Anjuk Ladang, sebutan kuno Nganjuk, yang berarti dataran tinggi kemenangan gemilang, tercoreng karena watak pecundang kalangan bupati dan pamong yang kalah dan menyerah oleh budaya rasuah alias korupsi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Reserse Kriminal menahan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat dan ajudannya beserta lima camat dan seorang mantan camat sebagai tersangka rasuah, Selasa (11/5/2021).
Mereka ialah Izza Muhtadin (ajudan Bupati Nganjuk), Camat Berbek Haryanto, Camat Loceret Bambang Subagio, Camat Pace Dupriono, Camat Tanjunganom Edie Srijato sekaligus Pelaksana Tugas Camat Sukomoro, dan mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo. Mereka seluruhnya berstatus tersangka, sama seperti Bupati Novi.
Ketujuh tersangka terlibat rasuah dalam mutasi dan promosi camat serta perangkat desa/kelurahan. Aktivitas itu terhenti setelah operasi tangkap tangan oleh tim KPK dan Bareskrim di Nganjuk, Minggu (9/5/2021) malam. Tim menyita uang tunai senilai Rp 647,9 juta dari brankas pribadi Bupati Nganjuk, delapan telepon seluler, dan buku tabungan Bank Jatim sebagai barang bukti keterlibatan korupsi ketujuh tersangka tadi.
Pengungkapan kasus itu jelas mengagetkan masyarakat, terutama warga Nganjuk. Mereka kaget bukan kepalang, tidak menyangka ”sang adipati” yang kaya raya dan rajin khotbah dalam safari shalat Jumat itu ternyata doyan menerima setoran. Padahal, berdasarkan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN), kemewahan Novi senilai Rp 116 miliar, termasuk bupati terkaya di Jatim.
Bahkan, sebelum menjabat Bupati Nganjuk, Novi pernah bilang tidak tertarik dengan korupsi karena kekayaan jumbo dari jerih payah merintis usaha sejak akhir SMA. Novi memiliki 36 perusahaan yang mempekerjakan 40.000 pegawai. Namun, aset yang begitu besar ternyata tidak membuat Novi kebal godaan korupsi. Menurut KPK dan Bareskrim, Novi masih menerima setoran receh Rp 2 juta-Rp 50 juta dalam jual beli jabatan.
Lebih menyakitkan lagi, bupati sebelumnya, yakni Taufiqurrahman, juga terlibat dalam kasus korupsi jual beli jabatan dan penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penetapan Novi sebagai tersangka rasuah membunuh mimpi warga Nganjuk yang mendambakan adipati bersih raga dan rasanya.
”Saya masih prihatin, nggih ngapunten (mohon maaf),” tulis Wakil Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi dalam pesan Whatsapp membalas permintaan jurnalis Kompas untuk menyampaikan keterangan bagaimana roda pemerintahan akan dijalankan setelah penahanan Novi.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan akan segera mengumumkan Pelaksana Tugas Bupati Nganjuk. Namun, pengumuman itu bergantung pada KPK dan Bareskrim mengenai status hukum Novi.
Hal yang pasti, jabatan pelaksana tugas akan diemban oleh wakil bupati. Ini sekadar waktu bagi Marhaen untuk melanjutkan estafet pemerintahan di Nganjuk.
Keterlibatan dua bupati berturut-turut seolah membuktikan korupsi kembali menang di Anjuk Ladang, sebutan kuno Nganjuk. Bahkan, dalam catatan Kompas, kasus rasuah di Nganjuk juga pernah melibatkan Soetrisno Rachmadi yang menjabat bupati pada 1993-2003.
Di era Siti Nurhayati (2003-2008), rasuah menyeret wakil bupati Djaelani Iskak. Dalam masa kepemimpinan Taufiqurrahman (2008-2018), sang adipati terlibat korupsi. Pada 2013, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk ketika itu, Bambang Eko Suharto, juga terlibat rasuah penggelembungan dana mebel.
Keterlibatan dua bupati berturut-turut seolah membuktikan korupsi kembali menang di Anjuk Ladang, sebutan kuno Nganjuk.
