Muda Menikah Rawan Mengundang Mara
Pernikahan anak masih saja terjadi di zaman digital ini. Nasib generasi yang muncul setelahnya menjadi taruhan utama.
Di usia sekolah, ratusan anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, harus menghadapi babak baru kehidupan, yaitu menikah. Faktor ekonomi, putus sekolah, hingga hamil di luar nikah menjadi pemicunya.
Tempat antrean Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu siang itu, Jumat (17/4/2021), ramai. Hampir seluruh kursi penuh oleh pasangan muda beserta keluarga dan kerabatnya. Beberapa pasangan bahkan sudah berpakaian seragam bak suami istri.
Mereka sedang mengurus dispensasi nikah karena berusia di bawah 19 tahun. R dan N yang mengenakan pakaian bermotif serupa, misalnya, masih berumur 18 tahun. Keduanya duduk berdampingan dan sesekali begenggaman tangan.
Ketika gilirannya menjalani sidang, hakim Engkung Kurniati Imron bertanya kepada R, ”Ngerti enggak sih jadi kepala keluarga? Apa yang harus dikerjakan?” R menjawab, dirinya harus menafkahi istri dan anaknya. R sama sekali belum punya cita-cita anaknya akan sekolah di mana.
Kurniati lalu mengalihkan pertanyaan kepada N. ”Kamu enggak mau cari suami yang seperti camat? Pakai sepatu bagus kalau kerja?” katanya. ”Enggak, saya maunya ini saja,” ucap N yang sudah hamil tiga bulan, hasil hubungannya dengan R.
Petikan percakapan itu diceritakan Kurniati kepada Kompas setelah memimpin sidang dispensasi. Menangani sidang anak, ia tidak mengenakan jubah hakim. Candaan pun terselip dalam sidang agar anak tidak merasa tegang.
Keluarga yang datang dari Kecamatan Gabuswetan, sekitar 40 kilometer dari kantor pengadilan, merasa lega permohonan dispensasi nikah R dan N dikabulkan. ”Dia (N) udah gitu (hamil), jadi langsung dinikahin aja,” kata Sri Suryati (33), kakak R.
Sri mewakili orangtua R dalam sidang. Ibunya sudah berpulang beberapa tahun lalus, sedangkan ayahnya stroke dan tidak bisa ke mana-mana. Setidaknya begitu yang tertulis dalam surat keterangan sakit ayahnya.
Setelah menikah, R ingin fokus bekerja di toko dan menafkahi istri dan calon bayinya. ”Gaji saya bisa Rp 2,5 juta per bulan (di atas upah minimum Indramayu, Rp 2,37 juta), sudah mampu untuk nikah,” katanya.
R dan N sudah putus sekolah sejak dua tahun lalu dengan ijazah terakhir SMP. Saat ditanya keinginan untuk sekolah lagi, keduanya menunduk dan menggelengkan kepala. N memilih jadi ibu rumah tangga dan mengurus janinnya.
Baca juga : Faktor Ekonomi dan Pergaulan Bebas Picu Perkawinan Anak di Indramayu
Permohonan R dan N hanyalah satu dari 17 pengajuan dispensasi nikah yang disidangkan hari itu. Sejumlah pengajuan ditunda karena tidak memenuhi syarat, seperti tidak ada orangtua/wali anak atau tidak bisa membuktikan alasan orangtua mereka tidak hadir karena sakit.
Sejumlah pasangan remaja didampingi seorang aparat desa untuk menyiapkan jawaban ketika ditanya hakim, semacam briefing. ”Kalau ditanya penghasilan, aja omong slawe (jangan bilang Rp 25.000). Nanti, enggak dikasih nikah,” kata seseorang kepada pasangan yang bakal masuk sidang.
Kurniati mengaku, tidak bisa menolak pengajuan perkara. Namun, pihaknya berupaya meyakinkan kedua calon pengantin agar siap menempuh bahtera pernikahan. ”Ada yang usia 15 tahun nangis-nangis di sidang supaya permohonannya dikabulkan. Alasannya, mereka mau ketemu terus dan tidak sekolah lagi,” katanya.
