Sering Tumpang Tindih, Regulasi Pemda Perlu Ditinjau Dengan e-Perda
Tumpang tindih regulasi hingga peraturan yang sudah tidak relevan mengganggu jalannya birokasi di tingkat pemerintahan daerah. Teknologi informasi seperti E-Perda diharapkan bisa mengatasi masalah tersebut.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Peraturan daerah yang tumpang tindih mengganggu jalannya birokrasi. Untuk itu, dibutuhkan penerapan teknologi informasi untuk merancang dan meninjau produk hukum yang ada.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menyatakan, banyak peraturan daerah yang berlaku saat ini belum dievaluasi dan dianggap mengganggu kinerja. Padahal, regulasi yang efektif dan efisien dari pemerintah daerah dibutuhkan agar layanan ke masyarakat bisa optimal.
“Kita sudah mengalami istilahnya keracunan regulasi. Ratusan ribu regulasi sudah dibuat, tapi tidak tahu apakah masih layak untuk dipakai. Kami melihat dan mengidentifikasi, ketika ada pemda yang lamban, prosedur berbelit, tidak inovatif, ini menjadi ciri keracunan regulasi,” ujar Akmal dalam peluncuran e-Perda Provinsi Jawa Barat yang disaksikan secara daring di Bandung, Jumat (16/4/2021).
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Akmal menjelaskan, Kemendagri meluncurkan aplikasi digital e-Perda. Teknologi informasi ini bertujuan membantu pemda mendeteksi norma dan produk hukum yang dibuat berdasarkan kebutuhannya.
Menurut Akmal, regulasi di tingkat daerah perlu diperhatikan karena menjadi landasan hukum setiap organisasi perangkat daerah (OPD) dalam melayani masyarakat. Karena itu, produk hukum yang dibuat dengan efektif dan efisien serta tidak tumpang tindih dengan aturan lainnya.
Dengan aplikasi ini, tutur Akmal, produk-produk hukum yang dibuat pemda mampu dievaluasi. Teknologi e-Perda akan melihat sejauh mana rancangan peraturan hingga yang telah ada ini berkaitan dengan produk hukum lainnya.
“Tidak hanya untuk mempermudah tata kelola, aplikasi ini juga bisa mendeteksi norma antara produk hukum yang satu dengan yang lain. Bisa saja sudah diatur oleh regulasi yang lebih tinggi, atau bahkan bertentangan dengan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Kondisi ini bisa menghambat birokrasi dalam pemerintahan. Karena itu, Akmal menyatakan, aplikasi ini mampu menjadi solusi tepat melahirkan produk hukum yang membantu kinerja perangkat daerah dalam melayani publik. “Kita butuh kecepatan. Sementara itu, kebutuhan masyarakat adalah hal yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyambut baik peluncuran aplikasi birokrasi e-Perda. Jabar menjadi daerah kedua setelah Provinsi Banten dan menjadi salah satu proyek percontohan. Hal ini sejalan dengan keinginan Jabar untuk menjadi provinsi digital yang maju di Indonesia.
Kamil berharap e-Perda bisa menyelesaikan setidaknya lima permasalahan di dalam regulasi. Problem ini antara lain hyper regulation, tumpang tindih, inkonsistensi, multitafsir, dan disharmoni.
Kamil menjelaskan, hyper regulation terjadi karena jumlah perda menjadi ukuran produktivitas, sehingga semua aturan dibuat perda. Padahal, jika ada pengamatan lebih lanjut, tidak menutup kemungkinan ada produk hukum yang telah mengaturnya. Hal ini juga berdampak pada empat masalah lainnya.
“Kami akan berkomitmen menjalankan e-Perda dan seluruh 27 kabupaten dan kota mulai tahun 2021 akan menggunakan aplikasi ini. Semua ini diharapkan bisa memudahkan koordinasi sehingga tidak multitafsir, dan terintegrasi dengan kementerian lembaga lainnya,” ujar Kamil.