak hanya motor. Bahkan, mobil keluaran tahun tertentu juga bukan tandingannya.
Rangka sepeda itu berbahan karbon dengan spesifikasi AM (all mountain). Artinya, sepeda bisa digunakan untuk bersepeda ekstrem, seperti di jalan berbatu hingga mulus untuk menuruni perbukitan terjal. Bahkan, suspensi depan dari sepeda ini diklaim bisa menahan beban sepeda saat jatuh hingga lebih dari 5 meter.
”Bahannya karbon. Ringan tetapi kuat. Semua sesuai spesifikasi dan kegunaan. Kalau bukan sepeda AM dibawa downhill (turun bukit), ya, pasti rusak,” paparnya.
Lihat juga: Demam Sepeda Dongkrak Penjualan dan Harga
Ia menjelaskan panjang lebar tentang spesifikasi sepeda. Namun, matanya tetap fokus pada sepeda itu.
Deddy tak melulu menangani sepeda segala medan. Dia juga melayani permintaan merakit sepeda lipat untuk pemakaian sehari-hari yang harganya lebih rendah ketimbang spesifikasi AM. Sore itu ada beberapa sepeda lipat menunggu dirakit Deddy dan anak buahnya.
Deddy mengakui, permintaan untuk merakit sepeda meningkat pada semua jenis, setidaknya dalam sebulan terakhir. Pemesanan perakitan sepeda di bengkelnya naik hingga tiga kali lipat. Orang-orang rela mengantre hingga tiga minggu agar sepedanya dirakit Deddy.
”Sekarang, saat pandemi, permintaan merakit sepeda bisa 5-10 sepeda per hari. Kalau dulu, pesanan rakitan sepeda paling-paling 1-2 per hari. Kalau biaya perakitan semuanya sama, kisaran Rp 100.000-Rp 250.000 sekali rakit. Tetapi, karena sekarang banyak pesanan, antrean merakit sepeda bisa sampai seminggu untuk satu sepeda,” ujarnya.
Harga berlipat
Peningkatan itu turut berdampak pada meroketnya harga suku cadang sepeda. Suku cadang sepeda, seperti frame, gear set, ban, dan sadel, memiliki harga bervariasi sesuai merek dan spesifikasinya. Bahkan, asal produk pun bisa menentukan perbedaan harga suku cadang. Tidak jarang perbedaan harga yang berlipat bisa terlihat dalam satu jenis suku cadang yang berasal dari negara yang berbeda.
Jadi saya cari yang kualitasnya bagus, tetapi harganya tidak selangit.
Helmy (29), salah satu pelanggan yang merakit sepeda di Deddy Bike, memilih membeli frame sepeda lipat impor dari Taiwan karena menganggap sepeda adalah investasi. Karena itu, dia rela merogok kocek sampai Rp 17 juta untuk mendatangkannya ke Indonesia. Padahal, untuk sepeda dengan jenis yang sama, harga tersebut bisa untuk membeli 3-5 sepeda merek lokal. Namun, angka Rp 17 juta itu memang belum setengah dari harga Brompton, sepeda lipat dari Inggris.
”Kalau beli sepeda lokal, saya kurang yakin dengan kualitasnya, apakah bisa bertahan lama atau tidak. Kalau beli Brompton, harganya terlalu tinggi. Jadi, saya cari yang kualitasnya bagus, tetapi harganya tidak selangit,” tuturnya.
Baca juga: Sepeda, Produk Favorit di Masa Pandemi
Tingginya harga yang menandakan kualitas sepeda bisa menjadi nilai investasi di kemudian hari. ”Kemauan konsumen mendapatkan sepeda terbaik untuk investasi ini juga membantu saya untuk berkreasi,” katanya.
Kreativitas tanpa batas para penggila sepeda juga membuat Oki Purwanugraha (44) dan kawan-kawannya leluasa saat merancang dan memproduksi ”Purbull”. Merek sepeda listrik dengan desain unik itu memiliki rangka dan ban lebih kekar ketimbang produk serupa.
Menurut Oki, Purbull dirancang sejak akhir tahun 2019. Awalnya, ia dan kawan-kawannya ingin merancang sepeda yang membantu orang-orang mewujudkan kampanye bike to work sehingga hemat energi fosil. Namun, konsepnya berkembang di tengah jalan.
”Tidak semua orang mau berkeringat sebelum bekerja. Ada juga yang tidak mau repot berganti kostum dari pakaian bersepeda ke pakaian kerja,” ujarnya.
Baca juga: Rezeki dari Meningkatnya Animo Bersepeda
Oleh karena itu, Oki bersama lima rekannya merancang sepeda listrik yang bisa digunakan di medan perkotaan. Tujuannya agar pengguna tidak perlu lelah berkeringat untuk mencapai tujuan.
