"Sedih sekali, anakku harus merasakan yang dulu aku rasakan, tak punya bapak dan ditinggal ibu bekerja di luar negeri. Malah, dia lebih parah karena ibunya ini cuma TKW (tenaga kerja wanita) yang gagal," ucap MJ (23).
Oleh
PANDU WIYOGA
·6 menit baca
Pada mulanya, mereka adalah seorang ibu. Namun, kemiskinan menggiring ibu menjadi babu. Di kampung, mereka dibiarkan berlinang air mata. Sedangkan, di negeri asing, mereka dibuat berlumuran darah. Mereka harus menanggung hidup celaka semata karena terlahir sebagai perempuan di negeri ini, negeri yang tutup mata menikmati jerih keringat jutaan babu.
Mimpi MJ (23) bekerja di Malaysia berantakan setelah polisi mencokok sang agen, Lindawati Sinaga (37), pada 4 Februari 2021. Kini, MJ dan tiga perempuan lain, yang sebelumnya akan diberangkatkan ke Malaysia dan Singapura oleh Lindawati, ditampung di Shelter Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau (KKP-PMP), Batam, Kepulauan Riau.
MJ bercerita, pada 2020, ia bercerai dengan suami yang dinikahinya tiga tahun sebelumnya. Setelah bercerai, ia harus menghidupi anak laki-laki yang baru berusia 1,5 tahun. Ia mengalami himpitan ekonomi yang luar biasa. Di kampungnya, Cirebon, Jawa Barat, tak banyak lapangan kerja untuk perempuan. Ditambah lagi badai pandemi Covid-19 mendera kencang.
"Di Facebook, temanku yang bekerja jadi PRT (pekerja rumah tangga) di Singapura suka masang status yang bagus-bagus. Enak banget bangun rumah segala macam. Akhirnya, aku tergiur dong, terus minta jalan sama dia," kata MJ, Sabtu (20/3/2021).
Dari situ MJ mendapat kontak Lindawati. Sang agen kemudian beberapa kali menghubungi MJ dan ibunya melalui panggilan video. Lindawati mencoba meyakinkan mereka bahwa ia adalah agen tenaga kerja yang resmi. Ia menjanjikan gaji sekitar Rp 6 juta dan juga menyatakan bersedia menanggung semua biaya prapenempatan, termasuk transportasi dan pembuatan dokumen.
Benar saja, Lindawati mengirim Rp 1,8 juta untuk biaya tes cepat antigen dan tiket pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng ke Bandara Hang Nadim, Batam. Hal itu berhasil meyakinkan MJ untuk meninggalkan kampung pada 31 Januari 2021.
MJ sadar banyak orang mencibir para perempuan yang jauh-jauh bekerja ke luar negeri hanya untuk menjadi babu. Namun, ia tak peduli. Lebih baik menjadi babu daripada membiarkan anak kelaparan. "Yang sekarang aku bisa memang cuma mengurus rumah dan mengurus anak, jadi kalau bisa dapat bayaran dari itu, ya, aku kerjakan semua yang aku bisa sepenuh hati," ujarnya.
MJ berpikir semuanya akan berjalan mulus. Ia ingin dapat menghidupi anaknya dengan menjadi buruh migran, sama seperti yang dilakukan ibunya di masa lampau. Dulu, ibu dari MJ juga bekerja sebagai PRT di Malaysia selama sepuluh tahun. Hal itu terpaksa dilakukan untuk menghidupi empat orang anak setelah sang suami meninggal ketika usia MJ masih bayi.
Kayanya aku di sini dulu aja, cari kerja di Batam. Di rumah ada problem lain, aku disuruh menikah sama laki-laki yang umurnya jauh lebih tua. Padahal, aku belum siap menikah lagi, aku enggak mau tergantung sama laki-laki lagi
Sayang, niat MJ mencari nafkah untuk anaknya hancur di tengah jalan. Polisi menangkap Lindawati karena ternyata ia adalah agen penempatan buruh migran ilegal. Dari setiap orang yang diberangkatkan, Lindawati mengambil gaji mereka antara empat sampai enam bulan secara penuh sebagai pengganti biaya-biaya yang ditanggung si agen ilegal selama proses prapenempatan.
Sampai kini, MJ masih berada di shelter penampungan milik Keuskupan Pangkal Pinang itu. Hampir setiap hari ia menangis teringat anak semata wayangnya. Sebetulnya ia ingin pulang, tetapi ia juga butuh pekerjaan untuk mengisi perut anaknya.
"Kayanya aku di sini dulu aja, cari kerja di Batam. Di rumah ada problem lain, aku disuruh menikah sama laki-laki yang umurnya jauh lebih tua. Padahal, aku belum siap menikah lagi, aku enggak mau tergantung sama laki-laki lagi," ucapnya.
Kemiskinan berwajah perempuan
Secuil pengalaman hidup MJ itu melukiskan kemiskinan yang berwajah perempuan di Indonesia. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, di Tanah Air, upah pekerja perempuan lebih rendah 23 persen dibandingkan laki-laki dengan tingkat pendidikan yang sama. Pada 2020, perempuan juga hanya menduduki seperempat posisi level manajerial ke atas di Indonesia.
