Ikhtiar Menangkap ”Semburan” Ekonomi dari Lumpur Sidoarjo
Di balik bencana semburan lumpur Sidoarjo yang berlangsung 15 tahun, tersimpan potensi sumber daya yang diyakini menjawab tantangan industri masa kini. Penggalian potensi dilakukan untuk memantik ”semburan” ekonomi.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Asap putih mengepul di tengah hamparan lumpur panas, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Sabtu (29/5/2021). Sejauh mata memandang, yang tampak di sekitar pusat semburan yang muncul pertama kali 29 Mei 2006 itu hanya gumpalan lumpur hitam. Material itu terjebak di kubangan besar mirip danau raksasa.
Danau yang dikelilingi tanggul setinggi 5-12 meter dengan lebar 5-10 meter tersebut membentang dari Kecamatan Tanggulangin, Porong, hingga Jabon. Meski kini luas danau mencapai 632 hektar (ha), kondisinya tak berdaya menampung lumpur yang dimuntahkan setiap hari. Lumpur pun akhirnya dialirkan ke Sungai Porong yang bermuara di Selat Madura.
Berdasar laman www.sda.pu.go.id volume semburan lumpur berkisar 100.000-120.000 meter kubik per hari, 60 persen kental dan 40 persennya air. Temperatur di pusat semburan 100 derajat celsius. Pengukuran pada 2017 menunjukkan volume semburan 86.270 meter kubik per hari, dengan sifat semburan fluktuatif.
Jika dihitung lebih detail, volume lumpur yang keluar 51.762 meter kubik dengan asumsi 60 persen dari 86.270 meter kubik volume total semburan per hari. Volume lumpur itu tak bisa diremehkan karena setara dengan 6.470 truk per hari dengan kapasitas 8 ton. Volume lumpur total mencapai 18,9 juta meter kubik dalam setahun dan 283,3 juta meter kubik dalam 15 tahun.
Jutaan material lumpur itu menghasilkan danau lumpur seluas 632 ha. Pembuangan lumpur ke Sungai Porong sejak 2006 itu juga menghasilkan Pulau Lusi (Lumpur Sidoarjo) seluas sekitar 100 hektar di muara Selat Madura. Sisanya, mengendap di dasar Sungai Porong dan menyebabkan pendangkalan.
Beragam daya dikerahkan mengelola lumpur agar tak menimbulkan bencana lebih besar. Sebaliknya, muntahan lumpur itu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang mampu menggenjot perekonomian masyarakat sekitarnya.
Daya terbaru dikerahkan meneliti kandungan mineral ekonomis pada material lumpur yang difokuskan pada unsur lithium dan stronsium. Kedua unsur ini menjadi komoditas strategis dalam pengembangan industri mutakhir, seperti industri baterai listrik, dan industri pertahanan.
Lithium dan stronsium dibutuhkan dalam pengembangan industri energi bersih atau energi baru terbarukan. Beragam sumber energi bersih, seperti listrik bertenaga surya, mikrohidro, dan turbin bertenaga angin, memerlukan tempat penyimpanan energi berupa baterai listrik. Demikian halnya dengan industri mobil listrik.
Ada dua jenis baterai listrik yang banyak dipakai, yakni Lithium-ion (Li-ion) dan Nickel Metal Hydride (NiMH). Baterai Li-ion menggunakan unsur logam lithium dan kobalt sebagai elektroda, sedangkan NiMH memanfaatkan unsur nikel.
Kepala Bidang Mineral Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (PSDMBP) Badan Geologi Kementerian ESDM Moehamad Awaludin dalam Webinar ”Potensi LTJ dalam Semburan Lumpur Lapindo” yang digelar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) mengatakan, studi karakteristik mineral sampel lumpur dari Lapindo Brantas Inc yang dilakukan Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) pada 2018 menunjukkan kadar lithium yang cukup potensial.
”Potensi Stronsium (Sr) sebesar 500 ppm (part per million) dan Lithium (Li) sebesar 125 ppm ditemukan pada sampel lumpur. Kadar mineral itu signifikan dan memiliki nilai keekonomian tinggi dalam kegiatan penambangan,” ujar Awaludin.
Lumpur Sidoarjo dikaji karena, selain potensi lithiumnya besar, ketersediaan sumber material mentahnya juga berlimpah. Material bisa didapat dengan mudah, tanpa perlu menambang. Di sisi lain, optimalisasi pemanfaatan lumpur bisa memitigasi potensi bencana.
