Petani Sulsel Dibayangi Produksi Anjlok dan Harga Merosot Menjelang Panen
Panen raya di Sulawesi Selatan sudah di depan mata. Namun, separuh petani menyambut masa panen tanpa semangat. Mereka dibayangi produksi anjlok, harga jatuh, dan utang kepada tengkulak.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
MAROS, KOMPAS — Sebagian petani di Maros, Sulawesi Selatan, dibayangi produksi anjlok dan harga merosot menjelang panen. Hasilnya dikhawatirkan tidak cukup untuk membiayai hidup, ongkos tanam selanjutnya, sekaligus membayar utang yang membelit mereka.
M Jufri (45), buruh penggarap 6 hektar sawah di Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Jumat (19/3/2021), mengatakan, hasil panen dikhawatirkan tidak sepadan dengan ongkos tanam. Biaya pembelian pupuk menjadi masalah terbesar.
Dia mencontohkan, dalam 1 hektar sawah, setidaknya dibutuhkan 14 zak pupuk yang terdiri dari urea, SP-4, SP-36, Posca, dan CA-2, serta beberapa jenis lainnya. Sejak pandemi dan pemberlakuan kartu tani, 1 hektar sawah hanya dijatah enam zak pupuk bersubsidi. Padahal harga pupuk nonsubsidi bisa sampai tiga kali lipat lebih mahal.
Sebagai gambaran, jika harga urea subsidi Rp 100.000 per zak, pupuk nonsubsidi Rp 300.000 per zak. Hal ini membuat petani memilih mengurangi pemakaian pupuk meski produksinya bakal anjlok hingga setengahnya.
Jufri mengatakan, sebelum pandemi, kebutuhan pupuk masih bisa terpenuhi karena jatah pupuk subsidi masih mencukupi. Apabila ada tambahan, dia masih bisa membelinya. Uangnya didapat dari pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan.
”Kini, saat pandemi hampir tidak ada lagi permintaan jadi buruh bangunan hingga pendapatan hanya benar-benar mengandalkan padi. Makanya sekarang utang pupuk dan kebutuhan sehari-hari saya ke tengkulak sudah banyak,” kata Jufri. Saat ini, kata Jufri, utangnya Rp 13 juta.
Petani memilih menjual hasil panen kepada tengkulak karena pertimbangan harga pembelian lebih tinggi. Mereka juga bisa berutang pupuk dan kebutuhan sehari-hari yang pembayarannya akan dipotong saat penjualan gabah.
Jufri memperkirakan, bakal mendapat Rp 20.000.000 dari 6 hektar sawah itu. Jika dipotong utang Rp 13 juta, tersisa Rp 7 juta. Namun, bisa jadi penghasilannya lebih sedikit dari perhitungan awal.
Saat ini, tengkulak hanya menetapkan Rp 4.400 per kilogram untuk gabah kering panen atau turun dari sebelumnya Rp 4.500 per kilogram. Harga itu diprediksi bakal semakin anjlok sampai Rp 4.000 per kg saat puncak panen pada akhir Maret hingga awal April. Harga itu jauh lebih kecil ketimbang harga pokok pembelian Bulog melalui mitra, Rp 4.250 per kg.
Baharuddin (50), petani Bantimurung lainnya, juga mengatakan hasil panen kali ini anjlok karena pemberian pupuknya tidak berimbang. Sejak pandemi, jatah pupuk subsidi ke kelompok tani berkurang. Padahal, harga pupuk nonsubsidi lebih mahal tiga kali lipat.
”Akibatnya, banyak bulir hampa. Belum lagi muncul hama wereng dan jamur padi,” kata Baharuddin, sembari memperlihatkan kondisi sawahnya yang jauh dari ideal.
Sebagian besar tanaman padi terlihat hanya berisi bulir hampa akibat kekurangan nutrisi. Bahkan, sebagian rebah diserang hama wereng. Sebagian lagi diserang hama jamur padi.
”Kami berharap pemerintah turun tangan. Hidup kami hanya berputar pada soal pupuk mahal, harga turun saat panen raya, dan utang-utang pada tengkulak. Kalau seperti ini terus, kapan kami bisa sejahtera?” kata Baharuddin.
M Akbar (40), buruh tani di Bantimurung, penggarap 3 hektar sawah, menggambarkan, dari satu areal tanaman seluas 20 are atau 0,2 hektar, hasilnya hanya 15 karung. Biasanya dalam kondisi normal, hasilnya bisa sampai 30 karung.
”Tentu saja produksinya anjlok karena saya hanya pakai urea. Itu pun sedikit. Jadinya lebih banyak bulir hampa. Ini sebentar lagi panen raya dan harga pasti akan lebih jatuh,” katanya.
Di Sulsel, produksi padi mencapai 5,6 juta ton gabah kering giling atau 3,5 ton setara beras. Selain sebagai cadangan, Bulog juga biasanya membeli beras premium yang dijual ke pasar bebas.
Sebelumnya, Bulog Sulselbar menyebutkan, target serapan gabah adalah 303.000 ton setara beras di tahun ini. Hingga pertengahan Maret, serapannya mencapai 18.500 ton setara beras. Bulog juga mengatakan akan bersaing dengan tengkulak membeli gabah petani. Tahun lalu, dari target pengadaan 250.000 ton setara beras, Bulog Sulselbar menyerap 275.000 ton setara beras.
”Kami sudah menyiapkan mitra di sejumlah lokasi, terutama di sentra-sentra beras untuk membeli gabah petani. Kami optimistis target tahun ini bisa terpenuhi,” kata Kepala Bulog Divre Sulselbar Eko Pranoto.