Liku-liku Pulau Lusi ”Lumpur Sidoarjo” Bersolek Diri
Kata Lusi diambil dari lumpur Sidoarjo karena pulau ini dibangun dari endapan aluvial di muara Sungai Porong. Endapan itu merupakan material lumpur yang keluar dari pusat semburan di Kecamatan Porong sejak 2006.
Meski telah ditetapkan sebagai destinasi wisata hutan mangrove terpopuler kedua di Indonesia pada 2019, Pulau Lusi di Sidoarjo, Jawa Timur, tak kunjung bisa bersolek diri. Jalan yang harus dilalui berliku-liku sehingga diperlukan duduk bersama seluruh pemangku kepentingan.
Jarum jam belum tepat menunjuk pukul 07.00 saat Alfina Damayanti dan kawan-kawannya sibuk menyambut kedatangan wisatawan di Dermaga Tlocor, Minggu (11/8/2020). Anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Kedungpandan itu sibuk melayani tamu yang ingin berwisata ke Pulau Lusi.
Sebagian wisatawan itu para pesepeda yang sengaja mengambil garis akhir di Dermaga Tlocor, Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon. Sebagian lainnya, masyarakat yang datang dengan keluarga ataupun teman sebaya. Tiket masuk wisata Tlocor sangat terjangkau, yakni Rp 5.000 per orang dewasa. Anak-anak tidak dihitung.
Apabila pengunjung ingin melanjutkan perjalanan ke Pulau Lusi, mereka cukup merogoh kocek Rp 25.000 untuk dewasa dan Rp 15.000 untuk anak-anak. Pengelola akan mengantar wisatawan menggunakan perahu wisata atau disebut juga bus air dan menjemputnya kembali sesuai keinginan tamu.
Baca juga: Rayuan Maut Hutan Mangrove
Kendaraan berpenumpang 14 orang ini menjadi armada utama menuju Pulau Lusi yang berlokasi di muara Sungai Porong atau di tepi Selat Madura. Perjalanan ke Pulau Lusi memakan waktu sekitar 45 menit. Selama itu, wisatawan bisa menikmati sensasi mengarungi Sungai Porong, sungai terbesar di Sidoarjo.
Sungai yang merupakan pecahan Sungai Brantas ini juga menjadi jalur utama bagi nelayan lokal yang setiap hari mencari ikan di Selat Madura. Oleh karena itulah, perahu wisata akan berpapasan atau bahkan berkejaran dengan perahu nelayan yang berlalu-lalang. Sesama nakhoda pun terkadang berteriak saling menyapa di tengah suara mesin perahu yang menderu kencang.
”Perjalanan berperahu juga bisa diisi dengan menikmati deretan tanaman mangrove yang menjadi benteng alam Sungai Porong dari ancaman abrasi,” ujar Kustari (34), salah satu wisatawan.
Kustari mengaku tertarik berkunjung ke Pulau Lusi karena penasaran. Dengan membawa serta istri dan anak semata wayangnya, pria asal Kabupaten Pasuruan itu ingin membuktikan sendiri pesona hutan mangrove yang menjadi wisata terpopuler kedua di Indonesia.
Adalah Dispora Sidoarjo yang berupaya memopulerkan ekowisata hutan mangrove Pulau Lusi melalui ajang Anugerah Pesona Indonesia 2019 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Upaya itu berbuah manis dengan dinobatkannya Pulau Lusi sebagai ekowisata terpopuler kedua di Indonesia. Ekowisata terpopuler pertama di Indonesia diraih Mangrove Forest Park, Kota Langsa, Aceh.
Baca juga: Pengembangan Destinasi Wisata Pulau Lusi Terkendala Hak Pengelolaan Lahan
API merupakan strategi mempromosikan obyek wisata di daerah agar lebih dikenal luas. Ajang ini juga bertujuan mendorong peran pemda untuk mempromosikan pariwisata di daerahnya. Bagi Pemkab Sidoarjo dan masyarakat pegiat pariwisata Pulau Lusi, prestasi itu melecut semangat untuk berupaya lebih giat lagi.
