Annah adalah potret perkawinan anak yang dulu lumrah terjadi di lingkungannya, RW 013, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pada umur 15 tahun, dia diminta menikah dengan anggapan bisa hidup lebih mandiri. Apalagi, ibu empat anak ini hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Waktu suami datang, saya tetap main. Biarin aja ibu saya yang meladeninya.
”Orangtua saya khawatir, ada anak remaja tetapi tidak menikah. Lebih baik dinikahkan saja, padahal saya sedang senang bermain dengan anak-anak lainnya. Waktu suami datang, saya tetap main. Biarin aja ibu saya yang meladeninya,” tutur Annah disambut gelak tawa ibu-ibu lainnya.
Pernikahan dini pun merenggut masa muda Annah. Dia tidak bisa bermain layaknya anak-anak seusianya atau bahkan mengenyam pendidikan karena harus mengurus suami. Belum lagi dia harus menjaga perilaku dan membantu orangtua serta mertuanya.
Setahun setelah menikah, sekitar tahun 1985, Annah mengalami persalinan pertamanya di usia 16 tahun. Meski anak lahir secara normal dan sehat, dia merasakan kesakitan yang luar biasa dan perlu perawatan di rumah sakit selama seminggu.
Bahkan, untuk memastikan Annah tidak melahirkan dalam rentang waktu berdekatan, dokter pun meminta Annah memasang alat kontrasepsi. Jeda melahirkan anak kedua pun cukup jauh, hingga sembilan tahun.
Tidak ingin nasib serupa terjadi kepada anaknya, Annah memutuskan anak-anaknya menikah di usia minimal yang dianjurkan pemerintah. Anak pertamanya menikah di usia 17 tahun karena saat itu berlaku minimal usia nikah bagi perempuan itu 16 tahun, seperti yang ditulis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan ini pun telah direvisi menjadi UU No 16/2019. Undang-undang yang berlaku sejak Oktober 2019 ini pun mengganti usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
”Saya tidak ingin anak-anak merasakan apa yang dirasakan kami saat menikah muda. Karena itu, anak-anak saya sekolahkan dulu, baru menikah. Anak pertama menikah saat umur 17 tahun. Kalau sekarang, harus 19 tahun. Anak bungsu, saya wanti-wanti jangan sampai nikah di bawah itu,” ujarnya.
Baca juga: Muda Menikah Rawan Mengundang Mara
Minim pendidikan
Sadar akan pahitnya menikah dan melahirkan di usia muda, Annah pun bersemangat ikut forum diskusi di Bale Istri dari Yayasan Sapa. Dia duduk di barisan terdepan, memperhatikan Koordinator Pendampingan Kasus Yayasan Sapa, Sugih Hartini, saat memaparkan risiko perkawinan anak dengan saksama.
Sugih menyatakan, perempuan di Desa Cipaku, khususnya RW 013, menjadi korban perkawinan anak karena minimnya pendidikan. Sulitnya akses pendidikan membuat orangtua memilih untuk menikahkan anak-anaknya di masa lalu.
Bahkan, dari 20-an kaum ibu yang hadir dalam pertemuan rutin Bale Istri ini, lebih dari separuhnya menikah muda dengan rentang 15-16 tahun. Karena itu, mereka memiliki harapan yang sama, tidak ingin anak-anaknya mengalami hal yang serupa.
Sayangnya, para ibu kerap kesulitan membahasakan keinginan tersebut. Anak-anak telah mengecap jenjang pendidikan sekolah menengah sehingga latar belakang keilmuannya lebih maju dibandingkan ibu mereka. Mereka hanya bisa mengingatkan sesuai pengalaman mereka.
Karena itu, kaum ibu sangat bersemangat dengan berbagai diskusi yang diadakan oleh Balai Istri, seperti yang terjadi siang itu. Mereka mendapatkan ilmu yang cukup sehingga bisa menjelaskan kepada anak-anaknya, baik dari dampak kepada tubuh maupun kehidupan lainnya.
Sebagai contoh, Sugih memaparkan, perkawinan anak seharusnya dihindari ada banyak masalah menanti. Tidak hanya dari segi kesehatan, kesulitan dalam administrasi kependudukan hingga potensi perceraian jelas merugikan anak perempuan.
”Sekarang kalau menikah di bawah usia perkawinan akan sulit mengurus administrasinya. Semua akan sulit. Belum lagi emosi yang belum stabil, masih diasuh sama ibunya, malah sudah mengurus anak. Ini yang berdampak pada perceraian usia muda,” ujarnya.
Baca juga: Tamparan Keras Perkawinan Anak
Lingkaran setan
Tidak hanya memberikan efek buruk kepada kesehatan, perkawinan anak juga bisa memberikan efek berantai kepada permasalahan sosial lainnya, seperti anak-anak yang terabaikan hingga kenekatan perempuan menjadi pekerja migran tanpa pertimbangan yang matang.
Anak-anak yang terabaikan ini, kata Sugih, berpotensi mengalami pernikahan dini kembali karena tidak mendapatkan perhatian dari orangtua dan keluarga. Apalagi, perkembangan teknologi informasi dan media sosial membuat anak-anak semakin sulit diawasi.
”Pernikahan dini tahun ini berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Dulu karena orangtua, sekarang karena pergaulan bebas yang kebablasan. Kalau orangtuanya tidak memperhatikan, anak-anak ini akan menjadi korban,” ujarnya.
Selain itu, berbagai permasalahan ini berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Sapa, selama tahun 2020 terdapat 100 aduan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Dari data tersebut, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pekerja migran Indonesia (PMI) menjadi yang terbanyak dengan jumlah pelapor masing-masing kasus 45 orang. Sementara itu, laporan lainnya berasal dari kekerasan seksual (3 kasus), kekerasan dalam pacaran (4), dan kekerasan berbasis jender online (3).
”Kebanyakan kasus ini ada saat tidak ada perhatian dari lingkungan, seperti orangtua. Karena itu, peran orangtua sangat penting dalam mengawasi dan memastikan anak bebas dari kekerasan. Namun, kalau mereka ke luar negeri, pengawasan ini menjadi longgar dan mereka akan terjebak di pergaulan bebas,” ujarnya.
Baca juga: Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Sugih menyatakan, jika tidak ada yang bisa mengatasi masalah terkait kekerasan perempuan, permasalahan sosial ini akan selalu ada. Pernikahan dini tanpa perencanaan matang melahirkan keluarga yang minim pengalaman dan ekonomi stabil.
Di sisi lain, upaya untuk mencari sesuap nasi di negeri orang membuat mereka harus meninggalkan si buah hati sehingga minim pengawasan. Dampaknya, pernikahan dini pun berulang terjadi. Lingkaran setan yang menjerat keselamatan ibu dan anak ini tidak akan pernah terurai.