Untuk mendapatkan sepeda ini, dibutuhkan biaya hingga Rp 35 juta. Tidak murah, tetapi bagi penghobi, uang seharusnya bukan masalah. Liman Rabani (38), teknisi Purbull, memaparkan, biaya itu meliputi harga motor listrik, ban impor, dan baterai rancangan sendiri.
Moch Iqbal (43), bagian pemasaran Purbull, menambahkan, pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk memasyarakatkan sepeda listrik. Apalagi sepeda bergaya fatbike yang identik dengan ban lebar ini menarik perhatian.
”Sepeda ini bisa menjadi alternatif warga yang ingin bersepeda, tetapi tidak mau berkeringat lebih. Bulan ini, menurut rencana, akan diperkenalkan satu unit yang kami beri nama Tuaraes. Bentuknya bakal jadi kejutan,” ujarnya.
Dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda (1891-1942) yang ditulis Achmad Sunjayadi, saat pertama kali masuk Nusantara, sepeda adalah barang sangat berharga. Butuh perjalanan panjang mendatangkannya dari Eropa. Pemiliknya jelas bukan sembarangan orang.
Sunjayadi mengatakan, ada versi sejarah yang mengatakan bahwa sepeda mulai diperkenalkan di Nusantara tahun 1890-an.
Baca juga: Sepeda Seharga Puluhan Juta hingga yang Bekas Kini Laris Manis
Hobi ini berkembang luas di kalangan orang Eropa. Salah satu yang terekam sejarah adalah keberadaan Nederlandsch Indische Wielrijders-Bond (NIWB) atau Perkumpulan Sepeda Hindia-Belanda. Organisasi ini berdiri 1 Januari 1893. Kedekatan dengan negeri Belanda, yang dianggap sebagai salah satu empunya sepeda, membuat teknologi ini berkembang di Hindia Belanda.
Dalam surat kabar The Strait Independet and Penang Chronicle tahun 1894, disebutkan, sepeda dimiliki seorang Eropa yang bekerja di perusahaan tembakau di Asahan, Sumatera Utara. Wajar, tak sembarangan orang bisa membeli barang-barang yang dibuat di luar negeri. Dalam satu foto di buku karya Sunjayadi diperlihatkan sejumlah pangeran di Pontianak berpose dengan sepeda masing- masing. Diperkirakan foto itu diambil tahun 1890-an.
Selain organisasi yang diisi orang Eropa, ada juga perhimpunan sepeda yang didirikan orang Tionghoa, Chineese Wielrijders-Bond, di Batavia tahun 1898. Perhimpunan itu berdiri untuk mempererat persahabatan dan saling membantu anggota yang mengalami kecelakaan di jalan.
Orang Eropa dan pribumi bisa juga bergabung dalam kelompok ini. Agen sepeda yang bermitra dengan kelompok ini disebutkan ada di Buitenzorg, Sukabumi, serta di Bandung. Tujuannya, bisa jadi untuk mencari beragam suku cadang terbaik untuk sepedanya masing-masing.
Kegiatan NIWB dan perkumpulan lainnya lambat laun berkembang pesat. Tidak hanya berolahraga, mereka juga gemar melakukan perjalanan ke beberapa tempat saat akhir pekan. Kegiatan itu disebutkan sebagai awal promosi dan kegiatan wisata di Hindia Belanda.
Pelopor wisata
Ketua Umum Gowes Baraya Bandung (GBB) Anggana Nugraha mengatakan, pesepeda yang kreatif bisa kembali menjadi pelopor wisata pada era pandemi. Tidak hanya menyehatkan tubuh, pesepeda juga bisa ikut mempromosikan cara berwisata sehat dengan sepedanya sendiri. Namun, saat pandemi Covid-19, syarat bersepeda seharusnya lebih ketat.
”Kalau sebelum pandemi wajib memakai helm, sepatu, dan sarung tangan, saat ini ditambah masker dan membawa hand sanitizer. Jaga jarak minimal 1 meter. Selain itu, kebiasaan nongkrong saat atau setelah bersepeda harus ditinggalkan,” ujarnya yang mengakui masih ada pesepeda yang belum disiplin menerapkan hal itu.
Kreasi sepeda ini menunjukkan respons kreatif warga Bandung menyambut kembali tren bersepeda. Apa pun bentuk, berapa harga, dan tujuannya, bersepeda adalah hak yang tidak sulit diperdebatkan. Namun, saat pandemi Covid-19, hati-hati menjaga kesehatan diri, tetap harus jadi yang utama.