Pengembangan Destinasi Wisata Pulau Lusi Terkendala Hak Pengelolaan Lahan
Pengembangan destinasi wisata Pulau Lusi, Sidoarjo, Jatim, stagnan karena dampak realokasi anggaran akibat pandemi Covid-19 dan masalah hak pengelolaan lahan yang tak kunjung terselesaikan selama tiga tahun belakangan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Pengembangan destinasi wisata Pulau Lusi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, stagnan. Selain dampak realokasi anggaran yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, rencana pengembangan terhambat masalah hak pengelolaan lahan yang tak kunjung terselesaikan selama tiga tahun belakangan.
Obyek wisata Pulau Lusi berlokasi di muara Sungai Porong dan berimpitan dengan Pulau Sarinah yang merupakan kawasan konservasi mangrove di Sidoarjo. Pulau Lusi sebenarnya merupakan perluasan dari Pulau Sarinah. Berbeda dengan Sarinah yang merupakan pulau asli, Lusi adalah pulau buatan.
Pulau yang dibuat dengan konstruksi jetty ini sejatinya merupakan tempat penampungan material yang keluar dari semburan lumpur Lapindo di Kecamatan Porong sejak 2006.
Material lumpur yang dibuang ke Sungai Porong mengendap di muara Selat Madura. Endapan itu kemudian dikeruk dan ditumpuk menjadi pulau dengan luasan saat ini mencapai 100 hektar.
Warga berharap persoalan hak pengelolaan lahan segera diselesaikan agar tidak berlarut-larut. Sesama institusi pemerintah seharusnya bisa duduk bersama demi kepentingan yang lebih besar.
Koordinator Jawa Timur Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, Kiki Riski Arisandi, mengatakan, Pulau Lusi saat ini dalam pengelolaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut rencana, pulau ini dikembangkan sebagai wisata edukasi Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove (PRPM).
”Masterplan pengembangan wisata Pulau Lusi ini sudah disusun, tinggal diimplementasikan. Pengelola juga telah membuat zonasi seperti zona taman utama, taman mangrove, wanamina, botanik, taman lumpur, dan perairan buatan,” ujar Kiki di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo, Kamis (11/5/2020).
Komitmen
Kiki mengatakan, pihaknya berkomitmen kuat mengembangkan Pulau Lusi, tetapi hal itu terkendala masalah hak pengelolaan lahan yang belum jelas. Pulau Lusi dulu dikelola oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai bagian dari program penanggulangan semburan.
Setelah BPLS dibubarkan oleh pemerintah, pengelolaan pulau Lusi diserahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan. Salah satu wujud komitmen KKP adalah dengan dibangunnya sebuah dermaga di pulau tersebut dan sebuah dermaga di Dusun Tlocor, Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon. Dermaga ini menjadi akses bagi pengunjung atau wisatawan yang ingin berwisata ke Pulau Lusi.
KKP juga telah menyiapkan pembangunan fasilitas pendukung lainnya, seperti jaringan listrik, toilet, dan tempat istirahat bagi pengunjung. Namun, pembangunan fasilitas itu butuh penganggaran dan untuk mengalokasikan dana diperlukan legalitas atas hak pengelolaan lahan.
Kiki menambahkan, pihaknya telah mengurus legalitas hak pengelolaan lahan itu ke Badan Pertanahan Negara (BPN) Sidoarjo. Namun, BPN belum bisa memprosesnya karena memerlukan sejumlah dokumen pendukung lainnya. Contohnya pengesahan bahwa pulau itu masuk dalam wilayah Sidoarjo.
Perwakilan dari BPN, Sidoarjo Sigit, mengatakan, pihaknya sudah menerima permohonan pengajuan sertifikasi Pulau Lusi dari KKP. Pihaknya menunggu penentuan batas wilayah karena secara geografis berada di perbatasan antara Sidoarjo dan Pasuruan. Harus ada pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Pasuruan.
Sudah promosi
Kepala Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sidoarjo Heri Soesanto mengatakan, pihaknya ingin turut serta mengembangkan Pulau Lusi sebagai destinasi wisata unggulan. Pemda bahkan sudah melakukan promosi besar-besaran dengan dukungan Kementerian Pariwisata. Hasilnya, popularitas pulau ini pun melejit.
”Pemkab Sidoarjo telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung pengembangan, seperti menyiapkan infrastruktur jalan menuju ke lokasi wisata, menambah fasilitas pendukung seperti toilet, dan kebutuhan lain,” ujar Heri.
Masyarakat Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, juga antusias mengelola destinasi wisata tersebut. Mereka bahkan telah membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan menyediakan sarana transportasi berupa perahu wisata yang cantik, bukan perahu nelayan yang bau ikan.
Supari dari Humas Pokdarwis Kedungpandan mengatakan, tingkat kunjungan wisatawan setiap hari 300 orang pada hari biasa. Namun, saat libur akhir pekan, kunjungan meningkat menjadi 1.000 orang per hari. Pada libur panjang akhir Oktober lalu bahkan jumlah pengunjung tembus 1.300 orang per hari.
Tingginya animo pengunjung ini harus disambut dengan penyediaan sarana dan prasarana yang bagus supaya mereka memiliki kesan menyenangkan. Selain itu, wisatawan yang berkunjung juga bisa mempromosikan obyek wisata ini dengan cara membagikan pengalaman yang berkesan.
”Warga berharap persoalan hak pengelolaan lahan ini segera diselesaikan agar tidak berlarut-larut. Sesama institusi pemerintah seharusnya bisa duduk bersama demi kepentingan yang lebih besar, yakni membangkitkan perekonomian daerah,” kata Supari.