Pembangunan jalan tol di Kalimantan di satu sisi mendatangkan manfaat ekonomi. Meski demikian, faktor ekonomi bukan satu-satunya yang membuat warga hidup nyaman.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Jalan tol pertama di Kalimantan, yakni Tol Balikpapan-Samarinda di Kalimantan Timur, memberi peluang ekonomi dengan lalu lalang kendaraan di jalur baru dan mempercepat mobilitas warga. Meski demikian, persoalan ganti rugi kepada warga tak kunjung beres. Ada pula kekhawatian menurunnya daya dukung lingkungan jika terjadi pembukaan lahan semakin luas jika dilakukan terburu-buru.
Hingga April 2021, dari lima seksi Tol Balikpapan-Samarinda, baru tiga seksi yang bisa dilewati. Sejak Desember 2019, berbagai jenis mobil mulai lalu lalang di Tol Balikpapan-Samarinda di seksi II, III, dan IV dengan akses gratis. Tiga seksi itu merentang sepanjang 64,87 kilometer dari Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, hingga Jembatan Mahkota II, Samarinda. Jalur itu mulai berbayar pada 14 Juni 2020 setara Rp 1.280 per kilometer.
Uding (39), sopir rental mobil, merasakan manfaat kehadiran tol tersebut. Ia bisa menghemat waktu sekitar satu jam perjalanan Balikpapan-Samarinda dan sebaliknya. Jika melalui jalan protokol lintas kota, Balikpapan-Samarinda bisa ditempuh 2,5-3,5 jam. Jalan tol membuat waktu tempuh lebih cepat dengan total waktu tempuh 2-2,5 jam.
”Menyopir jadi lebih ringan karena jalan di tol datar dan tidak ada kelokan ekstrem. Kemungkinan mencari penumpang untuk diantarkan jadi lebih banyak juga karena waktu di jalan jadi berkurang,” katanya di Balikpapan, Kamis (25/3/2021).
Jalur itu juga menjadi opsi baru bagi sejumlah perusahaan pertambangan dan penggalian yang berkantor di Balikpapan. Meski perusahaan tambang banyak melakukan operasi di Kutai Kartanegara dan Samarinda, sejumlah perusahaan pertambangan dan pendukungnya berkantor di Balikpapan.
Banyaknya kendaraan yang melintas di jalur baru tersebut juga memberi peluang ekonomi bagi warga di sekitar jalan tol meski belum signifikan. Rudiah (56), pemilik warung di seberang pintu tol di Samboja, mengatakan, warungnya jadi lebih banyak pembeli dibandingkan sebelum ada jalur tol tersebut.
Sebelumnya, jalur itu jarang sekali dilalui oleh kendaraan. Sebab, pintu gerbang Tol Balikpapan-Samarinda di Samboja berjarak sekitar 2 kilometer dari Jalan Soekarno-Hatta, jalan utama lintas Balikpapan-Samarinda.
Setidaknya, Rudiah bisa mendapat keuntungan Rp 100.000 per hari dari yang sebelumnya sekitar Rp 50.000 per hari. Biasanya, pengendara singgah untuk membeli air kemasan atau roti di warungnya untuk bekal perjalanan.
Ganti rugi dan kekhawatiran
Di tengah rezeki baru bagi sejumlah warga tersebut, masih ada 57 keluarga yang lukanya belum mengering karena belum mendapat ganti rugi atas lahan yang mereka garap dan kini sudah menjadi pintu gerbang tol Balikpapan-Samarinda di Samboja. Total lahan warga yang belum mendapat ganti rugi sekitar 35 hektar di Kelurahan Sungai Merdeka, Kutai Kartanegara.
Yoyon Sutiono (42), salah seorang warga, mengumpulkan surat-surat hak guna lahan milik warga tersebut. Mereka rata-rata memiliki surat perwatasan, sejenis surat batas hak guna lahan yang diterbitkan kelurahan, bertarikh 1970-an. Ribuan pohon karet, kolam ikan, dan buah-buahan yang dikelola warga diratakan meski belum mendapat kepastian ganti rugi hingga April 2021.