Sidoarjo ingin mengembangkan sektor pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Industri pariwisata diyakini mampu menggerakkan ekonomi lokal karena memiliki dampak simultan terhadap sektor-sektor lainnya. Contohnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta sektor usaha yang dikembangkan oleh desa.
Kepala Bappeda Sidoarjo Heri Soesanto mengatakan, selain mempromosikan ekowisata mangrove seluas 100 hektar ini, pihaknya ingin berkontribusi lebih besar lagi. Contohnya berbagi peran dalam membangun infrastruktur pariwisata. Salah satu keluhan pengunjung adalah kurangnya sarana kamar mandi, tempat berteduh untuk wisatawan, dan wahana atau atraksi wisata.
”Ada alokasi anggaran Rp 15,5 miliar untuk penanganan Covid-19 dan penambahan jaringan atau infrastruktur pada destinasi wisata. Namun, dana itu terancam tak terserap,” ujar Heri Soesanto.
Pihaknya juga siap mengalokasikan anggaran yang lebih besar pada APBD 2021. Untuk mengetahui kebutuhan penganggaran dan menyamakan persepsi terkait rencana pengembangan destinasi, Pemkab Sidoarjo menggelar rapat koordinasi dengan menghadirkan seluruh pemangku kepentingan, Kamis (5/11/2020).
Baca juga: Wisata Pulau Lusi Diharapkan Dibuka Kembali dengan Protokol Pencegahan Covid-19
Para pihak yang dihadirkan antara lain Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Wilayah Denpasar dan Jatim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Pertanahan Negara (BPN) Sidoarjo, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas, Pusat Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PPLS), Pemprov Jatim, dan Kelompok Sadar Wisata Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon.
Pulau Lusi yang berlokasi di petak 8 Selat Madura sejatinya pengembangan dari Pulau Sarinah, pulau asli Sidoarjo yang menjadi pusat konservasi kawasan pesisir. Pulau Lusi yang luasnya saat ini sekitar 104 hektar (ha) dibangun dengan konstruksi jety yang menempel pada Pulau Sarinah yang luasnya sekitar 80 ha sehingga tampak menyatu di bagian ujung.
Endapan aluvial
Kata Lusi diambil dari lumpur Sidoarjo karena pulau ini dibangun dari endapan aluvial di muara Sungai Porong. Endapan itu merupakan material lumpur yang keluar dari pusat semburan di Kecamatan Porong sejak 2006. Pulau ini menjadi bagian dari penanggulangan bencana semburan lumpur di Sidoarjo.
Pulau Lusi menjadi pusat penelitian material lumpur juga tanaman mangrove beserta ekosistem yang berkembang di dalamnya. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang berkunjung sehinga berkembang menjadi destinasi wisata baru di Sidoarjo.
Koordinator Wilayah Jatim BPSPL KKP Kiki Rizki Arisandi mengatakan, pulau ini diserahkan pengelolaannya dari Badan Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (BPLS) kepada KKP pada 2016 saat badan tersebut dibubarkan. Penyerahan itu melalui proses alih status penggunaan barang milik negara.
”Menindaklanjuti pengalihan status tersebut, pada September 2017 dilakukan koordinasi dengan BPN Jatim dan BPN Sidoarjo terkait rencana permohonan sertifikat hak pengelolaan lahan pulau. Sampai sekarang proses ini belum tuntas,” kata Kiki.
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan hak pengelolaan lahan (HPL), KKP telah menyusun rencana penggunaan jangka pendek ataupun jangka panjang. Sesuai rencana induk, pulau yang luasannya dinamis ini dijadikan Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove (PRPM) yang akan terbagi dalam beberapa zona.
