Duka Ganda Keluarga Pekerja Migran Ilegal di Brebes
Pekerja migran tak hanya menjadi pahlawan bagi negara, tetapi juga bagi keluarga. Tak jarang mereka berperan sebagai tulang punggung keluarga. Saat mereka tiada, sebagian keluarga terpaksa kembali ke dekapan kemiskinan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
Bekerja sebagai buruh migran di sejumlah negara menjadi pilihan bagi sedikitnya 4.000 warga Brebes, Jawa Tengah, demi mimpi melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Sebagian dari mereka tulang punggung keluarga, yang saat mereka tiada, mimpi besar keluarga pun sirna.
Di Desa Dumeling, Kecamatan Wanasari, Brebes, sebuah keluarga harus kembali mengakrabi kemiskinan setelah Sukma Aziz meninggal di Malaysia pada 2017. Pria 23 tahun itu meninggal karena kecelakaan kerja di sebuah proyek pembangunan perumahan nasional di Malaysia. Kala itu, Aziz yang tengah memperbaiki atap bangunan terpeleset dan jatuh tak sadarkan diri.
Menurut cerita yang didapatkan keluarga, Aziz sempat dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Tak lama setelah tiba di rumah sakit, Aziz meninggal karena cedera berat di kepalanya. Jenazah Aziz tiba di rumah keluarganya sepekan setelah kematiannya.
Empat tahun lewat, kepedihan keluarga masih terasa hingga Sabtu (1/5/2021). Kursi (53), ibu Aziz, masih sering menangis jika mengingat anak ketiganya itu. ”Dia (Aziz) itu anak yang paling pengertian sama keluarga, sayang sama orangtua. Dulu pamitnya mau kerja ke Malaysia biar adik-adiknya bisa sekolah tinggi dan dapat pekerjaan yang bagus,” kata Kursi sambil terisak.
Kursi dan suaminya yang bekerja sebagai buruh tani mengaku tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan keenam anaknya hingga perguruan tinggi. Rata-rata anak mereka lulusan sekolah dasar, termasuk Aziz.
Setelah lulus dari sekolah dasar, Aziz langsung bekerja sebagai buruh serabutan membantu orangtuanya menghidupi adik-adiknya. Ijazah sekolah dasar dan keterampilan rendah membuat Aziz tak bisa mendapat pekerjaan yang layak.
Saat berusia 16 tahun, ia diterima bekerja sebagai pelayan di sebuah toko di Kecamatan Brebes. Penghasilannya sekitar Rp 800.000 per bulan. Uang itu diserahkan semuanya kepada Kursi untuk biaya makan sehari-hari keluarga dan untuk biaya sekolah adik-adiknya.
Pada tahun 2013, Aziz ditawari kakak keduanya ikut bekerja di Malaysia. Saat itu, kakaknya sudah enam tahun bekerja sebagai mandor di Malaysia pada 2013. Tanpa pikir panjang, Aziz langsung mengiyakan ajakan tersebut.
Kursi menuturkan, Aziz berangkat ke Malaysia secara ilegal. Tidak ada izin atau surat-surat kelengkapan apa pun selain paspor. ”Bilang kepada petugasnya mau pelesir begitu. Katanya (kakak Aziz) itu enggak masalah, nanti kalau sudah (kerja) lebih dari dua tahun baru mengurus (working) permit,” tutur Kursi.
Tidak pulang
Selama bekerja di Malaysia, Aziz tidak pernah pulang. Kendati demikian, komunikasi mereka lancar. Upah untuk Aziz juga selalu dibayarkan tepat waktu. ”Upahnya sekitar Rp 4 juta per bulan. Biasanya, (Aziz) mengirim separuh upahnya untuk saya dan adik-adiknya. Kemudian, separuhnya lagi disimpan untuk biaya pernikahannya,” ujar Kursi.
