Rambu Adriana Mbelu Ana Djawa (42) tak pernah menyangka, kain tenun ikat kambera khas Sumba buatannya bisa terkenal dan dikenakan orang-orang penting di Indonesia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO/ARIS PRASETYO/KRIS MADA
·5 menit baca
Deretan foto pesohor, dari artis hingga pejabat, yang terpajang di galeri sederhana Rambu Chiko di Sumba Timur menjadi kebanggaan bagi sang pemilik, Rambu Adriana Mbelu Ana Djawa. Ia tak menyangka, kain tenun ikat kambera khas Sumba buatannya bisa terkenal dan dikenakan orang-orang penting di Indonesia.
Di halaman depan galeri Rambu Chiko di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (4/2/2021), dua mama-mama sedang memotong-motong akar pohon buah mengkudu. Di bagian dalam galeri, seorang mama sedang menyiapkan dan mengatur tali benang untuk diwarnai.
Sari akar pohon mengkudu serta berbagai bahan alam lain digunakan untuk mewarnai tali-tali benang itu. Ini lah kelebihan kain Sumba buatan Rambu Adriana yang mengelola Rambu Chiko. Rambu merupakan sebutan perempuan bagi orang Sumba dan umbu sebutan bagi laki-laki. Sedangkan Chiko, merupakan kependekan kata Michiko, nama anak perempuan Adriana.
Adriana menunjukkan, kain tenun ikat dengan pewarna alam dan pewarna sintetis mudah dibedakan dari beratnya. Meski menggunakan jenis benang yang sama, kain yang menggunakan pewarna alam lebih berat. Selain itu, kain berpewarna alam beraroma harum khas tanaman. Semakin disimpan, aromanya akan makin kuat.
Pewarna alam yang ramah lingkungan ini dipelajari Adriana sejak ia berusia sekitar 6 tahun. Ia yang berasal dari keluarga perajin kain Sumba sejak kecil belajar teknik pembuatan kain tenun ikat, mulai dari mewarnai, mengatur benang, hingga membuat motif. Sang ayah dulu menawarkan kain-kain tenun ikat itu dari hotel ke hotel maupun ke pasar. Adriana bersyukur kini bisa memiliki galeri sendiri.
Kain ikat tenun khas Sumba, seperti halnya wastra lain di Nusantara, tak sekadar memiliki motif yang indah. Menurut Adriana, motif-motif sumba memiliki cerita dan peruntukan sendiri. Motif ayam dan babi, misalnya, menunjukkan kesejahteraan, kerbau tanda keberanian, dan buaya menunjukkan kekuatan.
Kain tenun ikat sumba berpewarna alam juga menunjukkan kelas bagi pemiliknya. Itu menunjukkan derajat dan kepatutan bagi mereka yang memiliki jabatan dan ketokohan. Bahkan, kain tenun ikat asli tradisional merupakan “harta benda” investasi yang laku diperjualbelikan dan lazim digadaikan di Pegadaian setempat.
Itu sebabnya, hingga kini, seorang gadis yang memiliki keterampilan pembuatan kain tenun ikat Sumba sangat dihargai dan menjadi harapan bagi keluarga yang memiliki anak pria. Alasannya, gadis tersebut bisa menghasilkan pendapatan.
Di sisi lain, kain tenun ikat ini juga dinilai sebagai bentuk barang yang sangat berharga dan penting dalam penghargaan kepada keluarga atau kerabat yang mengalami kematian. “Kalau ada kematian lalu ada orang kasih kain mahal, itu berarti sekali dan kami harus balas dengan yang lebih mahal,” ungkapnya saat berbincang di bawah pohon waru di depan galerinya.
Sebelum pandemi Covid-19, ia sempat memiliki 30 perajin yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga. Kini jumlah perajin yang masih bekerja padanya tinggal tiga orang. Pandemi memukul telak bisnis kainnya seiring merosotnya kunjungan wisatawan ke Waingapu, ibu kota Sumba Timur.
Adriana mulai berkiprah di kancah nasional pertama kali saat Pameran Pesona Tenun Indonesia Bagian Tenggara dari Bali ke Timor, di Bentara Budaya Jakarta pada Desember 2013. Dari situ, namanya makin dikenal dan memiliki banyak relasi bisnis maupun pecinta wastra atau kain tradisional di Jakarta.