Ada juga yang sudah hamil duluan, seperti N dan R, sehingga keluarga mendesak agar dinikahkan. Jika tidak, keluarga harus menanggung malu. Padahal, tidak sedikit dari calon pengantin itu belum siap secara ekonomi dan mental.
Gadget untuk sekolah daring dipakai main (pacaran) dengan temannya. Terus berhenti sekolah dan kawin.
Dalam catatan PA Indramayu, perkara dispensasi kawin melonjak dari sebelumnya 251 kasus pada 2019 menjadi 753 kasus tahun lalu. Artinya, rata-rata dua anak menikah di Indramayu setiap hari selama 2020. Data ini belum termasuk anak yang menikah siri.
Kurniati menilai, lonjakan perkara dispensasi kawin terjadi seiring perubahan regulasi usia pernikahan minimal 16 tahun pada perempuan menjadi 19 tahun sesuai dengan laki-laki. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa usia perkawinan minimal 19 tahun.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga memicu pernikahan anak. ”Gadget untuk sekolah daring dipakai main (pacaran) dengan temannya. Terus berhenti sekolah dan kawin,” ucapnya.
Baca juga : Dunia Mencegah Perkawinan Anak di Masa Pandemi
Padahal, pernikahan anak menimbulkan masalah baru. Tidak hanya ketahanan keluarga yang rapuh, pernikahan usia anak juga berdampak pada kesehatan, hingga kekerasan rumah tangga.
Juni 2019, misalnya, SP (15), warga Karangampel, meregang nyawa di tangan UN (19), suaminya. SP dicekik sampai mati oleh UN karena minta jalan-jalan setelah Lebaran.
UN sudah lama putus sekolah dan tidak punya pekerjaan tetap. Sementara SP saat itu masih duduk di bangku SMP. Ia putus sekolah karena menikah. Kedua keluarga sepakat menikahkan mereka karena hubungan sepasang remaja ini terlalu dekat dan dikhawatirkan menjadi aib bagi keluarga.
Pengalaman Rasminah (35), warga Desa Krimun, Kecamatan Losarang, tidak kalah kelam. Ia menikahkah saat usia 13 tahun, tepat setelah lulus SD, atas permintaan ibunya yang seorang buruh tani dan pembantu. Ayahnya sudah lama lumpuh. Cita-citanya jadi guru pupus sudah.
Mungkin karena saya enggak bisa urus suami. Saya kan masih kecil waktu itu, masih mau main.
Ia melahirkan di usia 14 tahun. Namun, suaminya pergi entah ke mana. ”Mungkin karena saya enggak bisa urus suami. Saya kan masih kecil waktu itu, masih mau main,” kenangnya.
Rasminah lalu menikah lagi dan melahirkan seorang anak. Lagi-lagi, suaminya pergi tanpa kabar. Ia menjanda dengan dua anak. Tak lama kemudian, orangtuanya memintanya menikah lagi dengan orang di kecamatan lain. Sekitar delapan tahun bersama, ia dikaruniai seorang anak.
Ia tidak hanya mengurus tiga anak, tetapi juga suaminya, mertuanya, dan ternak keluarga. Kakinya sempat dipatok ular sehingga ia harus berjalan dengan kruk. Ketika suami ketiganya meninggal, ia kembali ke kampung. Rasminah kembali menikah dan melahirkan dua anak. Kini, ia dan suami mengurus lima anak. Suaminya yang seorang petani juga menafkahinya.
Tidak ingin anak-anak seperti dirinya, Rasminah bersama dua korban perkawinan anak lainnya menjadi pemohon Uji Materi Pasal 7 Ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi pada 2017. Dua pemohon itu adalah Endang Wasrinah (35), warga Indramayu, dan Maryanti (30), warga Bengkulu Tengah.
Bersama tim Koalisi +18, pengajuan itu membuahkan hasil. Usia pernikahan anak kini minimal 19 tahun. Dengan penambahan usia itu diharapkan perkawinan anak berkurang. Sebab, menikah muda itu tidaklah mudah. ”Stop perkawinan anak. Cukup saya saja yang merasakannya dan menderita,” kata Rasminah.
Baca juga : Melindungi Anak Perempuan dari Pernikahan Dini