Pertemuan dengan DPRD Kutai Kartanegara hingga DPRD Kaltim sudah dilakukan warga. ”Bulan Februari 2021 sudah ada pertemuan dengan Komisi I DPRD Kaltim. Kami masih menunggu, katanya pihak terkait akan dipanggil untuk mengetahui masalah sebenarnya, seperti Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kaltim dan Kementerian PUPR,” ujar Yoyon.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dalam kunjungan ke Kaltim pada November 2019 menyampaikan bahwa Tol Balikpapan-Samarinda juga akan terhubung dengan jalan bebas hambatan menuju lokasi ibu kota negara baru di sekitar Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Namun, Basuki belum menunjukkan peta jalan yang akan dibangun.
Jika rencana itu terwujud, pembangunan jalan bebas hambatan tersebut akan beririsan dengan banyak lahan milik warga dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Jika ditarik garis lurus, pintu Tol Balikpapan-Samarinda di Samboja menuju Kelurahan Pemaluan harus melewati Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang berfungsi sebagai kawasan konservasi, penelitian, pembibitan, wisata, dan pendidikan.
Kekhawatiran dari rencana itu muncul karena Taman Hutan Raya Bukit Soeharto juga menjadi tempat berpindah satwa endemik dan dilindungi. Satwa yang berada di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, menjadikan lingkungan di sekitarnya untuk berpindah dan mencari makan. Kawasan tersebut antara lain Bukit Bangkirai di Kutai Kartanegara dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Manajer Yayasan Pro Natura Agusdin, yang merupakan mitra pemerintah dalam mengelola Hutan Lindung Sungai Wain, mengatakan, jika pembangunan beririsan dengan hutan-hutan tersebut, perlu dibuat wilayah koridor untuk satwa berpindah. Sebab, satwa seperti beruang madu, orangutan, dan macan dahan akan berpindah sesuai kebutuhannya.
”Binatang itu perlu kawasan yang menunjang untuk berpindah tempat. Jangan sampai terjadi konflik dengan manusia karena tak ada koridor untuk menunjang perpindahan tempat mereka,” katanya. Hal tersebut juga sudah dicatat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam rangkuman eksekutif rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pemindahan Ibu Kota Negara pada 11 Februari 2020.
Berdasarkan Studi Tata Guna Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang dilakukan Suryadi dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, pada tahun 2017, kawasan yang sesuai dengan fungsinya, yakni belukar, rawa, dan air, berjumlah 53.340,95 hektar atau 78,71 persen dari luas kawasan.
Faktor ekonomi bukan satu-satunya yang membuat warga hidup nyaman. Di dalamnya terdapat pula rasa aman dari potensi bencana, kelestarian lingkungan, dan pemenuhan hak saat terjadi pembangunan di lahan mereka.
Sementara itu, penggunaan kawasan taman hutan raya yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan pertambangan, pertanian lahan kering campuran, pertanian lahan kering, tanah terbuka, permukiman, perikanan, dan perkebunan berjumlah 14.425,05 hektar atau 21,29 persen dari luas kawasan.
Kepala Laboratorium Politik Sosial dan Ekonomi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, Bernaulus Saragih menyebutkan, pembangunan di sekitar Bukit Soeharto perlu direncanakan dengan matang. Ia mengatakan, dampak lingkungan perlu diantisipasi dan diminimalkan karena Bukit Soeharto saat ini menjadi ruang hijau yang diapit dua kota besar Kaltim, yakni Balikpapan dan Samarinda.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dalam pertemuan dengan Redaksi Kompas di kantornya, Selasa (2/3/2021), menjelaskan bahwa rencana pembangunan ibu kota negara tinggal menunggu pembahasan rancangan undang-undang di DPR. Jika hal itu selesai tahun ini, pemerintah memiliki agenda untuk merehabilitasi hutan dan lahan serta memulihkan ekosistem di sekitar lokasi ibu kota negara baru.
Dengan melihat kompleksitas persoalan di muka, pembangunan jalan tol di satu sisi mendatangkan manfaat ekonomi bagi warga yang memanfaatkannya dan yang berada di sekitarnya. Meski demikian, faktor ekonomi bukan satu-satunya yang membuat warga hidup nyaman. Di dalamnya terdapat pula rasa aman dari potensi bencana, kelestarian lingkungan, dan pemenuhan hak saat terjadi pembangunan di lahan mereka.