Mengabuburit, Tahan Diri Merayakan Tradisi
Cukup dua tahun saja Ramadhan dan segala tradisinya dirayakan dalam keterbatasan. Tahun ini, kearifan warga kembali diuji.
Mengabuburit menjadi salah satu tradisi khas saat Ramadhan di Indonesia. Namun, tanpa pengawasan dan kearifan warga, mengabuburit rentan memicu penularan baru Covid-19 yang hingga kini bisa ditebak kapan berakhirnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengabuburit diartikan sebagai (kegiatan) menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadhan. Istilah ini lazim dikenal di banyak daerah di Indonesia.
Akan tetapi, sebagian kalangan yakin mengabuburit berasal dari kata dalam bahasa Sunda, ngabuburit. Kamus Sunda-Indonesia yang disusun Budi Rahayu Tamsyah dan kawan-kawan menyebut ngabuburit berarti berjalan-jalan sore menanti berbuka puasa.
Sejarawan dari Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis, mengatakan, jika dilihat dari kata, ngabuburit merupakan tradisi Sunda. Ada beberapa catatan kaum elite Sunda yang menceritakan tentang ngabuburit pada masa lalu.
Catatan berupa berita dan lainnya itu ditulis sekitar awal abad ke-20. Isinya, antara lain, bercerita tentang masyarakat yang menyongsong sore saat bulan Ramadhan di alun-alun. Dulu, alun-alun dijadikan sebagai pusat tempat latihan perang dan hiburan bagi rakyat.
Nina mengatakan, hiburan bagi rakyat biasanya diselenggarakan saat pejabat daerah, seperti bupati, mengadakan hajatan atau resepsi pernikahan anak atau keluarganya. Resepsi bisa berlangsung 40 hari 40 malam di alun-alun. Rakyat diperbolehkan datang menikmati beragam pertunjukan dan menyantap makanan yang disediakan.
Catatan kegiatan rakyat saat ngabuburit sedikit banyak bisa dilihat dari buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)” (1996) karya Haryoto Kunto.
Pada masa kolonial, alun-alun berkembang menjadi area bisnis. Banyak pedagang berjualan di sekeliling alun-alun. Tidak heran, tempat itu menarik masyarakat untuk datang menghabiskan petang sebelum berbuka saat Ramadhan.
”Tak banyak catatan yang bercerita tentang tradisi ngabuburit. Sebab, di Tatar Sunda yang menulis naskah adalah kaum elite. Mereka jarang menuliskan tentang kehidupan rakyat, kecuali ada kaitannya dengan kehidupan mereka,” kata Nina.
Catatan kegiatan rakyat saat ngabuburit sedikit banyak bisa dilihat dari buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) (1996) karya Haryoto Kunto. ”Kuncen Bandung” ini mengisahkan beragam kegiatan masyarakat di luar ruangan saat ngabuburit di Bandung dan sekitarnya awal abad ke-20.
Baca juga : Sepinya Kawasan Favorit ”Ngabuburit”
Salah satu favorit warga adalah Sungai Cikapundung yang digunakan untuk mandi hingga memancing ikan dan belut. Cikapundung tidak sedangkal dan sekotor sekarang. Berenang menjadi hal wajar. Ikan dan belut pun masih bisa hidup.
Taman-taman yang tersebar di seantero Bandung juga jadi tempat ngabuburit. Insulinde Park (Taman Lalu Lintas) hingga Molukken Park (Taman Maluku) jadi tempat bercengkrama tanpa harus mengeluarkan uang.
Tidak hanya itu, bermain di stasiun kereta api hingga menunggu datangnya kereta api jadi pilihan sebagian warga. Setidaknya ada dua kereta yang dikenal warga. Berukuran besar dan berkelir gelap disebut ”gombar”. Adapun yang lebih kecil dengan peluit melengking akrab disapa dengan sebutan ”kuik”.
Mengutip Sjarif Amin dalam ”Keur Kuring di Bandung” (1983), Atep Kurnia menyebutkan, ada beberapa hal yang dilakukan menjelang buka puasa di Bandung. Salah satunya jalan-jalan sepanjang trotoar, melihat-lihat toko (laha-loho ka toko), atau melihat-lihat orang yang sama-sama sedang ngabuburit.
Selain itu, anak-anak Bandung tempo dulu suka menonton bioskop yang khusus buat anak-anak (kindervoorstelling). Biasanya film diputar pada Minggu pagi atau Sabtu siang. Untuk remaja ada bioskop eerste voorstelling dan twede voorstelling. Saat itu, bioskop yang terkenal seperti Varia, Radio City, Oriental, dan Elita.
Biasanya eerste voorstelling beres ketika bubar tarawih. Oleh karena itu, yang pulang dari bioskop dan yang pulang dari masjid sering bertemu. Bubarnya twede voorstelling hampir berbarengan dengan beresnya tadarus.