Galeri Rambu Adriana kemudian dikunjungi artis-artis yang berlibur menikmati eksotisme Tanah Marapu atau saat sedang melakukan pengambilan gambar film. Dari pertemuan dengan para artis dan grup pengiringnya itu, ia diajak untuk menggalang dana guna membantu rakyat Sumba Timur.
Kainnya dikirim ke Jakarta untuk dipamerkan dan dijual di mal Grand Indonesia. Harga kainnya menjadi tiga kali lipat di situ dan keuntungannya didonasikan. Ia menghitung sekitar 1.000 lembar kain sudah terjual.
“Saya tidak tahu berapa (donasi) yang terkumpul dan digunakan untuk apa saja,” ucapnya. Kerja sama itu berlangsung selama tiga tahun.
Di tingkat nasional, ia beberapa kali mengikuti pameran di Jakarta seperti di Jakarta Convention Center, Gedung Mandiri, dan berbagai kesempatan lain. Dari pameran-pameran ini pula, Adriana memperluas relasi bisnisnya.
Transaksi bisnis terbesarnya saat seorang pengusaha asal Bali mendatangi galerinya serta memborong kain-kainnya senilai Rp 400 juta. Ia mengirimkan sendiri kain-kain itu ke Bali dan langsung mendapatkan tambahan transaksi Rp 800 juta.
Mulai dari situ, bisnisnya terus membesar. Ia lalu membeli mobil untuk disewakan serta membangun penginapan sederhana 12 kamar di samping galerinya.
Adriana hingga kini masih terus membuka diri bagi mahasiswa maupun orang-orang yang ingin belajar akan kain tenun ikat Sumba. Ia pun tak ragu untuk berbagi akan resep dan teknik pewarnaan yang menjadi salah satu kunci kualitas kain.
“Saya tidak takut ditiru,” ucapnya. Ia meyakini tangan setiap orang memiliki keunikan masing-masing yang berpengaruh pada keunikan karya yang dihasilkan.
Di galerinya, harga kain berkisar antara Rp 250.000 – Rp 10 juta, bergantung pada ukuran kain. Ia pun sempat menunjukkan kain pajangan pesanan khusus sepanjang lebih dari tiga meter yang dijual hingga Rp 30 juta.
Adriana pun tak menuntut setiap orang yang datang ke galerinya harus membeli kain karyanya. Baginya, orang menjadi tahu dan paham akan kain tenun ikat Sumba sudah cukup. Calon pembeli, lanjut dia, harus tahu akan perbedaan kualitas kain Sumba.
Di antaranya, ia mengenalkan proses pembuatan kain tenun ikat yang kompleks dan butuh waktu panjang. Misalnya, kain tenun ikat ukuran 3 x 1,2 meter butuh waktu pembuatan selama 8 bulan. Proses terlama pada pewarnaan dan penjemuran.
Calon pembeli pun, kata dia, juga harus paham akan kegunaan dan kebutuhan kain yang akan dibeli. Misalnya, kain untuk dijadikan pajangan atau akan diolah lagi menjadi baju, masing-masing memiliki motif tersendiri.
Adriana berharap kain Sumba tak akan punah tergerus gempuran kemajuan zaman. Ia berupaya mengimbangi perkembangan mode dengan memberikan sentuhan-sentuhan model kain maupun motif yang lebih luwes.
Agar berkelanjutan, ia bercita-cita membangun sekolah tenun di Sumba untuk mendidik anak-anak Sumba akan kain tradisi leluhur ini. Menurut dia, kain tenun ikat Sumba bukan sekadar soal keterampilan, melainkan juga terdapat filosofi dan ajaran kebaikan-kebaikan tradisi orang Sumba di dalamnya.
Rambu Adriana Mbelu Ana Djawa
Lahir : Sumba, 15 Januari 1979
Suami : Fransiskus K Remi Ndau
Anak : Jerico Alan Susanto (18), Gwido Joop vander Putter (13), Wilhelmine Michiko Rambu Atta (8)