Konflik Lahan di Desa Ramang Tak Kunjung Usai, Masyarakat Dirugikan
Konflik lahan di Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tak menemui ujungnya. Baik warga maupun perusahaan perkebunan masih bersikeras saling klaim lahan. Dampaknya pun merugikan masyarakat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS — Konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit di Desa Ramang, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tak kunjung usai. Mereka yang tak lagi bisa berkebun menjadi buruh harian, bahkan memilih menambang ilegal di pinggiran Sungai Kahayan. Selain itu, konflik sosial di antara warga juga tidak terhindarkan.
Warga Desa Ramang berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit di wilayahnya sejak tahun 2015. Ribuan hektar lahan milik warga diklaim perusahaan.
Berdasarkan pantauan Kompas, ribuan hektar lahan di lokasi milik perusahaan sudah menjadi kebun sawit dan tempat pembibitan. Lahan tersebut bahkan milik beberapa kelompok tani, salah satunya Kelompok Tani Serayung Jaya dengan luas mencapai 80 hektar milik 40 petani asal Desa Ramang.
Kepala Desa Ramang, Ramba, mengungkapkan, perusahaan pernah diberi sanksi adat oleh tetua adat melalui Damang. Namun, sampai saat ini tidak diindahkan.
Ramba menjelaskan, sengketa lahan tersebut terjadi antara warga dan PT Agrindo Green Lestari (AGL) yang merupakan anak perusahaan PT Ciliandry Angky Abady (CAA). Bahkan, warga saat ini menutup aktivitas perusahaan di lokasi karena tak ada solusi antara perusahaan dan warga.
Konflik bermula ketika perusahaan perkebunan sawit tersebut datang ke desanya dan melakukan pembukaan lahan. Kebun karet, cempedak, dan buah-buahan lainnya ditebang berganti dengan sawit.
”Kami kehilangan pekerjaan, tak punya penghasilan karena tempat mencari nafkah hilang, tidak bisa lagi berkebun, berburu, dan lainnya. Mau tidak mau banyak warga akhirnya nyedot emas, habis itu ditangkap atau dibubarkan polisi,” kata Ramba.
Ramba mengungkapkan, warga tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan. Sementara ladang yang menjadi tempat usaha mereka sudah hilang.
Menurut Ramba, setidaknya ada 2.000 hektar lahan tak hanya dari Desa Ramang, tetapi hampir seluruh desa di Kecamatan Banama Tingang yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
”Sudah puluhan kali pertemuan dengan pihak perusahaan, polisi, dan pemerintah, tetapi tak ada solusinya. Kami selalu minta bukti otentik dari perusahaan yang katanya sudah mengganti rugi lahan atau membeli tanah warga, tetapi tidak pernah dikasih,” ujar Ramba.
Jonadi (43), warga Desa Ramang, harus sembunyi-sembunyi beraktivitas menambang di pinggir sungai lantaran takut ketahuan polisi. Banyak warga terpaksa menambang di pinggir sungai lantaran tak lagi bisa menggarap kebun.
”Pemerintah punya banyak aturan, tetapi tidak ada yang memberikan kami solusi. Jadi, yang bisa kami buat cuma ini,” ujar Jonadi.
Pemerintah punya banyak aturan, tetapi tidak ada yang memberikan kami solus. Jadi, yang bisa kami buat cuma ini.
Hal serupa dialami oleh Titik Gideon (48), warga Ramang. Setidaknya ada 9 hektar kebun milik leluhurnya yang digarap perusahaan. Kebun karet dan buah-buahan lainnya sudah habis, beralih fungsi menjadi tanaman sawit.
”Pesan nenek kami dulu tanah tidak boleh dijual, dibuang, atau dibiarkan, karena itu keringat leluhur yang harus dijaga. Dengan kejadian seperti ini, kami tidak merasakan keadilan,” ujar Titik.
Titik menyampaikan, ia khawatir, dengan rusaknya hutan, akan menimbulkan bencana alam seperti yang ia lihat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan di Nusa Tenggara Timur. ”Masa mau menunggu sampai bencana datang baru sadar,” ujarnya.
Saat ini, warga di Ramang, juga di Kecamatan Banama Tingang, pada umumnya didampingi oleh beberapa organisasi masyarakat dalam mempertahankan haknya. Beberapa kali mereka sudah melakukan hinting pali atau ritual adat pemberi batas agar perusahaan tidak beroperasi sampai masalahnya selesai. Puncaknya adalah pada saat warga bersama Forum Pemuda Dayak (Fordayak) melakukan ritual tersebut di kantor milik perusahaan di kebun.
Dalam upaya mediasi di Polresta Palangkaraya, Koordinator Humas PT CAA Dedy Suwandi menyampaikan, perusahaan sudah mengikuti segala tahapan dan berjalan sesuai aturan yang berlaku. Ia berjanji siap untuk duduk bersama masyarakat menyelesaikan masalah tersebut.
”Kami sudah beraktivitas sejak 2017, lahannya pun sudah diukur dan disaksikan semua pihak. Jadi, tiga tahun lebih beraktivitas selama ini aman-aman saja,” ujar Dedy.