Kemiskinan akibat pandemi Covid-19 membuat anak perempuan dihadapkan pada posisi untuk menikah dini guna mengatasi problem keuangan keluarga.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 membawa risiko peningkatan anak menikah dini di dunia. Sekalipun menghadapi tantangan berat, target pengurangan perkawinan anak dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan harus tetap menjadi prioritas.
Pandemi Covid-19 bukan hanya membawa dampak meninggalnya 1,34 juta penduduk dunia dan kelesuan perekonomian global, tetapi juga berpengaruh pada meningkatnya perkawinan anak. Laporan ”The Global Girlhood Report 2020” oleh Save the Children menunjukkan ada dampak sosial pandemi bagi tumbuh kembang anak berupa perkawinan usia muda.
Sebanyak 498.000 anak perempuan di seluruh dunia berisiko menikah tahun ini karena pandemi. Melihat sebaran wilayahnya, Asia Selatan menjadi area dengan potensi pernikahan dini paling besar, yakni diperkirakan mencapai 191.200 anak. Asia Selatan diikuti Afrika Barat dan Tengah, serta Amerika Latin dan Karibia.
Terjadinya fenomena ini dapat dilihat dari aspek historis dan efek bencana. Faktor pertama tidak dapat dilepaskan dari kondisi perkawinan anak yang sudah lama terjadi di beberapa wilayah. Selama ini negara-negara di Asia Selatan, seperti India, Bangladesh, dan Pakistan, merupakan wilayah dengan populasi pernikahan anak terbanyak di dunia.
Data Unicef yang dipublikasikan pada Juli 2019 menyebutkan, populasi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum berumur 18 tahun di India mencapai 15.509.000 orang. Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak di dunia.
Setelah India, populasi terbanyak kedua ialah Bangladesh, yaitu 4.451.000 orang. Selain India dan Bangladesh, negara di wilayah Asia Selatan yang memiliki banyak populasi perkawinan anak ialah Pakistan, yaitu 1.909.000 perempuan. Di luar wilayah Asia Selatan, kawasan Afrika Barat dan Tengah, seperti Nigeria dan Kongo, memiliki problem dengan perkawinan usia belia.
Kemiskinan
Faktor lain yang turut membuat risiko perkawinan anak meningkat pada saat pandemi ialah kemiskinan dan putus sekolah. Kajian yang dilakukan Unicef dan Save the Children menyebutkan sekitar 150 juta anak hidup dalam kemiskinan multidimensi, yakni mereka tidak dapat mengakses layanan kesehatan, pendidikan, gizi/nutrisi, perumahan, air bersih, dan sanitasi yang layak.
Keterbatasan akses pendidikan merupakan salah satu dampak terdalam bagi anak dan remaja. Pandemi membuat 188 negara menutup sekolah yang memengaruhi pembelajaran lebih dari 1,6 miliar pelajar di seluruh dunia. Sekalipun beralih ke sistem belajar daring, tak semua anak didik dapat mengikutinya secara maksimal.
Banyak sekolah kekurangan sumber daya untuk berinvestasi dalam pembelajaran digital. Di sisi pelajar, banyak anak dari rumah tangga miskin tidak memiliki akses gawai dan internet.
Dampak ekonomi pandemi membuat lebih banyak keluarga kehilangan penghasilan yang berdampak pada peningkatan angka kemiskinan. Kondisi ini membuat anak perempuan tak memiliki banyak pilihan. Opsi untuk bertahan hidup ialah turut bekerja untuk menghidupi keluarga mereka atau segera menikah.
Keterbatasan pilihan ini kurang menguntungkan bagi anak perempuan. Ancaman putus sekolah lebih banyak dialami pelajar perempuan di masa pandemi. Pengalaman wabah yang pernah terjadi sebelumnya menunjukkan, kondisi pandemi membuat anak didik perempuan mendapat kesempatan lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki untuk kembali bersekolah.
Pencegahan
Munculnya pernikahan anak di masa pandemi menjadi tantangan besar program penurunan angka pernikahan dini di dunia. Sebelum pandemi, India, yang menyumbang satu dari tiga pernikahan anak secara global, telah berhasil menginspirasi dunia dalam upaya mengurangi pernikahan anak melalui media pendidikan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat.
Target yang ditetapkan di Asia Selatan pada 2021 ialah mencegah 500.000 kasus pernikahan anak. The South Asia Initiative to End Violence against Children (SAIEVAC) menerjemahkan target itu dengan melakukan berbagai aksi regional, seperti reformasi legislasi, meningkatkan akses anak perempuan ke layanan pendidikan dan kesehatan, memberdayakan anak perempuan, serta memberikan advokasi dan pemantauan.
Di Bangladesh, Kementerian Urusan Wanita dan Anak bersama Unicef melakukan kampanye multimedia untuk mengakhiri pernikahan anak di seluruh negeri dengan slogan ”Raise the Beat to End Child Marriage”. Kampanye tersebut mampu menarik minat 25 juta pengguna media sosial di Bangladesh.
Walau terbatas secara fisik akibat pandemi, kampanye daring yang terus dilakukan Pemerintah Bangladesh menjadi langkah penting untuk tetap mengupayakan program mengakhiri pernikahan anak. Perkawinan sebelum usia 18 tahun membawa berbagai risiko, seperti tingkat kematian ibu yang tinggi dan memaksa perempuan untuk membesarkan anak saat mereka sendiri masih anak-anak.
Indonesia juga memiliki problem perkawinan anak. Data BPS, Bappenas, dan Unicef menunjukkan pada 2018 terdapat 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun. Sulawesi Barat memiliki prevalensi tertinggi, yaitu 19,43 persen. Sementara Jawa Barat memiliki jumlah perkawinan anak tertinggi yang diperkirakan mencapai 273.300 kasus.
Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah melakukan amendemen Undang-Undang Perkawinan pada September 2019. Batas usia minimal bagi anak perempuan untuk bisa menikah dengan izin orangtua dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Pemerintah juga meluncurkan Strategi Nasional untuk Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) pada Februari 2019 sebagai komitmen menekan perkawinan anak.
Namun, dampak pandemi yang mengancam upaya mengakhiri praktik perkawinan anak bukan hanya membutuhkan komitmen di atas kertas. Tantangan besar tersebut harus diikuti ketegasan dan implementasi terus-menerus agar masa depan anak perempuan di Indonesia tetap terjaga di masa pandemi. (LITBANG KOMPAS)