Dari fakta-fakta tadi dapat terlihat bahwa korupsi seolah membudaya dalam kehidupan birokrasi di Nganjuk. Ketika Novi tampil dan menjadi bupati, ada harapan bahwa budaya buruk tadi bisa dikikis dan dibersihkan dari bumi Anjuk Ladang. Namun, harapan belum bisa terwujud. Bersabarlah warga Nganjuk dan semoga tetap semangat meski dalam hati sudah tentu mengumpat (maaf) jiancuk.
Panggung politik
Dalam khazanah kepurbakalaan, Nganjuk diyakini bukan wilayah sembarangan. Anjuk Ladang menjadi panggung penting sejarah Jawa abad-10 sampai abad-14. Repihan atau tinggalan arkeologis berupa prasasti, candi, reruntuhan peradaban, mata uang, dan seni ikonografi menguatkan peran Nganjuk dalam perjalanan politik Jawa masa silam.
Nganjuk dipercaya sebagai lokasi peradaban Medang atau Mataram Kuno era Pu Sindok (929-948) yang memindahkan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sindok yang melahirkan wangsa Isyana setidaknya dikaitkan dengan 20 prasasti. Tiga batu bertulis ditemukan di Nganjuk dan penting untuk mengetahui peradaban Medang, yakni Kinawe, Hering, dan Anjuk Ladang.
Prasasti Anjuk Ladang ditemukan dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Enskripsi itu ditemukan dari reruntuhan Candi Lor di Candirejo, sekitar 5 kilometer dari ibu kota Nganjuk. Menurut JG de Casparis (1958), mahaguru sejarah dari Belanda, Pu Sindok memberikan penghargaan kepada suatu desa bernama Anjuk Ladang berupa status otonomi atau swatantra. Status itu berarti Anjuk Ladang dibebaskan dari kewajiban pemungut pajak alias upeti.
Anugerah untuk sima (desa) Anjuk Ladang karena warganya pernah membantu perjuangan Pu Sindok saat diserang Kerajaan Melayu dari Sumatera, diduga Sriwijaya, ketika Mataram Kuno berada di Jateng, gagal menghalau serangan Melayu sehingga berpindah ke Jatim. Pu Sindok dibantu warga setempat berhasil mengalahkan Melayu di suatu wilayah bertebing di lereng Gunung Wilis. Pu Sindok menamai sima itu Anjuk Ladang, yang berarti dataran tinggi kemenangan.
Perombakan
Dari berbagai prasasti yang dikaitkan dengan Pu Sindok, perpindahan suatu kerajaan diiringi dengan perombakan birokrasi. Dalam bahasa masa kini, mutasi-promosi. Situasi itu bisa dipahami sebagai cara untuk mempertahankan eksistensi kerajaan.
Dalam masa pemerintahan Pu Sindok, pejabat yang dimutasi dan dipromosi adalah Pu Kundu, Pu Padamwan, dan Pu Sahasra. Apakah terjadi jual beli jabatan di masa itu? Tidak ada sumber yang bisa mengonfirmasi. Namun, yang terang, kepentingan ketika itu lebih pada eksistensi dan kejayaan masa depan Medang di Jatim, yang kemudian dikaitkan dengan dinasti-dinasti terkemuka Nusantara masa Kahuripan-Majapahit.
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jatim, Wicaksono Dwi Nugroho, mengatakan, Nganjuk amat penting dalam khazanah kepurbakalaan untuk melacak keberadaan Medang. Namun, belum bisa dipastikan di manakah pusat peradaban Medang masa Pu Sindok, apakah di Nganjuk atau kabupaten/kota lain di Jatim di antara aliran dua sungai terkemuka, Bengawan Solo dan Bengawan Brantas.
Menurut Wicaksono, anugerah swatantra berarti membebaskan kewajiban menyerahkan pajak atau upeti kepada penguasa. Dengan begitu, desa dapat berdaya, warganya makmur, sejahtera, dan bahagia karena tidak lagi menyisihkan sebagian harta benda untuk kemewahan penguasa.
Namun, di masa kini, ketika korupsi seolah lestari, konsepsi swatantra itu sirna. Buktinya, perangkat desa dan camat di Nganjuk yang seharusnya menjadi pamong warga malah terbelit upeti kepada penguasa atau bupati. Mereka tidak lagi mewarisi kegemilangan leluhur dari Anjuk Ladang alias menjadi pecundang.