Dari uang kiriman Aziz, keluarga Kursi bisa lebih sejahtera. Kursi dan suaminya tidak perlu lagi memikirkan biaya sekolah tiga adik Aziz. Rumah mereka yang dulunya kumuh dan berlantai tanah, berkat uang dari Aziz, menjadi rapi dan berlantai keramik.
Setelah Aziz meninggal, perekonomian keluarga Kursi memburuk. Kursi dan suaminya harus kembali bekerja sebagai buruh tani untuk menghidupi dan membiayai pendidikan tiga anaknya. Karena keterbatasan biaya, satu dari dua anak Kursi terpaksa berhenti sekolah dan memutuskan untuk menikah.
Dua tahun setelah Aziz meninggal, suami Kursi meninggal setelah terjatuh dari sepeda motor. Mau tak mau Kursi harus mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga.
”Kerja sebagai buruh tani itu bayarannya murah, paling banyak Rp 50.000 per hari. Uang tersebut harus dibagi untuk makan saya dan dua anak saya ditambah lagi untuk biaya sekolah. Tidak cukup sebenarnya, tapi ya dicukup-cukupkan,” ucapnya.
Anak kelima Kursi tahun ini sudah lulus dari bangku sekolah menengah kejuruan. Saat ini ia tengah menunggu panggilan kerja. Adapun anak bungsunya masih duduk di bangku kelas VIII madrasah tsanawiyah swasta. Kursi mengaku sudah tidak mampu lagi membiayai sekolah anak bungsunya tersebut.
”Paling-paling nanti tidak bisa melanjutkan (ke sekolah menengah atas). Mau bagaimana lagi, minta ke anak-anak yang nomor satu dan dua tidak bisa. Mereka sudah punya keluarga masing-masing, pasti punya tanggungan sendiri,” ujar Kursi.
Menurut Kursi, keluarganya belum pernah mendapatkan bantuan ataupun santunan atas kematian Aziz. Ia hanya mendapat uang Rp 4,9 juta dari mandor Aziz. Padahal, ia pernah dimintai salinan kartu tanda penduduk, salinan kartu keluarga, dan nomor rekening oleh agen yang mempekerjakan Aziz untuk keperluan pengurusan biaya santunan serta asuransi kecelakaan kerja.
Kursi berharap biaya santunan dan asuransi tersebut bisa disalurkan kepada keluarganya. Uang itu akan digunakan untuk membiayai pendidikan anak bungsunya. Dengan begitu, anak bungsunya itu kelak bisa mendapat pekerjaan yang layak dan membantu mengangkat perekonomian keluarga, seperti yang diharapkan Aziz.
Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Dinperinaker) Brebes Warsito Eko Putra, kasus tidak dibayarkannya uang santunan kematian dan biaya asuransi, seperti yang menimpa keluarga Aziz, rawan terjadi kepada pekerja migran ilegal. Pekerja migran yang tidak berangkat sesuai dengan prosedur, disebut Warsito, tidak bisa mendapat perlindungan hukum maksimal.
”Salah satu kerugian berangkat ke luar negeri secara ilegal adalah ketika ada persoalan sulit diselesaikan. Soalnya, secara hukum mereka ini lemah,” kata Warsito.
Untuk menghindari ada pekerja yang berangkat ke luar negeri secara ilegal, Disperinaker Brebes berjanji akan menggencarkan sosialisasi dan edukasi terkait dengan pemberangkatan pekerja ke luar negeri secara legal. Kegiatan itu, menurut rencanan, akan digelar sekali dalam sebulan di desa-desa.
Saat kondisi terimpit, tak jarang pilihan jatuh ke jalan pintas untuk bisa bekerja ke luar negeri. Padahal, itu bisa menjadi bumerang jika si pekerja bermasalah di kemudian hari. Edukasi sungguh-sungguh kepada calon pekerja terkait dengan cara bekerja di luar negeri secara legal adalah mutlak agar tak ada lagi duka ganda keluarga Aziz: hidup kembali sengsara setelah tulang punggung tiada.