Terusik pandemi
Akan tetapi, pandemi membuat ngabuburit tidak lagi leluasa dilakukan seperti dulu. Berdasarkan data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar, Jumat (30/4/2021) pukul 19.00, total kasus konfirmasi positif Covid-19 mencapai 280.026 orang.
Dari jumlah tersebut, 30.483 pasien masih dirawat atau menjalani isolasi. Sementara 245.826 orang lainnya dinyatakan sembuh. Korban meninggal dunia akibat terpapar Covid-19 di Jabar mencapai 3.717 jiwa.
Sejumlah daerah melarang ngabuburit digelar bersama sahur on the road, kebiasaan lain yang muncul saat Ramadhan. Salah satunya Kota Bandung. Wali Kota Bandung Oded M Danial melarang ngabuburit untuk menekan penularan Covid-19. Dia berjanji bakal mengawasi keramaian di beberapa titik di Kota Bandung.
Baca juga: Polisi Selidiki Penyebab Puluhan Santri di Bekasi Keracunan Makanan Buka Puasa
Sejumlah inovasi pun muncul. Makna kebersamaan Ramadhan diinginkan tetap ada sembari menekan bahayanya. Salah satunya lewat acara Buka Puasa On The Screen (Bubos) yang terpusat di Gedung Sate, Bandung. Penyelenggaranya adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Acara ini adalah modifikasi dari Buka Puasa On The Street yang digelar sejak 2016. Dari awalnya dilakukan tatap muka dan massal di jalan, tahun ini digelar daring.
Perubahan ini tidak menyurutkan minat peserta. Peserta Bubos bertema ”Berbagi dan Beramal kepada Sesama (Berirama)” itu tercatat diikuti lebih kurang 100.000 orang dari beberapa daerah di Jabar.
Hanya saja, kerelaan menekan penularan belum dimiliki semua warga Jabar. Berjarak sepelemparan batu dari Gedung Sate, keramaian tatap muka orang-orang ngabuburit masih terlihat. Larangan yang dikeluarkan Pemkot Bandung tak bertaji saat tidak ada pengawasan ketat setelahnya.
Kawasan Monumen Perjuangan Rakyat Jabar yang baru direvitalisasi menjadi salah satu lokasi warga mengabuburit, Selasa (27/4/2021). Sejak pukul 16.30, puluhan sepeda motor dan mobil telah memadati bahu jalan di sekitarnya. Sayangnya, masih ada warga tidak memakai masker dan berkumpul tanpa menjaga jarak. Tidak ada petugas pemerintah yang mengingatkan tegas hal itu.
Baca juga: Gelandang Manchester City, Ilkay Guendogan, Berbagi Iftar di Jakarta
Hal serupa terlihat di trotoar di sekitar Gedung Merdeka. Berarsitektur art deco, latar gedung itu diburu menjadi latar berfoto bersama.
Sebagian dari mereka datang ke sana berkelompok. Mondar-mandir menyusuri trotoar sembari menunggu azan Magrib berkumandang. Meski hampir semua pengunjung memakai masker, jaga jarak masih sulit diterapkan.
”Trotoarnya lebar, nyaman untuk jalan kaki rame-rame. Kebetulan mau buka puasa di Braga. Jadi, sekalian kumpul dulu di Jalan Asia Afrika,” ucap Andri (22), warga Tegalega, Bandung, yang berencana berbuka puasa bersama teman alumni SMA-nya.
Kebutuhan bersosialisasi
Pengamat sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Ari Ganjar Herdiansah, mengatakan, tidak mudah meminta warga menghentikan kebutuhan sosialnya, seperti berkomunikasi dan bertatap muka, saat pandemi.
Dahaga bersosialisasi tidak bisa begitu saja tergantikan pertemuan virtual. Menurut Ari, interaksi tidak hanya dilihat dari komunikasi bahasa, tetapi juga suasana, situasi, gestur, hingga intonasi suara berpadu dalam memenuhi kebutuhan sosial setiap manusia ini.
”Semua manusia butuh bersosialisasi. Bahkan, ada satu kajian yang menyatakan, kesepian itu sama saja membawa penyakit dengan 12 batang rokok. Ada efek buruk ketika tidak bersosialisasi,” ujarnya.
Ada satu kajian yang menyatakan, kesepian itu sama saja membawa penyakit dengan 12 batang rokok. Ada efek buruk ketika tidak bersosialisasi.
Akan tetapi, dia menyadari ada fakta pandemi kini tidak bisa dihindari. Menurut Ari, pemerintah harus memastikan warga bisa menahan diri hingga pandemi usai. Jika tidak, kerumunan akibat pemenuhan kebutuhan sosial ini berujung pada gelombang pandemi yang lebih besar.
Kebijaksanaan semua pihak untuk menekan penularan Covid-19 harus tumbuh. Cukup dua tahun saja Ramadhan dan segala tradisinya dirayakan dalam keterbatasan.