Potensinya Sudah Diperingatkan, Bencana di NTT Tidak Terantisipasi
Meskipun potensinya sudah diperingatkan, bencana di Nusa Tenggara Timur tidak terantisipasi. Imbasnya, lebih dari 100 orang tewas akibat banjir, longsor, dan banjir bandang yang dipicu Siklon Tropis Seroja tersebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Bencana yang menewaskan lebih dari 100 orang di Nusa Tenggara Timur, Minggu (4/4/2021), menjadi pelajaran pahit bagi semua pihak. Meskipun potensi banjir, banjir bandang, dan longsor sudah diperingatkan karena dipicu Siklon Tropis Seroja, risiko bencana tidak terantisipasi sehingga menelan banyak korban.
Ahli kebencanaan Surono mengatakan, sebelum terjadi bencana di NTT, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberitahukan adanya Siklon Tropis Seroja sehingga berpotensi menyebabkan cuaca ekstrem. Selain itu, Badan Geologi juga sudah mengingatkan ancaman lahar hujan di aliran sungai yang berhulu di Gunung Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata.
“BMKG dan Badan Geologi sudah memberikan informasi sangat jelas. Sebetulnya, kalau (potensi bencana) bisa diantisipasi, ini akan menjadi peristiwa alam biasa,” ujarnya saat dihubungi dari Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/4/2021).
Menurut Surono, peringatan potensi bencana itu seharusnya ditindaklanjuti menjadi kewaspadaan bagi masing-masing pemerintah daerah. Dengan begitu, dampak bencana dapat diminimalkan.
“Ini mesti menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama. Sekarang yang dibutuhkan solusi, bukan saling menyalahkan,” ucapnya.
Korban bencana di NTT tersebar di sejumlah kabupaten/kota. Salah satu lokasinya berada di lereng Gunung Ile Lewotolok.
Gunung setinggi 1.423 meter ini menyimpan material vulkanik lepas. Saat diguyur hujan lebat dalam waktu lama, material itu rawan longsor dan terbawa ke hilir melalui aliran sungai.
“Materialnya beragam, dari kerikil, kerakal, dan bongkah. Daya dorongnya kuat sekali. Saat terjadi banjir bandang lahar hujan, material tersebut terbawa arus sungai serta akan sangat merusak dan mematikan,” jelasnya.
Gunung Ile Lewotolok berstatus Siaga sejak 29 November 2020. Dua hari sebelum statusnya dinaikkan, terjadi erupsi dengan kolom abu setinggi 500 meter di atas puncak. Masyarakat direkomendasikan tidak beraktivitas dalam radius tiga kilometer dari puncak.
Peringatan potensi bencana itu seharusnya ditindaklanjuti menjadi kewaspadaan bagi masing-masing pemerintah daerah. Dengan begitu, dampak bencana dapat diminimalkan
Akan tetapi, radius ancaman sekunder seperti lahar hujan bisa lebih jauh dari ancaman langsung berupa awan panas dan lontaran material pijar. Sebab, jangakaun material vulkanik yang terbawa hujan bergantung pada debit air sungai dan daya gerusnya.
Oleh sebab itu, meskipun sudah berada di luar zona bahaya langsung, masyarakat harus tetap waspada saat hujan lebat. “Terutama yang tinggal atau beraktivitas di alur sungai dan lembah,” ujar mantan Kepala Badan Geologi itu.
Menurut Surono, saat curah hujan tinggi seperti saat ini, lahar hujan berpotensi terjadi di gunung api lainnya, seperti Gunung Merapi, Semeru, dan Sinabung. Sebab, gunung yang baru atau dalam fase erupsi mempunyai material vulkanik lepas.
Masyarakat serta penambang batu dan pasir di sekitar sungai diimbau ekstra hati-hati mewaspadai ancaman lahar hujan. “Jangan beraktivitas di alur sungai karena saat ini gunungnya sedang aktif. Mudah-mudahan kejadian ini (bencana di NTT) menjadi pelajaran sangat pahit yang harus dipegang setiap saat,” ujarnya.
Surono menjelaskan, banyaknya masyarakat tinggal di kawasan rawan bencana, seperti di sempadan sungai yang berhulu di gunung api, tidak bisa dihindari. Sebab, hal itu berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam mencari air dan sumber pangan.
Oleh karenanya, masyarakat harus beradaptasi dengan ancaman bencana di sekitarnya. Salah satunya dengan melakukan mitigasi berdasarkan peta rawan bencana.
“Peta-peta itu (rawan bencana) diharapkan menjadi pertimbangan dalam penataan ruang dan wilayah,” ujarnya.
Sebelumnya Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Andiani mengingatkan pentingnya pembangunan berbasis risiko bencana untuk meminimalkan dampaknya. Berdasarkan peta rupabumi, di daerah terdampak bencana di NTT banyak permukiman dibangun di sekitar alur sungai.
Imbasnya, permukiman warga rawan dilanda banjir bandang dan lahar hujan. “Kami menyarankan untuk tidak mengembangkan permukiman di sekitar alur sungai,” ujarnya.