Sugih Hartini, Nyali Hebat Perempuan Kuat
Sugih Hartini setia mendampingi perempuan teraniaya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Cacian hingga intimidasi justru membuatnya kian garang melepaskan banyak korban kekerasan dari jerat menyengsarakan.
Pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Sugih Hartini (42) kini mendampingi banyak perempuan teraniaya. Intimidasi kerap ia dapatkan. Bukannya ciut, nyalinya kian menjadi demi mendampingi perempuan teraniaya.
Ny U (55), warga Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menyipitkan matanya melihat susunan huruf kuesioner persepsi warga terhadap kinerja Yayasan Sapa di tangannya, Minggu (7/3/2021). ”Ini mau diapakan,ya? Saya bingung,” kata U. Dia tidak mengerti lantaran buta huruf. Dia pernah mengeyam pendidikan SD, tetapi tidak lulus.
”Saya tuliskan, ya, Ceu. Nanti tinggal jawab saja apa yang ditanyakan,” balas Sugih.
Saat itu, U ditemani putrinya I (23). Namun, tatapan I lebih kelabu ketimbang ibunya. Tatapannya kosong dan seperti mendung, sama seperti langit sore yang menggantung di atas rumahnya sore itu.
Bukan tanpa alasan Sugih datang ke rumah U dan I. Ibu-anak itu adalah sebagian dari warga dampingan Yayasan Sapa. Sapa adalah lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan di Kabupaten Bandung. Sejak 2020, Sugih menjadi Koordinator Penanganan Kasus di Yayasan Sapa.
U dan I adalah beberapa korban kekerasan itu. Lama, keduanya terjerat beragam masalah domestik. Mereka sulit melawan karena tidak mampu mengakses layanan hukum.
U, misalnya, tidak mendapatkan nafkah dari suaminya. Lelaki itu juga meninggalkan I yang mengalami keterbelakangan mental. Ironisnya, I juga jadi korban kekerasan lainnya. Menikah tiga tahun lalu, suaminya menelantarkannya dan jadi korban kekerasan fisik.
Bersama Sugih dan Yayasan Sapa, U dan I lantas mendapat pendampingan hukum. Usaha itu membuahkan hasil. I mendapatkan akta cerai, sedangkan tuntutan U terpaksa dicabut karena alamat suaminya tak diketahui lagi.
Termasuk kasus U dan I, Sugih mengatakan telah ikut membantu mengurus puluhan kasus dari sekitar 100 laporan pada 2020. Kasus kekerasan dalam rumah tangga dan korban pekerja migran menjadi yang tertinggi. Masing-masing mencapai 45 laporan.
”Ada macam-macam ceritanya, mulai dari diintimidasi, bahkan tidak mendapatkan terima kasih,” katanya sambil tertawa.
Intimidasi yang dihadapi Sugih bermacam-macam. Ia pernah kena marah suami pelapor dan dituduh ikut campur urusan rumah tangga orang. Padahal, Yayasan Sapa bergerak berdasar laporan korban yang tidak tahan dengan kondisinya dan memilih berpisah.
Contohnya, saat menangani perceraian pada akhir 2020. Korban melapor mendapat perlakuan kasar dari suami. Pada persidangan awal, suami korban menuduh Sugih adalah suruhan selingkuhan si istri.
”Motor teman saya ditandai sama suami korban. Kami sampai menunduk di dalam mobil saat lewat parkiran pengadilan. Suaminya itu menunggu di gerbang,” ujarnya.
Sugih juga bungkam jika pelaku bertanya lokasi rumah perlindungan korban. Dia setia pada perjuangan yang dipilihnya. ”Kami bersama para korban hingga akhir persidangan,” tegasnya.
Nyali itu tidak ia dapatkan begitu saja. Kenangan masa lalu yang pahit menjadi guru bagi kiprahnya saat ini. Sama seperti korban yang didampinginya, Sugih pernah jadi KDRT. Dulu, dia juga pernah merasa tidak berdaya.
Tahun 2005, Sugih menerima kenyataan pahit. Suaminya selingkuh dan menikah lagi. Setelah dua tahun bertahan tanpa mendapatkan nafkah dan perhatian dari suami, ia minta cerai.
Setelah itu, ia meninggalkan rumahnya di Kota Bandung. Dia kembali rumah orangtuanya di Desa Cipaku. Bersama tiga anaknya, dia memulai hidup baru di sana mulai tahun 2007.
Di tahun yang sama, Desa Cipaku tengah dicengkeram tawaran menjadi pekerja migran Indonesia (PMI). Sugih menuturkan, hampir setiap bulan ada warga kampung bekerja ke luar negeri. Kebetulan, ada warga desa menjadi calo penyalurnya.
”Waktu itu saya sempat diajak ikut menjadi PMI karena tidak bekerja setelah cerai. Sempat terpikir, tetapi kemudian dibatalkan karena ingin bersama anak-anak. Sudah kerjaannya tidak jelas, masa depan anak bisa berantakan jika nekat pergi,” ujarnya lirih.
Bangkit
Alih-alih pergi ke luar negeri, dia bertemu dengan kaum ibu dari Bale Istri Paseh, binaan Yayasan Sapa di tahun itu. Dalam bahasa Indonesia, bale istri berarti ’tempat bernaung para perempuan’. Meski sebagian besar anggotanya ibu rumah tangga lulusan SD, kerja mereka melampaui pendidikan formalnya. Bersama mereka, ia menemukan kenyataan banyak perempuan mengalami penderitaan yang lebih berat dibandingkan dirinya.
