Manfaatkan Revisi UU ASN untuk Cegah Jual Beli Jabatan
Kasus terbaru jual beli jabatan yang diduga dilakukan Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman menambah jumlah kasus dugaan suap terkait pengisian jabatan. Revisi UU ASN harus dimanfaatkan untuk mencegah praktik itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berulangnya kasus jual beli jabatan hendaknya membuka mata DPR dan pemerintah untuk membenahi sistem kepegawaian di pemerintahan. Hal ini bisa dilakukan melalui revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang kini digodok di DPR. Selain Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN harus dipertahankan eksistensinya, pemegang posisi pejabat pembina kepegawaian (PPK) juga perlu dikaji ulang.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Bareskrim Polri menangkap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat terkait dugaan kasus jual beli jabatan di Nganjuk. Belum lama ini, kasus korupsi dalam pengisian jabatan juga terjadi di Pemerintah Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan melibatkan Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial. Jauh sebelum itu, ada pula kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan Romahurmuziy, mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan.
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo saat dihubungi di Jakarta, Selasa (11/5/2021), mengatakan, maraknya kasus jual beli jabatan ini seharusnya menjadi momentum untuk membenahi sistem kepegawaian di pemerintahan melalui revisi UU ASN.
Hal yang diusulkan Eko dalam revisi UU ASN tersebut, di antaranya, penguatan peran KASN. Rekomendasi yang dikeluarkan KASN harus bersifat mengikat. Menurut dia, langkah KASN untuk bekerja sama dengan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sejauh ini sudah tepat sehingga rekomendasi KASN dapat segera dipatuhi.
”Jadi, bukan malah membubarkan KASN. Itu malah semakin membuat transaksi jabatan di pemerintahan kian masif. Revisi UU ASN justru harus memperkuat KASN sebagai the guardian of merit system itu karena memang dulu dibentuk untuk mengurangi intervensi dan kooptasi politik terhadap birokrasi,” ujar Eko.
Sebelumnya muncul dorongan di DPR untuk membubarkan KASN dalam revisi UU ASN, tetapi pemerintah meminta DPR mempertimbangkan ulang usulan itu (Kompas.id, 9/4/2021).
Usulan kedua, dalam revisi UU ASN, kata eko, harus dipertimbangkan pula agar kewenangan PPK dipindahkan dari pejabat politik ke pejabat karier tertinggi. Sebab, selama ini, PPK yang dipegang oleh pejabat politik malah dimanfaatkan untuk menempatkan orang-orang yang telah memberikan uang kepadanya atau kerabat dekatnya di dalam birokrasi. Ini juga tak terlepas dari persoalan di hulunya, biaya politik yang mahal.
Karena itu, perlu didorong agar PPK dipegang oleh pejabat karier tertinggi atau sekretaris daerah. Namun, di revisi UU ASN juga harus diatur detail. Misalnya, pertama, jika sekda ingin maju menjadi kepala daerah atau anggota legislatif, maka mereka harus mundur 1 tahun atau 1,5 tahun sebelumnya. Dengan begitu, mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengooptasi birokrasi.
Selain itu, terkait pengisian jabatan sekda, kepala daerah hanya diberi kewenangan untuk mengangkat sekda dalam jabatan sekda. Sebelumnya, kepala daerah harus mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan seluruh prosesnya harus dikontrol oleh KASN.
”Jadi, memang pengawasan KASN menjadi penting untuk pengisian jabatan sekda. Ini sudah bisa mengurangi (praktik jual beli jabatan). Artinya, pengangkatan kepala-kepala dinas juga tidak dilakukan lagi oleh kepala daerah. Setidaknya, kita membuat semacam pagar supaya bocoran-bocoran politik itu tidak masuk ke birokrasi,” ucap Eko.
Modus jual beli jabatan
Ketua KASN Agus Pramusinto mengungkapkan, praktik jual beli jabatan masih jamak terjadi. Untuk itu, pengawasan KASN bekerja sama dengan KPK perlu diperkuat. ”Enggak ada yang melaporkan. Baunya jelas, tetapi barangnya tidak kelihatan. Itu sulitnya,” kata Agus.
Namun, KASN sudah memetakan tanda-tanda terjadinya praktik jual beli jabatan. Misalnya, ada laporan ke KASN bahwa si A kerap bertindak tidak jujur dalam keuangan saat menjabat eselon tiga. Saat yang bersangkutan masuk tiga besar untuk calon eselon dua, KASN mengingatkan PPK berdasar laporan tersebut. Namun, PPK tidak segera memilih yang lain.
”Isunya, istri PPK kayaknya yang ngeplot sudah terima uang,” katanya.
Modus lain, misalnya rotasi yang tidak sesuai aturan dan PPK tidak mau mengembalikan yang bersangkutan ke posisi semula. Hal itu ada kemungkinan juga ada pembayaran. Modus terakhir, ada panitia seleksi yang secara kompak memberikan calon yang diinginkan bupati dengan nilai 100 dan untuk yang tidak disukai bupati dengan nilai 40 saat wawancara.
”Jadi, sudah di-setting oleh bupati. Kalau seperti itu, kami blacklist nama pansel tersebut,” ucap Agus.