Dinilai Lamban, Perencanaan Tata Ruang Kalteng Perlu Upaya Kolaborasi
Persoalan tata ruang di Kalteng menimbulkan banyak masalah, seperti konflik sosial hingga tumpang tindih kawasan. Diperlukan komitmen luar biasa untuk mencapai kesepakatan dalam merencanakan tata ruang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Perencanaan tata ruang dan wilayah di Kalimantan Tengah dinilai lamban. Dari 14 kabupaten/kota, baru satu kabupaten yang sudah menyelesaikan rencana detail tata ruang. Perlu kolaborasi menyeluruh dari pusat hingga ke desa untuk selesaikan masalah tersebut.
Hal itu terungkap dalam webinar dengan tema ”Tata Ruang Kesepakatan Provinsi Kalimantan Tengah untuk Kepentingan Bersama” yang diselenggarakan oleh Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) pada Kamis (15/4/2021). Kegiatan itu dihadiri oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong; anggota DPD, Agustin Teras Narang; Pelaksana Tugas Dirjen Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri Indra Gunawan; serta beberapa pengamat tata ruang dan pejabat daerah.
Kalteng memiliki sejumlah masalah tata ruang. Kemendagri mencatat persoalan yang dihadapi antara lain baru Kabupaten Gunung Mas yang memiliki rencana detail tata ruang (RDTR) sebagai penunjang dibentuknya rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kalteng, terdapat enam kabupaten yang rencana tata ruangnya perlu direvisi, dan banyak hal lain.
Pelaksana Tugas Dirjen Administrasi Wilayah Kemedagri Indra Gunawan menjelaskan, saat ini kawasan nonhutan di Kalteng hanya 18 persen, sedangkan 82 persen merupakan kawasan hutan dari total lebih kurang 15,3 juta hektar luas provinsi tersebut. Dengan komposisi itu, menurut Indra, pemerintah akan kesulitan melakukan kegiatan pembangunan sehingga diperlukan penyesuaian dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan.
”Apalagi di Kalteng ada dua proyek strategis nasional, yakni food estate dan kereta api, sehingga kami mendorong betul agar pemerintah kabupaten dan kota di Kalteng segera membuat RDTR,” kata Indra.
Anggota DPD, Agustin Teras Narang, menambahkan soal masalah tata ruang di Kalteng. Menurut Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu, masalah tata ruang di Kalteng tidak terlepas dari tumpeng tindih kebijakan pusat dan daerah.
Komposisi kawasan nonhutan sebesar 18 persen dan hutan sebesar 82 persen itu merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 tentang RTRWP Kalteng. Kebijakan itu mengganti Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 yang menetapkan kawasan nonhutan mencapai 30,76 persen atau 4,7 juta hektar. Narang mempertanyakan penyusutan kawasan nonhutan pada tahun 2015, padahal pemberian izin dan pembukaan lahan tidak terhenti.
Karut-marut itu diperparah oleh keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 529 Tahun 2012 yang menganggap penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan bukan kehutanan, termasuk perkebunan sawit, sebagai ketelanjuran.
”Sejak saat itu, problem tata ruang di Kalteng menjadi rumit dan sangat mengganggu berbagai agenda pembangunan, termasuk beberapa program nasional Pak Presiden Jokowi yang tidak berjalan maksimal di Kalteng,” kata Narang.
Pengamat tata ruang di Kalteng, Fatkhurohman, mengungkapkan, pembentukan RTRW Kalteng termasuk yang paling lamban dibuat di Indonesia. Butuh 81 bulan atau lebih kurang tujuh tahun untuk membuatnya, tetapi belum juga tuntas.
”Tapi, tak ada sanksi untuk itu karena memang tidak ada tercantum dalam kebijakan atau aturannya, pemerintah lalu membuat kebijakan TORA yang kemudian berhasil membuat masalah menjadi pecahan masalah, jadi bukan solusi,” ujar Fatkhurohman.
Fatkhurohman mengungkapkan, RTRW semakin tak selesai juga lantaran adanya program strategis nasional (PSN), seperti lumbung pangan (food estate) dan rel kereta api. Menurut dia, seharusnya tata ruang disiapkan terlebih dahulu, baru menjalankan program. Tanpa perencanaan itu, menurut dia, sama saja dengan merencanakan kegagalan.
”Seharusnya kalau ada PSN di satu tempat, tata ruangnya diperbaiki terlebih dahulu, bukan tempatnya yang disesuaikan dengan programnya. Ini yang keliru,” katanya.
Seharusnya kalau ada PSN di satu tempat, tata ruangnya diperbaiki terlebih dahulu, bukan tempatnya yang disesuaikan dengan programnya. Ini yang keliru.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong. Menurut dia, masih banyak kendala dalam pemberian akses kepada masyarakat ke ruang kelolanya lantaran masih tumpang tindih dengan sektor lain, termasuk perkebunan sawit.
”Perlu upaya kesepakatan bersama dan kolaborasi agar pengelolaan ruang di Kalteng jauh lebih baik ke depan,” ujar Alue.
Alue menjelaskan, Kalteng mendapatkan alokasi perhutanan sosial seluas 1,1 juta hektar, tetapi realisasinya baru 265.990,77 ha (24,18 persen). Rinciannya, hutan desa sebanyak 53 unit izin dengan luas mencapai 125.784 ha, lalu hutan kemasyarakatan dengan 77 unit izin yang luasnya mencapai 79.062,99 ha, lalu hutan tanaman industri (HTR) dengan 51 unit izin yang luasnya mencapai 57.640,96 ha, dan terakhir hutan adat yang baru satu izin dengan luas mencapai 3.512,82 ha.
”Kebijakan itu perlu disepakati agar ada perlindungan hukum bagi masyarakat dan tidak lagi menciptakan konflik sosial,” katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Dwi Darmawan mengatakan, soal ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan menjadi areal perkebunan sudah diatur dalam kebijakan dan pihaknya mendukung untuk dilakukan perbaikan. Di satu sisi, ia juga mengkritisi pemerintah soal kebijakan lingkungan, khususnya gambut.
”Di Indonesia, mengapa gambut haram (untuk dikelola jadi kebun), sedangkan di negara lain mereka manfaatkan gambutnya. Tidak ada negara yang dalam pembangunannya peduli lingkungan, karena yang utama masyarakatnya, baru bicara lingkungannya,” kata Dwi.