Sugih kian bersemangat. Dari berbagai obrolan dengan kawan-kawannya, dia mantap berwirausaha pembuatan kecimpring, makanan ringan berbahan singkong.
Makanan itu dijual di warung-warung sekitaran kampung. Di tahun 2013, dia ikut program kewirausahaan dari Sapa Institute dan mendapatkan modal awal kurang dari Rp 200.000 hingga Rp 2 juta.
Usahanya berkembang. Dia bahkan ikut memberikan pendampingan wirausaha kepada penerima manfaat dari Yayasan Sapa, yang umumnya penyintas kekerasan dan diskriminasi.
”Namun, memang tidak mudah menularkan jiwa wirausaha. Sebagian besar penerima bantuan biasanya konsumtif. Hal ini yang perlu diubah, semuanya butuh konsistensi,” kata Sugih.
Atas pendampingan ini, Sugih mendapatkan penghargaan Sabilulungan Award dari Pemerintah Kabupaten Bandung tahun 2015 sebagai Penggerak Pembangunan Bidang UKM dan Pemberdayaan Perempuan. Hingga saat ini, Sugih tetap menjalankan bisnisnya di tengah pandemi.
”Sekarang penghasilan menurun drastis karena pandemi. Biasanya omzet Rp 500.000 seminggu, sekarang paling Rp 200.000-an. Apalagi semenjak fokus di Sapa, waktu untuk memasak jadi berkurang. Tetapi, bagi saya pendampingan pada korban tertindas tetap yang utama,” ujarnya.
Pendidikan tinggi
Hal itu juga yang membawanya semakin dalam mendampingi korban. Berawal dari sering bercerita dan ikut diskusi bersama para penyintas lainnya, Sugih pun masuk ke dalam sukarelawan pendampingan dari Yayasan Sapa mulai tahun 2017.
Bergerak di bidang pendampingan kasus, dia mendapatkan bermacam-macam pelatihan dari berbagai bidang ilmu mulai dari konseling yang kental dengan ilmu psikologi hingga sertifikasi mediator yang dekat dengan ilmu hukum.
”Awal pelatihan sempat minder, peserta yang lain semuanya lulusan S-1 ilmu hukum, saya hanya lulusan SMA. Tetapi, sertifikat ini dibutuhkan agar saya resmi menjadi mediator. Mau tidak mau, saya ikut. Akhirnya lulus meski dengan syarat menulis makalah,” kenangnya sambil tersenyum.
Pengalaman dan pengetahuannya diakui berbagai pihak, termasuk petugas di pengadilan. Bahkan, beberapa kali Sugih mendapatkan tawaran menjadi mediator di kantor pengadilan.
Akan tetapi, dia menolak. Alasannya, ia memilih tetap menjadi pendamping para korban kekerasan dan diskriminasi. ”Untuk menjadi pegawai di lingkungan pengadilan juga perlu ijazah S-1. Saya sementara pilih menyekolahkan anak-anak dulu agar dapat gelar S-1,” ujarnya.
Dipanggil Istana
Konsistensi belakangan membawa ia ke Istana Presiden saat peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2019. Dia datang bersama 15 perempuan penggerak desa dari berbagai pelosok negeri. ”Semuanya ada 16 orang. Kami awalnya diminta memberikan pendapat terkait masalah perempuan. Namun, sayang, akhirnya cuma diambil empat orang untuk bertemu Presiden. Saya gugup setengah buat menghapal teks yang disampaikan,” ujarnya tertawa.
Waktu itu, Sugih ingin menyampaikan dukungannya terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dari aturan tersebut, para korban dan pendamping akan mendapatkan perlindungan hukum dalam menghadapi kekerasan di rumah tangga. ”Meski tidak lolos, semoga saja suara saya ini terdengar,” harapnya.
Ketua Pengurus Yayasan Sapa Sri Mulyati mengatakan, peran Sugih dan ibu-ibu lainnya terus menjadi harapan baru banyak perempuan di Kabupaten Bandung lepas dari jerat kekerasan. Tanpa bayaran, mereka mendata jumlah kasus kawin muda, PMI yang terlantar, hingga kekerasan fisik dan psikis. Sejauh ini, ada 10 Bale Istri di Kabupaten Bandung. Anggotanya 20-200 orang per kelompok.
”Perjuangan Sugih dan ibu-ibu lainnya kini kian vital. Di tengah desakan ekonomi saat ini, kekerasan berpotensi terus terjadi. Ada banyak yang berani mengungkapkan yang dialaminya. Namun, ada juga yang memilih menutupinya. Kebanyakan korban kekerasan seksual. Mereka menganggap itu sebagai aib,” ujarnya.
Sugih pun punya keyakinan sama. Dia ingin terus bersama mereka yang belum dan sudah bersuara. Intimidasi dan cibiran bakal terus ada. Namun, dia yakin semuanya tidak akan mengendurkan nyalinya mendampingi perempuan teraniaya agar berani lepas dari jerat menyiksa.
Sugih Hartini
Lahir: Bandung, 4 Juli 1978
Pendidikan: SMA Bupi Majalaya (Lulus 1996)