Stronsium dimanfaatkan sebagai bahan baku industri elektronik dan industri komponen mesin (magnet) energi baru terbarukan. Untuk mengevaluasi kandungan stronsium dan lithium, Badan Geologi dan Puslitbang Tekmira mengebor 30 titik di dekat pusat semburan lumpur pada November 2020. Jarak antartitik pengeboran 250 meter dengan kedalaman masing-masing titik pengeboran 5-9 meter.
Namun, karena keterbatasan waktu, hanya beberapa titik yang diambil sampelnya untuk diteliti. Hasil penelitian menunjukkan, lumpur Sidoarjo mengandung Li dengan kadar 99,26-280,46 ppm dan stronsium dengan kadar 255,44-650,49 ppm.
”Kandungan unsur Li dan Sr tersebut tergolong tinggi dibandingkan kelimpahan unsur di kerak bumi. Artinya, potensi ekonominya besar, mengingat tidak perlu eksplorasi (penambangan). Namun, perlu diperhitungkan biaya ekstraksinya,” kata Awaludin.
Puslitbang Tekmira pada Februari ini sudah mengambil sampel lumpur untuk meneliti teknologi ekstraksi lithiumnya. Meski demikian, Awaludin menegaskan data potensi lithium dan stronsium lumpur Sidoarjo yang dia paparkan bersifat penyidikan umum. Perlu penelitian lanjutan agar data lebih akurat.
Penelitian kandungan mineral tidak hanya dilakukan pada sampel lumpur. Peneliti dari Departemen Teknik Material dan Metalurgi ITS Lukman Noerochim mengatakan, penelitan serupa telah dilakukan dengan sampel air semburan. Salah satunya oleh peneliti Jepang, Wataru Tanikawa, pada 2011. Dia menemukan kandungan lithium pada air semburan lumpur sebesar 5-6 ppm (mg/liter).
”Hasil penelitian ITS dengan sampel air lumpur yang diambil dari saluran di dekat kolam penampungan, beberapa tahun lalu, juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wataru,” ucap Lukman.
Dengan asumsi kandungan lithium 5 ppm (mg/liter) dan debit material semburan lumpur sebesar 10.000 meter kubik per hari, potensi lithium yang dihasilkan mencapai 50 kilogram per hari atau 18.000 kg per tahun. Menurut Lukman, kadar lithium dalam air lumpur memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan sehingga layak ditindaklanjuti.
Berdasarkan catatan Kompas, penelitian kandungan mineral lumpur pernah dilakukan 2007 silam oleh Pusat Sumber Daya Geologi melalui kegiatan Penelitian Endapan Lumpur di Daerah Porong, Sidoarjo. Penelitian berlangsung Maret dan November dengan fokus mengetahui kandungan logam emas, aluminium, dan tembaga.
Namun, hasilnya, tidak ditemukan kadar emas, aluminium, dan tembaga dengan besaran signifikan dalam lumpur sehingga tidak layak dieksplorasi. Rekomendasi saat itu, lumpur dapat dijadikan komoditas tambang sebagai bahan baku produksi tembikar atau keramik, bata, dan genteng.
Upaya menggali ”semburan” ekonomi juga ditempuh Pemkab Sidoarjo dengan mempromosikan Geowisata Pusat Semburan Lumpur di Porong dan Wisata Hutan Mangrove Pulau Lusi di muara Selat Madura. Hasilnya, Pulau Lusi dinobatkan sebagai destinasi ekowisata terpopuler peringkat kedua di Indonesia 2019 oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kunjungan wisatawan ke Pulau Lusi di akhir pekan atau saat liburan bisa menembus 1.000 orang per hari. Saat pandemi, kunjungan wisatawan tetap tinggi, 700 orang per hari di akhir pekan. Tingginya minat wisatawan ini merupakan modal besar mengembangkan destinasi wisata yang berimplikasi pada roda ekonomi masyarakat sekitar.
”Konsep geowisata dan ekowisata dipilih agar kepentingan ekonomi sejalan dengan upaya konservasi dan edukasi tanpa meninggalkan kearifan lokal,” ujar Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Sidoarjo Djoko Supriyadi.
Upaya menggali potensi ekonomi pada lumpur Sidoarjo selayaknya terus dilakukan, tetapi tetap berdasar kajian mendalam, komprehensif, dan melibatkan berbagai pihak. Hal itu agar ikhtiar mencari ”semburan” ekonomi seiring sejalan dengan upaya memitigasi risiko bencananya.