Ada zona serambi, zona taman utama, zona taman mangrove, taman wanamina, taman botani, taman lumpur, konvensi, resor, perairan buatan, dan zona infrastruktur. Total ada 20 hektar yang akan dikembangkan menjadi zona-zona tersebut. KKP juga telah membangun dermaga untuk berlabuh perahu wisata.
Namun, untuk merealisasikan pembangunan tersebut, diperlukan alokasi anggaran. Dan, pengalokasian anggaran ini memerlukan kejelasan status hak penggunaan lahan. KKP berharap proses sertifikasinya segera tuntas. Kendala lain di luar sertifikasi adalah terkait penamaan pulau.
Meski menjadi destinasi wisata terpopuler kedua di Indonesia, faktanya nama Lusi belum diakui. Pernyataan itu disampaikan Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Umum Pemprov Jatim Dwi Mardiana. Penentuan nama pulau pun akhirnya menjadi pekerjaan rumah berikutnya.
Belum terpecahkan apakah pulau itu tetap bernama Sarinah atau bisa berdiri sendiri dengan nama Lusi. Penamaan sebuah pulau atau tempat memiliki tata cara tersendiri. Selain pertimbangan geografis juga kearifan lokal masyarakat setempat.
Namun, persoalan tak berhenti disitu. Lokasi pulau yang berada di tengah Sungai Porong di wilayah perbatasan antara Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan memunculkan kendala lain lagi. Kabupaten Pasuruan harus memberikan pernyataan resmi bahwa pulau itu masuk dalam wilayah Sidoarjo.
Ketua Humas Pokdarwis Kedungpandan Supari mengaku kecewa dengan hasil rapat yang berkutat pada persoalan yang sama. Padahal, rapat koordinasi seperti itu sudah tiga kali digelar. Antarinstansi pemerintah seolah sulit berkoordinasi sehingga menghambat pembangunan dan merugikan masyarakat.
Supari bercerita, wisata Pulau Lusi dirintis oleh Pokdarwis Kedungpandan sejak 2012. Dulu, mereka menggunakan perahu nelayan untuk melayani pengunjung. Seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang industri pariwisata, pelayanan pun terus ditingkatkan agar lebih nyaman dan aman.
Pokdarwis yang beranggotakan 63 orang ini menghimpun dana untuk membeli perahu wisata yang dilengkapi dengan alat keselamatan diri, seperti pelampung. Kini, ada empat perahu wisata dan tiga perahu cepat (speed boat) yang dipakai melayani wisatawan. Biaya pengadaan moda transportasi itu menghabiskan Rp 2,5 miliar.
”Di akhir pekan, perahu wisata kewalahan melayani penumpang. Sebelum pandemi, pengunjungnya tembus 3.000 orang dalam sehari di akhir pekan. Di masa adaptasi baru ini, pengunjung tembus 1.300 orang dalam sehari saat libur panjang akhir Oktober lalu,” kata Supari.
Selain itu, Pokdarwis Desa Kedungpandan juga mendanai perbaikan plengsengan atau talud dermaga Tlocor dan pembangunan kantor pokdarwis yang juga berbagi ruang dengan usaha penjualan makanan dan minuman. Sarana kamar mandi juga disediakan. Total biaya dikeluarkan oleh pokdarwis ini lebih dari Rp 5 miliar.
Meski demikian, masyarakat terus menghimpun modal agar mereka bisa berkontribusi maksimal dalam pengembangan wisata di daerahnya. Warga menolak menjadi penonton di kampung sendiri. Masyarakat, terutama anggota Pokdarwis Kedungpandan, melakukan lompatan besar dari sebelumnya bekerja sebagai nelayan dan petambak ikan menjadi pelaku industri pariwisata.
Supari sadar masih banyak pekerjaan rumah untuk mendandani destinasi Pulau Lusi. Oleh karena itu, dia berharap seluruh pemangku kepentingan yang terlibat harus sering-sering duduk bersama agar mereka bisa bekerja sama membangun jalan bebas hambatan demi Lusi yang semakin menawan hati.