Sempat Mangkir, Tersangka Korupsi Vonnie Anneke Panambunan Akhirnya Ditahan
Bekas Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan mendekam di tahanan polisi karena terlibat korupsi. Jerat korupsi itu dua kali dialaminya. Partai Politik diminta berbenah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Untuk kedua kalinya, bekas Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan mendekam di tahanan polisi dengan status tersangka pidana korupsi proyek pemecah ombak Desa Likupang II. Pengamat politik berharap kasus Vonnie dapat mendorong perbaikan sistem perekrutan kader partai politik.
Vonnie ditangkap tim penyidik Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara, Selasa (27/4/2021) sore di Jakarta. Ia diterbangkan ke Manado dengan pesawat Batik Air ID 6274 pada Rabu (28/4) dini hari dan tiba sekitar 07.20 Wita. Setelah keluar terminal melalui jalur khusus, ia langsung dibawa ke Markas Polda Sulut.
Vonnie diperiksa selama sekitar 4 jam di kantor Direktorat Tahanan dan Barang Bukti oleh para penyidik. Sekitar pukul 12.30 Wita, ia turun dengan berselubungkan selendang biru muda, lalu masuk ke salah satu sel rumah tahanan. Vonnie sempat melambaikan tangan kepada para wartawan, tetapi tidak memberikan komentar apa pun.
”VAP alias Vonnie ditetapkan sebagai tersangka sejak tanggal 15 Maret 2021. Ia ditangkap karena tidak memenuhi panggilan dari tim penyidik sebanyak tiga kali untuk diperiksa sebagai saksi ataupun sebagai tersangka,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulut Theodorus Rumampuk.
Saat itu, Vonnie disebut sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, tetapi hingga kini tak jelas apa penyakit yang diidapnya. Vonnie bahkan duduk di kursi roda sepanjang perjalanan di Jakarta. Setiba di Manado, ia tampak lemah ketika berjalan.
Theodorus mengatakan, Vonnie akan ditahan di Rumah Tahanan Polda Sulut selama 20 hari hingga 17 Mei 2021. Ia menyusul adiknya, Alexander Mozes Panambunan, yang sudah lebih dulu ditahan sejak 31 Maret 2021 karena keterlibatan dalam kasus yang sama. Namun, berkas perkara mereka terpisah satu dari yang lain.
Vonnie diduga terlibat dalam penyimpangan proyek pemecah ombak Likupang II pada 2016. Saat itu, Vonnie yang menjabat bupati Minahasa Utara untuk periode kedua menandatangani permohonan bantuan dana siap pakai siaga darurat penanggulangan bencana banjir dan longsor kepada Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) senilai Rp 15,2 miliar.
Pada 2018, terungkap kerugian negara sebesar Rp 8,8 miliar dari proyek itu. Vonnie sendiri dituduh menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 6,74 miliar. Atas inisiatif sendiri, ia telah mengembalikan sebagian dari kerugian tersebut, yakni Rp 4,2 miliar, dalam bentuk uang tunai.
Saat itu, salah satu pengacara Vonnie, Novie Kolinug, mengatakan, Vonnie mengembalikan kerugian tersebut karena merasa bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Langkah itu ia sebut sebagai niat baik. Kendati begitu, proses hukum tetap berlanjut.
Di lain pihak, salah satu kuasa hukum Vonnie, Sonny Wuisan, menyebut Vonnie sebagai warga yang taat hukum. ”Walau masih dalam keadaan kurang fit, dia kooperatif dengan penyidik Kejati Sulut karena dia patuh hukum,” kata Sonny. Ia menolak menyebutkan penyakit yang diderita Vonnie.
Sonny menambahkan, dirinya akan siap mendampingi Vonnie dalam proses hukum. Ia juga akan menghormati kewenangan Kejati. ”Proses selanjutnya, kita akan menunggu dan berharap ini segera dilimpahkan ke pengadilan (fakta-faktanya) bisa terang benderang,” katanya.
Kendati begitu, Sonny tidak mau menyebut Vonnie tidak bersalah. Hal itu, kata dia, lebih baik diuji di pengadilan dan dirinya tidak bisa berandai-andai, apalagi semasa proses penyidikan berlangsung. ”Kita tidak bisa melangkahi proses hukum,” ujarnya.
Sementara itu, pengajar Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, berpendapat, Sulut beruntung Vonnie tidak terpilih sebagai gubernur dalam Pilkada 2020. Keikutsertaan Vonnie, yang juga pernah mendekam di bui karena korupsi pada 2008, menunjukkan ketidakdisiplinan partainya, Nasdem, dalam merekrut calon berintegritas.
”Parpol hanya terjebak dengan kemampuan keuangan yang dimiliki calon sebagai dasar pencalonan. Akibatnya, rakyat juga yang harus menerima risiko ini. Perlu pembenahan Undang-Undang (Nomor 2 Tahun 2011 tentang) Parpol,” kata Ferry.
Parpol hanya terjebak dengan kemampuan keuangan yang dimiliki calon sebagai dasar pencalonan.
Pada saat yang sama, ia mendorong agar mantan narapidana korupsi bisa dicegah untuk ikut pemilu, terutama di daerah. Caranya, merevisi UU No 10/2016 tentang Pilkada. Pemidanaan memang sudah menjadi hukuman bagi para koruptor. ”Faktanya, seperti Vonnie, perbuatan yang sama dilakukan kembali saat menjabat kepala daerah,” katanya.