Kesenjangan upah berbasis gender ditambah dengan kepemilikan barang modal yang juga bias gender akhirnya memicu feminisasi migrasi. Di Indonesia, sejak 1979, komposisi buruh migran berubah secara tajam dengan melonjaknya jumlah buruh perempuan. Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), dari total penempatan buruh migran sebanyak 113.173 orang pada 2020, sebanyak 90.500 di antaranya atau sekitar 80 persen adalah perempuan.
Lebih jauh, laporan Bank Dunia mengenai Pekerja Global Indonesia 2017, menunjukkan, buruh migran Indonesia jumlahnya lebih dari 9 juta orang, hampir 7 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 4,9 juta di antaranya adalah buruh migran tanpa dokumen yang sekitar 80 persennya merupakan perempuan. Hal itu menempatkan Indonesia sebagai negara pengirim buruh migran terbanyak ke-11 di dunia.
Dokumen yang sama juga menunjukkan tujuan utama buruh migran Indonesia adalah Malaysia (55 persen), Arab Saudi (13 persen), dan Taiwan (10 persen). Mereka mayoritas bekerja sebagai PRT (32 persen), buruh perkebunan (19 persen), dan pekerja konstruksi (18 persen). Para PRT, yang mayoritas perempuan, menyumbang remitansi Rp 61 triliun pada 2016.
Ironis, di negara ini justru berlaku aforisme mengirim babu keluar negeri sama saja merendahkan martabat bangsa. Padahal, Pemerintah Indonesia sendiri yang pertama kali mengeluarkan kebijakan resmi penempatan PRT migran ke Arab Saudi pada 1970-an. Selama 50 tahun, negara menikmati jerih keringat jutaan babu, tetapi tak mau tahu soal agenda perlindungan PRT migran.
Bantu dan lindungi
Unit Pelaksana Teknis BP2MI Tanjung Pinang mencatat, selama 2020, aparat dari berbagai instansi menggagalkan keberangkatan 519 calon buruh migran tanpa dokumen di Kepri. Mayoritas langsung dipulangkan setelah didata oleh petugas BP2MI. Namun, sebagian yang ditangkap di Batam, seperti MJ, ditampung di Shelter KKP-PMP yang dikelola RD Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong.
Menurut Paschalis, pemulangan buruh migran tanpa dokumen ke daerah asal tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah seharusnya lebih jeli dalam mengkaji latar belakang korban. Seharusnya pemerintah membantu korban mendapatkan pekerjaan, kalau memang betul mereka meninggalkan karena alasan ekonomi. Ia khawatir, para korban yang dipulangkan justru akan kembali lagi dan mencoba berangkat lagi ke negara tetangga dengan cara yang lebih nekat.
Bekerja ke luar negeri adalah hak asasi manusia yang harus dihargai dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan hak tersebut terpenuhi dan terlindungi. "Memulangkan mereka justru menambah masalah korban. Di kampung, mereka akan tersiksa karena nanti dicap sebagai orang gagal. Pemulangan sepihak membuat mereka menjadi korban dua kali," kata Paschalis.
Selain penempatan, negara juga bertanggung jawab atas perlindungan buruh migran. Medio Februari 2021, Kepala BP2MI Benny Ramdhani menuturkan ada sebanyak 700 buruh migran pulang dalam keadaan meninggal pada 2019-2020. Selain itu, BP2MI juga memulangkan 460 buruh migran yang sakit. Di antara mereka, ada yang mengalami cacat fisik akibat kekerasan.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, nasib malang yang menimpa buruh migran perempuan tak lepas dari rendahnya komitmen pemerintah saat ini. Indonesia memang gencar meminta negara lain melindungi PRT migran. Namun, lucunya, Indonesia sendiri tidak memiliki standar yang jelas mengenai pekerjaan layak bagi PRT domestik dan PRT migran.
Indonesia belum bersedia meratifikasi Konvensi ILO 189 tahun 2011 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi PRT. Di dalam negeri, proses legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT sejak 2004 juga masih terhambat. Ketidakseriusan pemerintah dan parlemen itu membuat upaya diplomasi Indonesia memperjuangkan perlindungan PRT di ranah internasional menjadi sia-sia belaka.
"Hal ini ironis, Indonesia meminta negara lain melindungi PRT, tetapi Indonesia sendiri tidak pernah berkomitmen untuk membuat kebijakan tentang perlindungan PRT," ujar Anis.
Kembali ke ruang tamu Shelter KKP-PMP, MJ masih duduk dengan tangan terlipat di atas pangkuan. Mata MJ berkaca-kaca ketika bercerita tentang anaknya. Ingatan MJ kembali ke kampung, sedang apa anaknya sekarang? Makan apa dia hari ini? Kata apa saja yang sudah bisa dia ucapkan? Rindu memang sungguh berat, tetapi MJ berkeras menolak pulang sampai dapat pekerjaan.
"Sedih sekali, anakku harus merasakan yang dulu aku rasakan, tak punya bapak dan ditinggal ibu bekerja di luar negeri. Malah, dia lebih parah karena ibunya ini cuma TKW (tenaga kerja wanita) yang gagal," ucapnya tersenyum dan menyeka mata.